Senin, 27 Desember 2010

Mengapa Kita Tak Ingat Saat Dilahirkan?

July 31st, 2010 by yahdillah
Kompas.com - Otak manusia memiliki kapasitas memori ribuan kali lebih tinggi dari komputer paling canggih yang ada saat ini. Massa abu-abu (gray matter) merupakan alat penyimpanan yang sangat bisa diandalakan. Namun, mengapa kita tidak bisa mengingat masa balita atau saat pertama kita lahir ke dunia?

Jangankan saat dilahirkan, otak kita juga tak bisa mengingat masa-masa ketika kita masih bayi atau balita. Ternyata sekeras apa pun kita berusaha, ingatan kita hanya bisa kembali sampai saat kita berusia 4-5 tahun.

Mengapa demikian? Salah satu teori menyebutkan hal ini karena faktor mielin, lapisan pelindung saraf yang membantu penghantaran sinyal-sinyal otak. Nah, sebelum berusia 5 tahun, mielin dalam otak bayi masih sangat sedikit. “Mielin sangat penting untuk menjaga ingatan jangka panjang,” kata Jonathan Schooter, PhD, ahli psikologi dari University of British Columbia.

Teori lain menyebutkan, begitu kita mulai belajar berbicara, kita tidak bisa lagi mengakses ingatan yang tercipta pada masa kita belum lancar berbicara. “Dengan makin berkembangnya kemampuan berbahasa seorang anak, cara ia berpikir juga akan berubah sehingga diduga lebih sulit untuk mengingat ingatan masa sebelumnya,” katanya. (kompas.com)

Sumber: www.ilmupsikologi.com

Penelitian: Pemisahan Kelas Laki-laki dan Perempuan

March 19th, 2009 by yahdillah

Penelitian terbaru menunjukkan, pelajar wanita yang belajar bersama teman kelas sesama wanita jauh lebih cerdas dibanding bercampur pria

Kajian terbaru menunjukkan, lebih dari 700.000 orang pelajar perempuan di Inggris mendapati mereka yang belajar di sekolah perempuan lebih cerdas berbanding dengan pelajar di sekolah campuran (pria/wanita).

Penelitian, yang dilakukan atas nama the Good Schools Guide didapati, rata-rata semua dari 71.286 perempuan yang mengikuti program sekolah menengah (the General Certificate Secondary Education/GCSE) di sekolah sesawa perempuan antara tahun 2005 dan 2007 lebih baik hasilnya. Sementara itu, lebih dari 647.942 perempuan yang ikut ujian di sekolah campuran (pria/wanita) 20% lebih buruk daripada yang diharapkan.

Janette Wallis, Redaktur Good Schools Guide, mengatakan kepada Koran the Guardian, “Banyak orangtua akan memandang keuntungan sekolah untuk laki-laki dan perempuan, seperti fakta bahwa gadis dan anak laki-laki berpendidikan secara berdampingan menyiapkan mereka untuk dunia kerja dan hidup.”

Hasil kajian ini dipredisi mencetuskan debat mengenai masa depan sekolah perempuan yang jumlahnya sejak 1970-an mengecil hanya 221.000 pelajar sementara pelajar pria mencapai 160.000 anak dari jumlah keseluruhan 3.5 juta pelajar di Inggris. [tpa/cha]

Sumber: www.ilmupsikologi.com

Mengajari Anak Menulis Tangan Penting

June 3rd, 2009 by yahdillah

Psikologi mengenal grafologi, yaitu ilmu perilaku yang fokus untuk memahami seseorang berdasarkan kebiasaannya dalam menulis. Tulisan merupakan sampel perilaku, bahkan sampel “buah” perilaku, yang disimbolkan dengan karakteristik tulisan seperti tebal tipis, lurus bengkok, halus kasar, tekanan mengambang, feminim maskulin, tajam tumpul, konsisten inkonsisten, kuat lemah, tinggi pendek, condong kiri kanan, tegak miring, terbuka tertutup, dan ritmik dan tidak ritmik. Semua indikasi tulisan “diyakini” oleh para grafolog memiliki trace kepribadian. Misalnya, secara awam saja kalau orang menulis acak-acakan, jorok, tajam-tajam…mugkin anda juga akan menduga bahwa orangnya demikian. Nah grafologi berbeda dengan ilmu rajah tangan,atau garis tangan. Meski akurasi grafologi untuk memprediksi kepribadian seringkali ditentukan oleh seberapa ahli interpreternya, tetapi secara umum orang sepakat bahwa hendaknya orang memiliki tulisan yang rapih, baik, dan enak dibaca. Nah banyak yang menjadikan grafologi juga sebagai terapi beberapa perilkau kepribadian. Jangan heran bila remaja yang sedang jatuh cinta biasanya juga mendadak berubah tulisannya. ya ……tidak salah anda perlu mendidik anak-anak memiliki tulisan yang “baik, enak dibaca, dan sesuai dengan EYD…”

Meski saat ini masyarakat bergerak menuju jaman keyboard, anak-anak masih perlu untuk belajar menulis menggunakan tangan.

Menulis tangan jauh dari sekadar meletakkan huruf di atas kertas. Itu adalah satu kunci penting dari belajar membaca dan berkomunikasi. Bahkan fakta menurut para ahli, mengembangkan kemampuan menulis menguatkan kemampuan membaca dan begitu pula sebaliknya.

Untuk dapat membaca dengan baik, anak-anak perlu memahami huruf serta bunyi yang ditimbulkan serta bagaimana bunyi itu keluar bila huruf-huruf dirangkai menjadi kata. Belajar untuk menulis huruf juga merupakan hal penting dalam memahami hal tersebut.

Menulis tangan penting, sebab anak-anak selalu diminta menggunakannya setiap saat di sekolah taman kanak-kanak hingga sekolah dasar. Anak yang terbiasa dengan tulisan otomatis dari keyboard akan kesulitan saat menulis atau mengerjakan tes, atau menyelesaikan tugas sekolah. Hal ini dapat ditebak, justru akan mempengaruhi rasa percaya diri dan keberadaan diri mereka di sekolah nanti.

Salah satu cara penting membantu anak mengembangkan kemampuan baca-tulis mereka adalah membuat mereka mempraktekan. Begitu anak anda mampu mengeja (kira-kira pada usia 1 tahun bagi kasus umum) tawarkanlah crayon lunak, atau spidol warna-warni dengan kertas besar dan biarkan ia bereksperimen.

Ketika anak anda semakin tumbuh, ciptakan ruang khusus seni dengan banyak kertas berwarna-warni dan berbagai macam perlatan seni seperti spidol, crayon, pastel, pensil warna, cat warna dan kuas.

Anda bahkan dapat mendorong anak anda untuk menulis dan menggambar ketika anda sedang diluar rumah, dengan cara menyiapkan kapur, cat warna serta seember kecil air, kuas untuk mengecak “trotoar” anda. Semakin sering anak menggunakan tanggan mereka, mereka akan mengembangkan otot, kemampuan, dan kordinasi yang diperlukan untuk menulis huruf.

Begitu anak anda masuk sekolah dan mulai melakukan praktek menulis di sana, sebagai orang tua sebaiknya tetap lanjutkan menemukan cara-cara baru untuk mempraktekan di rumah. Seperti menyarankan anak menulis nota ucapan terimakasih untuk keluarga atau teman.

Minta mereka menuliskan daftar belanja atau resep. Belilah buku atau gunakan journal serta sarankan anak anda menghabiskan waktu di akhir hari untuk menulis di dalamnya.

Jika tulisan tangan anak anda tetap terlihat acak-acakan dan sulit dibaca bahkan setelah mengikuti instruksi formal dari sekolah cobalah beberapa tips berikut,

* Bantu anak anda untuk menulis dengan perlahan. Banyak anak kesulitan menulis karena mereka mencoba untuk melakukan dengan cepat. Beri semangat pada anak dengan memberi waktu menuliskan bentuk huruf dengan hati-hati dan benar.
*

Terangkan kesalahan yang dibuat oleh anak. Ajari mereka menggunakan penghapus.
* Terapkan cara menulis formasi huruf dengan benar. Cara menulis A tentu tidak dengan cara menarik garis tengah terlebih dulu. Coba untuk mencari tahu dari guru-guru si anak bagaimana ia seharusnya menulis huruf dengan benar, dan dorong anak anda untuk mempraktekan menulis dengan pola tersebut. Menggunakan kertas bergaris akan sangat membantu
* Pastikan anak memegan pensil dalam posisi benar saat menulis. Idealnya anak anda harus menggunakan dengan pegangan tripod-ala-tiga jari. Pensil harus berada di dekat ujung ibu jari dipegang bersama telunjuk dan jari tengah. Pensil plastik dengan pegangan solid ala kantoran mungkin membantu bila anak anda kesulitan memegang pensil dengan benar.
* Latih anak dengan banyak kata. Anda dapat melakukan itu dengan sesi membaca bersama, menunjuk kata di sekeliling (seperti tanda jalan, label produk, papan nama) dan menggantungkan contoh-contoh karya tulisan anak anda di berbagai tempat dalam rumah.

Sangat penting bagi semua anak, bahkan bagi mereka yang kesulitan untuk menulis, untuk tetap mempraktekkan menulis dengan tangan. Tentu saja anda boleh mengajarkan anak kemampuan mengetik, bahkan di usia bocah. Namun, kecuali ada rekomendasi terapi ahli tumbuh kembang anak, anak-anak tak seharusnya menggunakan komputer dengan keyboard untuk mengerjakan tugas sekolah saat teman-teman mereka menyelesaikan dengan tulisan tangan.

Anak-anak berkembang dengan percepatan berbeda, seperti halnya orang dewasa, hasil tulisan tangan bisa bermacam-macam di antara mereka. Beberapa anak memiliki kesulitan lebih besar mempelajari huruf-huruf, sementara yang lain mungkin kesulitan menulis rapi, atau menulis dengan gaya. Kadang beberapa masalah dalam menulis bisa menjadi pertanda masalah lain seperti kesulitan atau kelambatan dalam belajar.

Jika demikian, baru saatnya orang tua membawa anak untuk diperiksa oleh ahli tumbuh kembang anak. Cara ini bisa memastikan apakah anak anda benar-benar membutuhkan terapi atau panduan khusus, atau sekadar latihan tambahan di rumah.

Bagaimanapun belajar membaca dan menulis adalah salah satu kunci sukses di sekolah dan dalam kehidupan lebih luas. Ada baiknya beri waktu khusus membaca bagi anak, atau menghabiskan sebagian waktu dalam sehari untuk menulis surat kepada nenek si kecil.

Ketika anda menulis bersama anak anda, anda telah membantu si kecil mengembangkan kemampuan penting mereka.(republika)

Sumber: www.ilmupsikologi.com

Siswa Pria Diusulkan Jalan-jalan di Kelas Biar Otaknya Aktif

January 20th, 2010 by yahdillah
Virginia, Pakar pendidikan Inggris menyarankan agar siswa laki-laki dibiarkan berjalan-jalan selama di kelas. Laki-laki punya kemampuan belajar yang berbeda dari perempuan. Dengan membiarkannya berjalan, otak laki-laki akan lebih aktif dan menyala.

Hasil studi Abigail Norfleet James dari University of Virginia di sebuah sekolah khusus laki-laki ini menunjukkan bahwa siswa laki-laki akan belajar lebih baik saat melakukan sebuah aktivitas yang berdasarkan gerakan dan visual.

“Laki-laki memiliki kemampuan verbal atau berbahasa yang lebih rendah dari perempuan. Kemampuan audio atau pendengaran mereka juga payah. Mereka juga kurang bisa menahan emosi dan mengontrol rangsangan,” ujar Dr James seperti dilansir Dailymail, Rabu (20/1/2010).

Tapi laki-laki punya kemampuan spatial atau kemampuan mengatur yang baik. Laki-laki juga punya visual atau penglihatan yang tajam, mengenal sentuhan lebih baik dan secara fisik lebih aktif. Untuk itu, para pakar menyarankan agar pendidikan yang diterapkan pada laki-laki harus disesuaikan dengan kelebihan-kelebihan tersebut.

Studi yang dipresentasikan pada acara the International Boys’ Schools Coalition Conference di London itu menyebutkan bahwa laki-laki sebaiknya lebih banyak melakukan aktivitas fisik saat di kelas.

Setiap mata pelajaran juga sebaiknya dirancang untuk membuat siswa laki-laki lebih banyak bergerak dan bekerja dalam grup.

“Guru juga harus banyak bergerak untuk menarik mata para siswa. Kebanyakan siswa laki-laki akan memilih untuk melihat sesuatu yang bergerak. Jika guru hanya duduk dan tidak bergerak selama beberapa menit, perhatian siswa laki-laki akan teralihkan pada hal lain,” jelas Dr James.

Jadi jika seorang laki-laki tidak bisa diam dan terus berjalan-jalan di dalam kelas, itu normal. “Tidak ada yang salah dengan itu, karena dengan begitu otaknya akan lebih aktif dan kemampuan belajarnya akan lebih baik,” kata Dr James.

Sumber: www.ilmupsikologi.com

Penelitian Perilkau nonton TV: Keseringan Nonton TV Bisa Picu Stres

February 26th, 2009 by yahdillah

Anda ingin hidup jauh dari stress? hindarilah terlalu sering nongkrong di depan televisi berlama-lama. Demikian hasil riset tim peneliti AS
Ingin menghindari depresi terutama di kalangan muda? JanganTv terlampau sering nongkrong di depan televisi alias nonton program-program TV. Riset di AS menunjukkan anak remaja atau ABG yang terlampau sering nonton tayangan TV sampai berjam-jam, kemungkinan menghadapi risiko lebih tinggi kena depresi seperti orang dewasa.

Sejumlah remaja yang dilibatkan dalam riset ini menghadapi keganjilan lebih banyak seperti depresi pada tujuh tahun kemudian. Risiko ini meningkat setiap jam menonton televisi dalam satu hari. Lebih dari 4.000 remaja berpartisipasi dalam riset tersebut. Bukti sama didapatkan untuk media elektronik lainnya.

“Kami tak dapat memastikan ini merupakan unsur penyebab-dan-pengaruh,” jelas penulis riset, dr. Brian A. Primack, seorang asisten guru besar pengobatan dan dokter anak di University of Pittsburgh School of Medicine. Alasan bahwa riset ini kemungkinan karena unsur penyebab-dan-pengaruh, adalah tayangan televisi yang menjadi faktor utama. Ini tidak mencakup orang-orang yang memiliki gejala depresi ketika riset dimulai.

Lebih dari 4.100 responden diberikan pertanyaan pada 1995 soal jumlah jam yang mereka habiskan untuk menonton tayangan televisi, kaset video, bermain game komputer atau mendengarkan radio. Mereka mengaku rata-rata setiap hari kurang lebih 5 sampai 7 jam termasuk 2 atau 3 jam nonton tayangan televisi.

Tujuh tahun kemudian, responden yang sudah berusia 22 tahun, 308 atau 7,4% anak muda mengalami gejala yang setingkat dengan depresi. Insiden dari gejala ini secara langsung berkaitan dengan jumlah jam nonton televisi dan media elektronik lainnya yang dilaporkan pada awal riset.

Kendati begitu, “Ketika kami mampu mengontrol banyak hal seperti status sosial ekonomi dan pendidikan, dalam analisa akhir, kami tak yakin ini akibat unsur penyebab-dan-efek,” jelas Primack.

Bisa berspekulasi soal alasan menonton televisi yang bisa memicu depresi, katanya. “Satu teori yakni Apakah Anda melihat banyak kejadian yang mengundang depresi pada tayangan-tayangan televisi dan kemungkinan adanya proses menginternalisasi kejadian-kejadian tersebut. Televisi banyak menayangkan berita-berita buruk dan tayangan berulangkali bisa memicu proses tersebut, tambah Primack.

Tayangan komersil TV juga bisa menimbulkan pengaruh. “Anda melihat kurang lebih 20.000 iklan televisi dalam satu tahun, dan proporsi besar dari tayangan itu mendatangkan fakta bahwa kehidupan tidaklah sempurna,” lebih lanjut periset ini katakan.

Tayangan televisi mungkin juga menggantikan aktivitas sosial, intelektual dan atletik yang bisa melindungi diri dari depresi. Menonton televisi pada tengah malam bisa menggangu jam tidur yang normal yang penting bagi pengembangan intelektual dan emosi.

Sumber: www.ilmupsikologi.com

Nonton TV Sebabkan Serangan Jantung dan Kanker

January 13th, 2010 by yahdillah

Para penikmat televisi dan orang-orang yang terlalu banyak duduk, beresiko tinggi terkena serangan jantung dan kanker.
Jika setiap hari menonton televisi, maka resiko kematian akibat terkena serangan jantung meningkat 1/5 kali. Begitu pula dengan aktivitas sendiri, seperti mengemudi dan duduk di depan komputer, beresiko besar terkena penyakit serius, demikian kesimpulan para peneliti Australia.

Para peneliti menemukan bahwa orang-orang yang menghabiskan waktu lebih dari empat jam menonton televisi, 80 persen cenderung meninggal karena penyakit yang berkaitan dengan jantung, dibandingkan mereka yang menonton televisi kurang dari dua jam.

Dengan menelusuri gaya hidup 8.800 orang dewasa dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir, peneliti juga menemukan bahwa mereka yang senang menonton tv lebih beresiko meninggal karena kanker.

Hasil penelitian tersebut dimuat dalam jurnal kesehatan Circulation: Journal of the American Heart Association edisi bulan ini.

Pemimpin penelitian Prof David Dunstan, dari Baker IDI Heart and Diabetes Institute di Victoria mengatakan, “Kebanyakan orang, sehari-hari mereka punya kebiasaan pindah dari satu kursi ke kursi lainnya–dari kursi mobil ke kursi kantor, lalu ke kursi di depan televisi.”

“Bahkan jika seseorang memiliki bobot tubuh yang sehat, duduk untuk jangka waktu yang lama memiliki dampak yang tidak sehat bagi kadar gula tubuh dan lemak dalam darah.”

Para peneliti memeriksa tingkat kadar kolesterol dan gula darah mereka–sebagai indikator kunci kesehatan–dan berapa jam mereka habiskan untuk menonton televisi.

Dalam enam tahun, sebanyak 87 orang meninggal akibat penyakit yang berhubungan dengan kardiovaskuler, dan 125 orang meninggal karena kanker.

Penelitian yang dilakukan itu mengesampingkan faktor resiko lainnya, seperti merokok dan tekanan darah tinggi.

Para peneliti menganjurkan agar orang-orang menghindari kebiasaan duduk dalam jangka waktu yang lama, untuk mengurangi resiko terbentuknya penyakit.
Ilustrasi:Laura Doss/Corbis

Sumber: www.ilmupsikologi.com

Telinga Kanan Lebih Mudah Menerima Ucapan Maaf

February 4th, 2010 by yahdillah
Pernahkah Anda kesulitan meminta maaf pada seseorang? Mungkin ada yang salah dengan cara Anda meminta maaf. Menurut peneliti, agar kata maaf lebih diterima oleh seseorang, ucapkanlah ke telinga kanannya.

Peneliti dari the University of Valencia, seperti dilansir Telegraph, Kamis (4/2/2010) mengatakan bahwa ketika sedang marah, telinga kanan akan lebih responsif terhadap suara atau bunyi-bunyian daripada telinga kiri.

Dengan mengatakan maaf ke telinga kanan maka kemungkinan pesan tersebut masuk ke otak akan lebih besar dan membuat kata maaf lebih mudah diterima. Peneliti menyimpulkan hal tersebut setelah melakukan tes pendengaran terhadap 30 partisipan pria yang sedang marah.

Untuk memancing emosi dan kemarahan partisipan, peneliti memberikan bacaan yang menimbulkan emosi dan permusuhan. Peneliti kemudian memonitor detak jantung, tekanan darah dan level hormon testosteron partisipan. Sebuah bunyi atau suara kemudian diperdengarkan pada telinga kanan dan kiri partisipan.

Berdasarkan hasil studi tersebut, ketika sedang marah ternyata partisipan lebih bisa menerima pesan atau bunyi-bunyian dari telinga kanan daripada telinga kiri. Hasil inilah yang kemudian membuat peneliti menyarankan pentingnya meminta maaf lewat telinga kanan.

Bunyi kata maaf yang dimasukkan ke telinga kanan akan memungkinkan pesan ‘maaf’ itu dicerna dan diproses lebih baik dalam otak, terutama otak kiri.

Seperti diketahui, otak kiri berfungsi mengontrol semua aktivitas dan merespons stimulasi anggota tubuh bagian kanan sementara otak kanan justru sebaliknya. Otak kiri juga berfungsi melakukan proses yang berhubungan dengan logika atau pemikiran sehingga bisa menerima pesan dengan lebih rasional.

Penemuan yang dipublikasikan dalam Journal Hormones and Behaviour ini menghasilkan teori baru, yaitu dengan mengarahkan pembicaraan ke telinga kanan, komunikasi akan berjalan lebih baik karena suara yang datang dari telinga kanan akan lebih didengar oleh otak daripada pesan dari telinga kiri.

Sumber: www.ilmupsikologi.com

Tipe Kepribadian calon?

March 23rd, 2009 by yahdillah

Banyak cara mencari calon pandangan. Ada metode primitif seperti: gendam, pelet, perdukunan, perbintangan zodiak, dan wethon Kalender Jawa,. Ada methode syariah seperti istikharah, perjodohan oleh orang tua, memilih berdasarkan kriteria (agama, kecantikan, keturunan dan kekayaan)S. Atau Ada juga yang menggunakan metoda psikologi. Tidak semua ilmu psikologi tepat untuk memilih jodoh, sebab tidak jarang teori tersebut hanya memotret yang tahu dan lebih banyak memotret ketidaktahuan.

Berikut salah satu contohnya.

Ketika akan mencari pasangan, kita cenderung hanya melihat segala sesuatu yang tampak dari luar. Soal penampilan, misalnya, kita ingin pria berkulit putih, jangkung, atau berambut cepak. Bila membahas soal sifat pun, hanyalah yang tampak di permukaan. Misalnya, ramah, senang bercanda, atau perhatian.

Ketika hubungan telah terbina, kita akan menyadari bahwa kepribadian seseorang akan lebih kompleks daripada yang kita bayangkan. Apa yang tampak dari luar tidak menjamin apakah hubungan Anda akan langgeng atau tidak. Akan lebih baik jika Anda mengenali lebih dulu tipe kepribadian Anda dan pasangan.

Helen Fisher, seorang anthropolog yang juga penulis buku Why We Love: the Nature and Chemistry of Romantic Love, mengadakan riset mengenai mengapa kita jatuh cinta dengan orang tertentu, dan bukannya yang lain. Dari penelitian tersebut, Fisher menyimpulkan bahwa pada dasarnya terdapat empat tipe kepribadian: Explorer, Builder, Negotiator, dan Director. Empat gaya kepribadian ini berhubungan dengan substansi kimia dopamin, serotonin, testosteron, serta estrogen dan oxytocin.

Menurut Fisher, “Yang terpenting bukan hanya memahami siapa diri kita, tetapi juga menggunakan siapa diri kita tersebut. Keempat tipe kepribadian ini melakukan kesalahan-kesalahan yang sebenarnya bisa dihindari jika mereka lebih mengenali tipe apakah diri mereka.”

Inilah empat kepribadian menurut Fisher:

1. The Explorer
Tipe pengeksplorasi mengekspresikan aktivitas mereka dalam sistem dopamine. Mereka cenderung mengambil risiko, selalu ingin tahu, kreatif, spontan, energik, antusias, dan optimistik.

Orang dengan tipe Explorer cenderung tertarik dengan orang-orang yang seperti dirinya. Mereka menginginkan seseorang yang energik dan antusias, seorang petualang yang kreatif dan selalu ingin tahu.

Tipe Explorer juga sangat manis dan murah hati. Kebaikan pria Explorer kerap disalahartikan wanita yang menerima kebaikannya, sehingga akhirnya mereka terluka setelah mengetahui bahwa pria Explorer tersebut ternyata sudah menjalin hubungan dengan wanita lain.

2. The Builder
Tipe Builder mengekspresikan diri mereka dengan serotonin. Orang-orang dengan tipe ini tenang, senang bersosialisasi, populer, hati-hati, namun tidak penakut. Mereka sangat baik dalam membangun jaringan, senang bersosialisasi, dan menyukai orang-orang yang setipe dengan mereka. Anda tipe wanita (atau pria) tradisional, konvensional, dimana keluarga sangat penting bagi Anda, dan sering kali relijius.

Tipe Builder cenderung mengikuti aturan dan jadwal, namun sebaiknya Anda lebih berani mengambil risiko untuk urusan kencan. Mereka senang bertemu dengan banyak orang, sehingga Si Dia bisa saja mengajak Anda menemui teman-temannya meskipun sebenarnya Anda hanya ingin menghabiskan waktu berdua.

3. The Director
Tipe The Director mengekpresikan diri dengan testosteron. Pria atau wanita dengan tipe ini senang memimpin, cenderung bertindak sebagai pengambil keputusan, senang berpikir, dan mampu memahami musik dengan baik karena musik sangat struktural. Mereka senang berkompetisi, dan ambisius.

Tipe Director biasanya akan mencari tipe Negotiator, begitu pula sebaliknya. Fisher mengambil contoh Bill dan Hillary Clinton. Hillary adalah tipe pemimpin, pengambil keputusan, dan berpendirian kuat. Ia bukan tipe yang dapat mengambil hati orang seperti suaminya. Hillary terpikat dengan pria yang memiliki sopan-santun, senang berbicara, dan peduli pada orang lain.

Yang perlu diperhatikan, tipe Director sering menganggap bahwa kencan sangat merepotkan. Mereka maunya yang langsung-langsung saja. Mereka sering terlalu cepat membuat keputusan, sehingga jika menyadari ada sesuatu yang tidak beres di tengah-tengah kencan, mereka menjadi sangat kasar. Pria atau wanita dengan tipe ini harus belajar lebih rileks.

4. The Negotiator
Tipe Negotiator, baik pria maupun wanita, dapat sangat ekspresif dalam estrogen. Mereka orang-orang yang sangat fleksibel, imajinatif, dan intuitif. Tipe Negotiator juga mudah setuju dengan pendapat orang lain, baik, sangat peduli dengan perasaan orang lain, sehingga orang lain sering memanfaatkan mereka.

Bila Anda seorang Negotiator, Anda harus lebih yakin dengan pendapat Anda sendiri. Sebab Negotiator umumnya cenderung kompromis dalam segala sesuatu, meskipun pada dasarnya mereka kurang setuju dengan sesuatu hal. Karena itu jika Anda seorang Negotiator, Anda harus cepat sadar dan tidak berpikir berlebihan.

Adakah tipe kepribadian yang tidak cocok untuk tipe kepribadian yang lain?
Dengan mengenali berbagai jenis kepribadian ini, sebenarnya Anda bisa membantu diri sendiri dalam menemukan pria dengan kepribadian yang sesuai untuk Anda. Sebagai contoh, tipe Explorer sangat karismatik dan memikat, sehingga kita cenderung cepat jatuh cinta dengan tipe ini. Lebih baik lakukan pendekatan dengan perlahan, jangan langsung mengambil keputusan untuk melakukan hal-hal yang akan membawa Anda ke masalah.

Meskipun demikian, menurut Fisher sebenarnya tidak ada kombinasi kepribadian yang buruk, selama kita terus berpikir bahwa Si Dia adalah yang terbaik. Anda bisa membina hubungan dengan tipe mana saja, meskipun beberapa pertemuan dua jenis kepribadian dapat menghadapi masalah-masalah yang spesifik.

Jika Anda dan pasangan sama-sama tipe Explorer, maka biasanya Anda tidak akan bertengkar mengenai siapa yang harus mencuci atau menyetrika, karena Anda berdua orang-orang yang fleksibel. Pasangan yang sama-sama tipe Builder akan menciptakan suatu perkawinan yang langgeng, namun mereka akan selalu meributkan bagaimana merapikan kamar tidur yang benar, karena salah satu merasa punya cara yang lebih baik dalam mengerjakan sesuatu.

“Dua orang Explorer tidak akan mengalami hal seperti itu,” ujar Fisher. “Mereka akan mengatakan kepada yang lain, ‘Makan saja dengan cara yang kamu suka.’”

Kombinasi yang sedikit kurang baik adalah dua tipe Director. Mereka sama-sama workaholic sehingga akan kekurangan waktu untuk bersama-sama, dan tak satu pun dari mereka yang punya kemampuan untuk menyenangkan yang lain. Namun, sekali lagi, selama mereka berpikir bahwa pasangannya adalah yang terbaik, mereka pun akan mampu membina hubungan yang awet.

Sumber: www.ilmupsikologi.com

Istirahat Yang Benar Dapat Memacu Memori

February 6th, 2010 by yahdillah

Mengambil istirahat sejenak dengan meminum kopi setelah kegiatan, dapat benar-benar membantu kita mengendapkan informasi yang baru kita pelajari

Pertimbangkanlah untuk istirahat setelah Anda mempelajari sesuatu yang baru. Peneliti Amerika menyarankan bahwa mengambil istirahat sejenak atau break, dapat membantu merilekskan otak, memperoleh jeda di antara informasi-informasi baru, dan membantu merendamnya secara lebih baik.

“Mengambil istirahat sejenak dengan meminum kopi setelah kegiatan di kelas, dapat benar-benar membantumu mengendapkan informasi yang baru kau pelajari, ” kata Lila Davachi, seorang asisten profesor di New York University’s (NYU) Department of Psychology and Center for Neural Science.

“Otak Anda menginginkan Anda untuk melupakan tugas-tugas yang lain. Jadi Anda dapat lebih meresapi dengan baik apa yang baru saja Anda pelajari.”

Studi ini adalah kelanjutan dari penelitian sebelumnya yang memperlihatkan bahwa memori dipacu menjelang tidur dengan membiarkan pikiran pergi lewat pengetahuan yang baru diperoleh.

Bagaimanapun, kesimpulan penelitian terkini, menjelaskan bahwa proses yang sama bisa terjadi selama waktu bangun tidur juga.

Detail Studi

Untuk menentukan konsolidasi memori selama masa istirahat, peneliti dari NYU melihat pada dua area otak yang penting dalam meningkatkan memori; area hippocampus dan corticol, kepada 16 partisipan.

Untuk studi ini, peserta diperlihatkan pasangan gambar, termasuk satu wajah manusia dan objek seperti sebuah bola pantai, atau sebuah wajah dan sebuah pemandangan seperti sebuah pantai.

Aktivitas ini diikuti dengan periode-periode pendek dari ‘istirahat secara sadar’. Peserta tidak diberi tahu bahwa memori mereka dalam tes ini akan dites pada waktu selanjutnya.

Mereka diinstruksikan untuk beristirahat ketika sedang sadar dan memikirkan apa saja.

Para peneliti memakai sebuah functional magnetic resonance imaging (fMRI) untuk menentukan aktivitas otak dari peserta-peserta ketika mereka mengerjakan tugas-tugas maupun ketika mereka istirahat.

‘Istirahat secara sadar’ berhubungan dengan aktivitas di area otak pada analisa, area otak yg penting dari para peserta ditemukan sama aktifnya dengan ketika mereka mempelajari tugas.

“Peserta-peserta yang mendapat korelasi yang bagus di antara dua area otak (menjelang tes) mempunyai memori asosiatif yang lebih baik,” kata Davachi. “Mereka mengingat wajah yang hadir bersama obyek (secara lebih baik).”

“Otak Anda bekerja ketika Anda istirahat, jadi istirahat itu penting untuk memori dan fungsi kognitif. Hal ini adalah sesuatu yang kami tidak sukai, khususnya dalam era teknologi informasi saat ini yang meminta kita untuk bekerja dalam waktu yg lama,” tambah Davachi

Para peneliti berharap bahwa studi ini akan membantu pemahaman yg lebih baik tentang mekanisme tertentu seperti mengapa kita cenderung mengingat sedikit hal secara detail dan dalam waktu yg lain kita langsung melupakan hal-hal lainnya. [tdg/dwi]

Sumber: www.ilmupsikologi.com

6 Perilaku Anak yang Harus Diperbaiki

elakukannya. Koreksi merupakan kekuatan di dalam pembentukan sifat dan jika Anda terus melakukan agar ia berperilaku baik, akhirnya anak akan menjadi biasa dengan segala sesuatu yang baik. Sebaliknya, jika dibiarkan, anak akan melawan, tak mau tahu aturan, dan lepas kontrol.

Cara Mencegah:Daripada berbicara sambil berteriak-teriak dari dalam kamar, sebaiknya datangi anak dan katakan padanya apa yang harus dilakukannya. Tatap mukanya, pandang matanya, saat berbicara padanya, dan tunggu sampai dia menjawab, “Ya.” Belai pundaknya, sebut namanya dengan lembut, matikan TV. Hal ini akan membuat perhatiannya penuh diberikan pada Anda.

Jika ia tetap tak peduli, tidak bergerak, beri hukuman padanya semisal tak boleh menonton film kartun favoritnya selama seminggu, tak boleh main sepeda, dan lainnya. Hal ini harus diterapkan pada anak agar kebiasaan buruknya itu tak terbawa hingga ia dewasa kelak.

4. TANPA ATURAN
Mengapa Harus Dicegah: Pastinya menyenangkan jika anak dapat membeli sendiri snack atau DVD kesukaannya. Tapi cobalah tetap mengontrol kegiatannya supaya tetap sesuai dengan aturan yang berlaku dalam keluarga. Mungkin terdengar hebat jika anak usia 2 tahun sudah bisa dan terbiasa mengambil makanan dari lemari sendiri tanpa meminta izin pada Anda. Tapi tunggu sampai dia berumur 8 tahun, saat ia pergi ke rumah teman tetangga, mengambil semaunya tanpa meminta. Nah, memalukan, bukan?
Cara Mencegah: Buat aturan-aturan di rumah dan bicarakan hal ini sesering mungkin dengan anak-anak. Misalnya, jika ia menginginkan cokelat, anak harus minta izin terlebih dahulu dan itu adalah peraturan yang berlaku di rumah Anda. Atau jika anak langsung menyalakan TV tanpa izin Anda, minta agar ia mematikannya dan setelah itu terangkan sambil mengajarkan padanya bahwa dia harus minta izin Anda terlebih dahulu jika ingin menonton TV.

Membuat dan menjalankan aturan akan menolong anak berdisplin, menghargai orang lain, dan tak cuma memikirkan kesenangan diri sendiri.

5. ATURAN MINIM
Mengapa Harus Dicegah: Mungkin tidak pernah terpikir oleh Anda ketika anak masih kecil ia berteriak-teriak atau membiarkan ingus keluar dari hidung tanpa mengajarinya untuk menyekanya. Akhirnya, perilaku itu terbawa hingga ia besar dan sudah sulit diperbaiki.

Pada umumnya, perilaku yang tidak baik sering dimulai ketika anak berada dalam usia balita. Beberapa orang tua berpendapat, “Toh, nanti juga hilang sendiri,” Padahal, jika Anda tidak mengajarkannya sejak dini, bisa menjadi masalah besar di masa datang.

Cara Mencegah: Biasakan anak mengerti dan menaati perilaku serta tata terib dengan baik. Katakan sejak sedini mungkin, ada aturan untuk berbuat yang lebih baik di depan umum. Seperti misalnya jika anak pilek, beri dia tisu dan ajarkan cara membersihkan hidungnya jika ingus keluar, lalu buang tisu di tempat sampah. Jika ia mememerlukan sesuatu, biasakan untuk mendekat dan berkata dengan sopan, bukan berteraik-teriak memanggil-manggil.

Jika anak tetap melakukan apa yang telah diajarkan, Anda dapat menolak keinginannya dengan cara pergi sambil mengatakan bahwa Anda tidak mau menolongnya jika dia tetap berlaku yang tidak semestinya. “Kalau kamu ngomongnya sopan, Mama akan mendengarkannya.” Lakukan terus dengan konsisten.

6. MEMBESAR-BESARKAN KENYATAAN ALIAS BOHONG
Mengapa Harus Dicegah: Jangan menganggap seolah-olah bukan suatu hal yang penting jika anak Anda mengatakan dia telah merapikan tempat tidurnya dengan susah payah padahal hal itu sama sekali tak benar. Atau dia bercerita kepada temannya bahwa liburan kemarin dia pergi ke Disney World padahal sebetulnya dia belum pernah ke sana. Bahkan naik pesawat terbang pun, belum pernah.

Jika hal ini terjadi, sangat penting untuk membicarakannya dengan anak dan jangan pernah dibiarkan! Soalnya, berbohong dapat menjadi suatu hal yang otomatis. Kalau anak belajar dan merasa bahwa dengan membual merupakan cara yang mudah agar dia dipandang lebih hebat oleh temannya atau mencegah terjadinya masalah yang lebih besar yang telah diperbuatnya, segera perbaiki tingkah laku anak!

Cara Mencegah: Jika Anda mendapati anak berbohong, ajak dia duduk bersama dan langsung bicarakan mengenai masalahnya. Misalnya, Anda mengatakan, “Memang sangat menyenangkan, ya, kalau kita bisa pergi ke Disney World. Mudah-mudahan suatu hari kita bisa pergi ke sana. Tapi kamu enggak boleh berbohong bilang pada temanmu sudah pergi ke sana. Sebab, kalau kamu suka berbohong, nanti jika kamu benar-benar melakukan sesuatu yang benar, tidak akan ada lagi yang percaya karena tahu kamu sudah berbohong. Nah, akhirnya kamu enggak punya teman. Enggak enak, kan?”

Atau jika anak berkata sudah menggosok giginya, periksa giginya. Jika ternyata belum, suruh dia segera menggosok gigi dengan bersih. Kontrol terus hal-hal seperti ini dan berikan mereka pengertian. Jangan pernah bosan melakukannya! Anda ingin si kecil berperilaku baik di saat ia besar nanti, kan? (Sumber : Ir. Hendry Risjawan, MTC, CH, CHt, CHI, EITC)

Sumber: www.ilmupsikologi.com

Riset Terbaru: Olah Raga Bukan Untuk Badan, Tapi Otak

January 20th, 2010 by yahdillah

Olahraga untuk otak memang populer akhir-akhir ini, namun tahukah Anda bahwa olahraga yang kita lakukan tidak hanya baik untuk jantung dan berat badan tapi juga efektif untuk mengasah otak.

“Olahraga sebenarnya lebih berguna untuk otak, bukan tubuh, karena olahraga sangat memengaruhi mood, vitalitas, konsentrasi dan perasaan positif seseorang,” kata John J.Ratey, MD, penulis buku A User’s Guide to the Brain.

Stephen C.Putnam, MEd, penulis buku Nature’s Ritalin for the Marathon Mind, juga menyatakan manfaat olahraga untuk anak-anak dengan cedera otak, seperti anak hiperaktif. Dengan kegiatan olahraga, kelainan perilaku anak bisa dikurangi dan fokus mereka ditingkatkan.

Dalam penelitian yang dilakukan Putnam diketahui anak yang melakukan olahraga 15-45 menit sebelum masuk kelas cenderung memiliki sikap yang lebih baik dan mudah berkonsentrasi di kelas. Selain membuat tubuh terasa bugar, olahraga juga akan membuat otak lebih segar.

Para ahli menjelaskan olahraga memengaruhi banyak bagian dalam sistem saraf dan memicu dilepaskannya hormon-hormon yang menimbulkan perasaan senang, gembira dan tenang, seperti serotonin dan dopamin. Itu sebabnya, orang yang rajin berolahraga lebih jarang terkena depresi.

“Saat Anda berolahraga, Anda akan berpikir lebih jernih, lebih bugar dan lebih positif. Ini murni hal ilimiah karena olahraga akan merangsang sistem saraf dan berfungsi dalam level yang maksimal,” kata Christin Anderson, MS, koordinator kebugaran dari University of San Fransisco.

Sumber: www.ilmupsikologi.com

Tidur Dapat Kurangi Depresi

Jangan biasakan begadang, kalau tidak ada aktivitas penting dan genting….anda bisa jadi mudah pening. Terutama bagi remaja yang biasa tidur lewat tengah malam akan lebih mudah terkena depresi, dibanding yang tidur lebih awal

Penelitian terbaru yang dilakukan di New York menunjukkan bahwa tidur lebih awal akan melindungi para remaja dari depresi dan pemikiran ingin bunuh diri.

Dari 15.500 remaja berusia 12 sampai 18 tahun yang dijadikan bahan studi, mereka yang tidur sebelum tengah malam, memiliki 24 % kecenderungan untuk mengalami depresi dibandingkan mereka yang tidur sebelum jam 22.00.

Dan mereka yang tidur kurang dari lima jam dalam semalam memiliki 71 persen kemungkinan depresi, dibandingkan mereka yang tidur selama delapan jam, demikian laporan Jurnal Tidur (Sleep).

Di Inggris diperkirakan sekitar 80 ribu anak-anak dan remaja mengalami depresi.

Para peneliti dari Pusat Medis Universitas Kolumbia di New York mengumpulkan daya dari 15.500 remaja di tahun 1990-an.

Resiko depresi

Di antara mereka yang memiliki resiko depresi tinggi, mereka yang diperintahkan tidur oleh orang tua mereka atau yang tidur setelah tengah malam, 20% lebih tinggi kemungkinan memikirkan tindakan bunuh diri dibandingkan mereka yang tidur sebelum jam 2200.

Mereka yang tidur kurang dari lima jam memiliki 48% lebih tinggi untuk bunuh diri dibandingkan mereka yang tidur selama delapan jam.

Para remaja yang melaporkan mereka “cukup tidur” 65% lebih kecil kemungkinan mengalami depresi.

Depresi dan pemikiran ingin bunuh diri lebih banyak terjadi pada anak-anak perempuan, remaja yang tua, atau mereka yang memiliki persepsi diri yang rendah.

Kebanyakan orang tua dalam studi itu menetapkan batas waktu tidur sekitar jam 22.00 atau lebih awal.

Secara rata-rata, para remaja ini tidur tujuh jam 53 menit setiap malam –kurang dari sembilan jam dari rekomendasi untuk anak-anak seumur mereka.

Sumber: www.ilmupsikologi.com

Cinta Ibu Menentukan Watak Anak

Kompas.com - Di usia balita, bukan hanya kebutuhan gizi saja yang wajib menjadi perhatian para orangtua. Inilah saat yang paling tepat menanamkan rasa cinta dan kasih sayang karena dampaknya akan terus terbawa hingga dewasa.

Meski bayi belum dapat membalas ucapan ayah ibunya, ia dapat menangkap rasa cinta yang disampaikan melalui tatapan, usapan, dan pelukan. Dan, ekspresi cinta yang ditangkapnya akan menjadi modal baginya untuk mengembangkan kekuatan emosional yang kelak membantunya mengatasi stres.

Karena itulah, para pakar menilai ikatan batin antara ibu dan anak menjadi kunci yang menentukan apakah seseorang akan tahan uji melewati berbagai fase kehidupan. Namun, sikap kasih sayang yang ditunjukkan secara berlebihan juga tidak disarankan karena bisa membuat anak merasa terganggu dan malu, terutama ketika anak mulai beranjak besar.

“Kasih sayang yang dicurahkan orangtua kepada anak bukan hanya mengurangi stres, tetapi juga membantu mengembangkan keterampilan sosialnya yang kelak membantunya di usia dewasa,” kata Dr Joanna Maselko.

Dalam risetnya, Maselko dan timnya mengamati 500 orang di Amerika sejak mereka bayi hingga dewasa. Ketika para responden itu masih bayi, peneliti menilai respons ibu mereka terhadap emosi dan kebutuhan anak. Misalnya menilai apakah terdapat interaksi yang hangat antara keduanya.

Tiga puluh tahun kemudian, para peneliti meminta para responden yang kini sudah dewasa itu untuk mengikuti survei mengenai emosi dan perasaan. Ternyata, responden yang dilimpahi kasih sayang oleh ibunya mampu mengatasi tekanan hidup secara lebih baik. Mereka juga mampu mengatasi kecemasan dan emosi negatif.

Dr Terri Apter, psikolog dari Cambridge yang sering melakukan studi mengenai hubungan ibu dan anak, mengatakan, orangtua harus bersikap responsif terhadap kebutuhan anak. “Setiap bayi lahir tanpa tahu bagaimana mengatur emosi mereka. Mereka mempelajari emosi dari kesusahan dan juga ketenangan yang didapatnya,” katanya.

Ibu yang responsif, lanjut Terri, paham apakah perhatian yang diberikannya sudah cukup atau kurang. “Ibu yang responsif bukan cuma tahu kapan harus memberi perhatian, tetapi juga kapan harus menjaga jarak,” ujarnya. (kompas.com)

Sumber: www.ilmupsikologi.com

Minggu, 26 Desember 2010

Riset : Berjalan kaki dapat meningkatkan kecerdasan?

Penelitian unik dilakukan oleh ilmuwan Universitas Illinois tentang variabel yang berpengaruhn terhadap kecerdasan salah satunya adalah dengan berjalan di udara terbuka. Anda bisa menghabiskan waktu di udara terbuka dengan jogging, berjalan-jalan di taman bersama si kecil atau binatang peliharaan.

Seperti yang dikutip dari geniusbeauty, ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh para ahli bedah saraf dari University of Illinois yang menemukan bahwa ada hubungan langsung antara otak dengan berjalan.

Menurut direktur riset tersebut, Profesor Art Kramer, tingkat kecerdasan orang akan meningkat jika dia berjalan setidaknya tiga kali seminggu selama 40 menit di udara terbuka. Seperti yang dilaporkan oleh dailymail, para ilmuwan percaya bahwa dengan berjalan akan mengaktifkan seluruh kegiatan dan struktur otak karena adanya rangsangan eksternal.

Sumber: www.ilmupsikologi.com

Anak Pemalu

Kategori Anak
Oleh : Martina Rini S. Tasmin, SPsi
Jakarta, 20 Maret 2002


Ibu Heny sangat terpesona dengan Dendi, anak tetangganya yang baru berumur 3 tahun. Dendi adalah seorang anak yang penuh percaya diri, riang dan lincah, tidak pernah takut bertanya ini itu dan dengan mantap menyapa orang yang baru dikenalnya. Kondisi tersebut sangat kontras jika dibandingkan dengan Adie (3 tahun), anaknya Ibu Heny. Setiap kali bertemu orang baru Adie selalu ingin terus-menerus berada dekat orangtuanya, menyembunyikan diri di balik rok ibunya, tidak mau diajak bicara dan tidak mau melakukan kontak mata. Situasi ini sangat membingungkan ibu Heny dan tidak jarang ia menjadi malu dan sedikit "jengkel" dengan perilaku anaknya.

Apakah anda mengalami hal yang sama dengan dialami oleh ibu Heny? Jika ya, apa yang sebaiknya dilakukan orangtua untuk meningkatkan rasa percaya diri pada anak sehingga sifat pemalu pada anak lambat laun menjadi hilang? Lalu apa dampaknya jika anak tidak kunjung memperoleh rasa percaya diri? Inilah yang akan coba dibahas dalam artikel ini. Artikel ini akan terbagi dalam beberapa bagian yaitu:

*
Apakah Pemalu itu
*
Dampak apakah yang akan mungkin timbul akibat sifat pemalu
*
Bagaimanakah sebaiknya orangtua menyikapi anak pemalu


Apakah Pemalu Itu

Para ahli nampaknya memiliki beberapa pandangan yang berbeda tentang perilaku pemalu (shyness). Ada ahli yang mengatakan bahwa pemalu adalah suatu sifat bawaan atau karakter yang terberi sejak lahir. Ahli lain mengatakan bahwa pemalu adalah perilaku yang merupakan hasil belajar atau respond terhadap suatu kondisi tertentu. Secara definitif, penulis menjabarkan pemalu sebagai suatu keadaan dalam diri seseorang dimana orang tersebut sangat peduli dengan penilaian orang lain terhadap dirinya dan merasa cemas karena penilaian sosial tersebut, sehingga cenderung untuk menarik diri

Kecenderungan menarik diri ini sudah dimulai sejak masa kanak-kanak, bahkan sejak bayi. Kita dapat melihat ada bayi-bayi yang menangis jika didekati orang atau tidak mau untuk dipegang. Sebaliknya ada juga bayi-bayi yang tidak pemalu, mereka membiarkan diri mereka berada dekat orang lain, dan tidak menolak digendong oleh orang yang tidak dikenal.

Swallow (2000) seorang psikiater anak, membuat daftar hal-hal yang biasanya dilakukan/dirasakan oleh anak yang pemalu:

1.
menghindari kontak mata
2.
tidak mau melakukan apa-apa
3.
terkadang memperlihatkan perilaku mengamuk/temper tantrums (dilakukan untuk melepaskan kecemasannya)
4.
tidak banyak bicara, menjawab secukupnya saja seperti "ya", "tidak", "tidak tahu", "halo"
5.
tidak mau mengikuti kegiatan-kegiatan di kelas
6.
tidak mau meminta pertolongan atau bertanya pada orang yang tidak dikenal
7.
mengalami demam panggung (pipi memerah, tangan berkeringat, keringat dingin, bibir terasa kering) di saat-saat tertentu
8.
menggunakan alasan sakit agar tidak perlu berhubungan dengan orang lain (misalnya agat tidak perlu pergi ke sekolah)
9.
mengalami psikosomatis
10.
merasa tidak ada yang menyukainya

Swallow juga menyatakan adanya beberapa situasi dimana seseorang (pemalu maupun tidak) akan mengalami rasa malu yang wajar dan lebih dapat diterima, yaitu:

1.
bertemu dengan orang yang baru dikenal;
2.
tampil di depan orang banyak;
3.
situasi baru (misalnya sekolah baru, pindah rumah baru).
Dampak Sifat Pemalu

Pada dasarnya pemalu bukanlah hal yang menjadi masalah ataupun dipermasalahkan, dan sudah pasti bukan merupakan abnormalitas. Tetapi masalah justru bisa muncul akibat sifat pemalu. Peribahasa malu bertanya sesat di jalan, menggambarkan secara tepat masalah yang dapat muncul karena rasa malu yang ada dalam diri seseorang. Misalnya, ketika berada di rumah teman/tetangga, anak ingin buang air kecil tetapi malu minta ijin ke toilet, sehingga menahan keinginan buang air yang akhirnya berakibat sianak malah mengompol.

Pemalu juga dapat menjadi masalah, jika sifat ini menyebabkan potensi anak menjadi terkubur dan anak tidak berkembang secara optimal sesuai dengan potensinya. Misalnya anak yang punya suara bagus dan berbakat menyanyi, tapi merasa malu untuk mengasah bakatnya dengan ikut koor, les vokal dan mengikuti kejuaraan, maka suara indahnya akan tersimpan sia-sia dan tidak bertambah indah. Hal ini sangat disayangkan baik bagi anak maupun orangtuanya.

Apa yang sebaiknya dilakukan orangtua?

Tanpa mengabaikan pendapat bahwa pemalu merupakan bawaan/karakter terberi atau bukan, satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa lingkungan memegang peranan penting terhadap sifat pemalu ini. Anak akan semakin pemalu ataukah justru dapat mengatasi sifat pemalu ini, tergantung dari apakah lingkungannya (baca: orangtua) terus-terusan melindungi anak pemalu atau mendorongnya untuk mau menghadapi dunia luar sehingga anak menjadi lebih percaya diri.

Idealnya orangtua menerima sifat pemalu anak apa adanya tanpa mempermasalahkannya. Namun di lain pihak orangtua diharapkan untuk memampukan anak dalam mengatasi rasa malu sehingga anak merasa kompeten, percaya diri, berkembang sesuai dengan potensi yang ada di dalam dirinya dan megurangi masalah yang mungkin timbul sebagai akibat sifat pemalu. Seorang anak yang pemalu, tidak terus-terusan merasa malu dalam setiap situasi hidupnya. Ada situasi-situasi tertentu yang dapat membuatnya merasa percaya diri. Biasanya situasi tersebut adalah ketika anak sedang bersama orangtua ataupun anggota keluarga yang ditemuinya setiap hari (tanpa kehadiran orang baru/asing) atau situasi yang stabil/rutin dilalui anak. Kalau orangtua dari awal sudah mengetahui anaknya pemalu dan ingin mendorongnya agar mampu mengatasi rasa malu tersebut, maka sebaiknya dari awal itulah usaha orangtua sudah dilakukan. Usaha orangtua sebaiknya merupakan usaha yang bertahap, hari demi hari sampai akhirnya bertahun-tahun kemudian menampakkan hasilnya, seperti kata pepatah sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit.

Orangtua sebaiknya mendorong anak untuk berani keluar dan menghadapi dunia luar dengan percaya diri. Mendorong seorang anak pemalu untuk berani menghadapi dunia luar tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba (drastis). Misalnya ketika orangtua sudah mencapai titik jenuh melindungi anaknya terus-menerus dan bingung melihat anaknya sampai usia sekian tahun masih tidak mau bergaul dengan anak tetangga, lalu dengan tiba-tiba melepaskan si anak dan mengatakan "ayo dong Adie, sekarang kamu sudah besar, kamu sekarang sudah harus berani, ayo sana bermain play station ramai-ramai dengan Deni di rumahnya". Perubahan sikap orangtua yang seperti ini bisa menjadi tekanan tersendiri buat si anak, karena yang biasanya aman dalam lindungan orangtua, tiba-tiba orangtua berubah melepaskan dan "tidak mau melindungi". Mendorong anak (encourage) tidak sama dengan memaksa (push), usaha yang tiba-tiba bukanlah mendorong, tetapi memaksa. Perasaan terpaksa akan membuat keadaan bertambah buruk karena anak ditempatkan pada keadaaan yang melebihi batas toleransinya, sehingga anak bisa jadi malah semakin menarik diri.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan orangtua untuk membantu anak mengatasi rasa malu, yaitu:

1.
Orangtua sebaiknya tidak mengolok-olok sifat pemalu anak ataupun memperbincangkan sifat pemalunya di depan anak tersebut. Contohnya dengan mengatakan "kamu sih pemalu", "iya loh Bu Joko, anak saya ini pemalu sekali, sampai repot saya kadang-kadang", dll. Dengan mengatakan hal-hal ini anak dapat merasa tidak diterima sebagaimana dia adanya.
2.
Mengetahui kesukaan dan potensi anak, lalu mendorongnya untuk berani melakukan hal-hal tertentu, lewat media hobi dan potensi diri. Misalnya, anak suka main mobil-mobilan, ketika berada di toko ia menginginkan mobil berwarna merah, sementara yang tersedia berwarna biru, maka anak bisa didorong untuk mengatakan kepada pelayan bahwa ia menginginkan mobil yang berwarna biru.
3.
Sebaiknya orangtua secara rutin mengajak anak untuk berkunjung ke rumah teman, tetangga atau kerabat dan bermain di sana. Kunjungan sebaiknya dilakukan pada teman-teman yang berbeda. Selain secara rutin berkunjung, juga sebaiknya mengundang anak-anak tetangga atau teman-teman sekolah untuk bermain di rumah.
4.
Lakukan role-playing bersama anak. Misalnya seperti pada contoh no. 2 diatas, anak belum tentu berani untuk berbicara pada pelayan toko sekalipun didampingi, maka ketika berada di rumah, orangtua dan anak bisa bermain peran seolah-olah sedang berada di toko dan anak pura-pura berbicara dengan pelayan. Role-playing dapat dilakukan pada berbagai situasi, berpura-pura di toko, berpura-pura di sekolah, berpura-pura ada di panggung, dll.
5.
Jadilah contoh buat anak, orangtua tidak hanya mendorong anak untuk percaya diri, tetapi juga menjadi model dari perilaku yang percaya diri. Anak biasanya mengamati dan belajar dari perilaku orangtuanya sendiri.

Apapun usaha yang dilakukan, sebaiknya orangtua tetap mendampingi dan tidak langsung melepaskan anak seorang diri. Misalnya ketika diminta bicara pada pelayan toko, orangtua berada di samping anak, atau ketika mengajak main ke rumah temannya, orangtua tetap berada di rumah temannya itu (anak main bersama temannya tapi dia tahu orangtuanya ada dan tidak meninggalkan seorang diri). Anak bisa dibiarkan melakukan seorang diri, jika dilihat rasa percaya dirinya sudah berkembang.

Sumber: www.e-psikologi.com

Suap dan Hadiah Dalam Pengasuhan

Kategori Anak
Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 02 Juni 2010

Mengingat ujian sudah dekat, Bu Ani mulai gencar menyuruh anaknya belajar. Pasalnya, waktu tray-out kemarin, anaknya kebetulan terkena remedial oleh gurunya. Si anak yang sedang asyik-asyiknya menonton acara televisi kesayangan, agak menolak perintah ibunya. Untuk menghindari ketegangan, sang ibu memberikan upeti yang masih dijanjikan agar anaknya cepat menuju ruang belajar. Pertanyaannya, apakah perilaku Bu Ani itu tergolong penyuapan (bribery) atau penghargaan atas usaha anaknya yang mau beranjak meninggalkan televisi (reward)?

Menyuap Dalam Pengasuhan
Praktek suap dalam pengasuhan perlu dibedakan dengan praktek yang ada dalam birokrasi. Suap dalam birokrasi diartikan sebagai perilaku yang mengiming-imingi atau menyepakati imbalan, baik di depan atau di belakang, agar terjadi aksi yang unfair (merugikan orang lain) atau unlawful (melanggar hukum).Misalnya, kita sedang dalam proses mengintip pekerjaan tender dari kantor departemen anu. Agar kita menang, kita membuat deal yang terkait dengan iming-iming imbalan itu agar terjadi proses yang tidak fair atau kalau perlu melanggar. Banyak proyek pemerintah yang anggarannya gila-gilaan, tetapi mutunya edan-edanan. Ini terjadi karena praktek suap merajalela.

Sedangkan suap dalam ruang lingkup pengasuhan, menerangkan tindakan orangtua yang memberi / menjanjikan imbalan untuk hal-hal yang ditolak oleh anak, yang mestinya itu sudah merupakan tanggung jawab anak, atau untuk hal-hal yang memang menjadi kewajiban orangtua melatih si anak, seperti belajar, mandi, sabar dalam meminta, dan seterusnya.

Hampir semua orangtua pernah melakukan suap kepada anaknya. Bedanya mungkin ada yang mempatenkan pola suap itu dan ada yang menjadikannya sebagai strategi temporer. Ada yang tingkatannya sudah berlebihan, tapi ada yang masih bisa dibilang wajar. Ada yang mau memperbaiki, tapi ada yang membiarkan.

Potensi Bahaya
Meski dipahami tidak sekotor seperti praktek suap dalam birokrasi, tetapi bila kebablasan atau tidak diiringi dengan penjelasan yang memahamkan anak, bisa-bisa praktek suap ini dapat menanamkan mentalitas yang kurang mendukung kemajuan anak di kemudian hari.

Suap sangat kurang mendidik anak untuk mengembangkan kendali diri (internal self control) yang menjadi landasan disiplin. Padahal disiplin itu sangat dibutuhkan untuk berbagai kepentingan. Disiplin dibutuhkan untuk menanamkan perilaku positif, dan melatih manajemen hidup. Anak yang tahu teori disiplin, belum tentu bisa menjalankan, jika tidak disertai latihan sejak kecil.

Suap juga dapat membuat sensitivitas anak terhadap tanggung jawabnya menjadi kurang tajam. Anak akan cenderung mengandalkan suap atau iming-iming imbalan untuk melakukan hal-hal yang baik bagi dirinya. Ironisnya, pada beberapa kasus anak-anak yang menjadi sasaran program bantuan bencana pun sudah bisa memilih dan menolak pihak yang tawarannya kurang menarik. Jadi program-program bantuan masyarakat pun sampai ada yang pakai strategi suap. Sebabnya, jika tidak pakai amplop, hadiah, dsb - tidak ada yang mau ikut. Dikasih duit untuk mengikuti pengajian dan program. Dikasih amplop untuk mengikuti training. Bahkan untuk membersihkan lingkungan sendiri pun diiming-imingi dengan uang. Saat itu, hampir semua orang melihatnya sebagai kebaikan yang luar biasa. Tapi, gara-gara kebablasan, kebaikan itu mulai menjadi petaka.

Bahkan jika suap ini sudah membuat anak terbiasa kecanduan, anak akan menggunakan kelemahannya atau menggunakan inisiatif negatifnya sebagai kekuatan untuk tawar-menawar dengan orangtua. Misalnya, anak akan menangis berlebihan jika tuntutannya tidak dipenuhi untuk mendapatkan suap dari orangtuanya.

Secara sosial, suap juga dapat menumpulkan kecerdasan sosial. Kalau dilogikakan, anak akan tidak tegerak untuk menolong orang lain atau untuk melakukan kebaikan sosial, termasuk untuk dirinya sendiri dan keluarganya ketika tidak melihat imbalan yang akan didapatkan. Bahkan, kalau membaca hasil kajian lembaga-lembaga internasional mengenai suap dan korupsi dalam sebuah bangsa, suap juga membahayakan kepentingan nasional. Terungkap dalam berbagai studi bahwa budaya menduduki ranking atas dalam menggerakkan perilaku. Selebihnya, sistem yang bobrok dan penegakan hukum yang lemah.

Budaya dalam hal ini adalah perilaku kolektif yang digerakkan oleh sekian elemen (kebiasaan, tradisi, nilai, contoh, dst) yang sudah masuk ke dalam sistem syaraf masing-masing individu sehingga untuk mengubahnya tidak mudah. Ada kemungkinan budaya itu terbentuk dari kecil atau dari proses waktu yang panjang.

Bagaimana Dengan Reward?
Reward dalam pengasuhan pengertiannya adalah memberi imbalan atas prestasi, pencapaian, atau perjuangan anak dalam mencapai sesuatu. Ada learning process di dalamnya. Misalnya, kita memberikan hadiah sepeda setelah dia bisa menguasai gerakan tertentu atau mendapatkan nilai / peringkat akademik tertentu.

Oleh pengalaman dunia pendidikan, reward ini dinilai punya pengaruh positif bagi anak, antara lain:
1. Reward akan memotivasi anak untuk berjuang atau mencapai. Motivasi itu bersumber dari dorongan atau rangsangan kita, lalu pengarahan kita ketika ada kesalahan atau penyimpangan, dan penghargaan kita atas pencapaian. Banyak orangtua yang kurang memberi dorongan, tetapi banyak menyalahkan. Sudah begitu, sikapnya juga kurang apresiatif terhadap prestasi anak.
2. Reward akan membuat anak merasa dihargai sehingga ini menjadi modal yang penting untuk membangun self-esteem. Untuk anak, faktor yang paling banyak peranannya dalam membangun harga diri adalah faktor eksternal, orangtua dan lingkungan. Harga diri yang positif membuat anak lebih optimistis, misalnya tidak pasrah jika nilainya jelek.
3. Reward dapat memantapkan kepercayaan diri (pede). Anak membangun pede dari bukti dan pengakuan. Jika anak melihat ternyata dia mampu melakukan sesuatu dengan bukti yang nyata (hasil atau kompetensi), ditambah lagi dengan pengakuan orangtuanya, maka pede-nya akan membaik.

Dalam banyak hal, intinya, memberi reward itu jauh lebih edukatif. Walaupun rewarding ini tidak selalu secara sempurna bisa kita jalankan, tetapi hal ini harus dijadikan acuan.

Butuh Alat Bantu
Supaya kita mudah memberikan reward, memang butuh alat bantu. Ketiadaan atau kekurangan alat bantu, dapat memudahkan kita terjebak melakukan bribing untuk kepentingan sesaat atau melakukan demotivating karena reaksi sesaat. Beberapa alat bantu yang penting itu adalah:

* Ada disiplin tertentu yang kita tegakkan secara konsisten sejak kecil. Akan lebih bagus disiplin itu ditegakkan berdasarkan kesepakatan dan perkembangan anak, dijalankan dengan cara friendly, dan konsisten mengawalnya. Disiplin akan memudahkan kita memberi pengarahan dan memberi reward karena dasarnya jelas.
* Ada standar prestasi / pencapaian tertentu berdasarkan kemampuan dan keadaannya, misalnya bisa menguasai kompetensi tertentu, nilai tertentu, kebisaan tertentu, dan lain-lain. Sebaiknya, standar prestasi itu kita buat berdasarkan kesepakatan yang menantang (challenging), bukan yang menekan (pressing). Pencapaian standar menjadi alasan yang pas untuk memberi reward
* Ada harapan tertentu. Tidak semua perilaku anak itu bisa dimasukkan ke dalam wilayah disiplin dan standar. Memang harus ada yang di luar sistem. Misalnya saja menangis, konflik, membanting barang, atau hal-hal yang serupa. Meski sulit dihindari, tetapi ada harapan dari orangtua kepada anaknya. Jika si anak bisa memenuhi harapan itu, walaupun tidak sempurna, memberi reward menjadi langkah yang pas.


Bahkan dengan alat bantu di atas dapat juga menghindarkan kita dari praktek memuji-muji anak tanpa alasan yang tepat. Memuji tanpa alasan dan berlebihan sangat berpotensi mendorong anak menciptakan konsep diri yang salah.Teorinya, anak yang sering diserang oleh orang dewasa di sekitarnya akan membangun konsep diri yang lemah (The Poor Me), minder, takut, dst. Tapi, jika kebanyakan dipuji yang hanya untuk menyenangkan hati tidak berarti lantas bagus. Dia akan membangun konsep diri yang super (The Super Me), sombong, narsis, berpikir harus menundukkan orang lain, menutut pujian, dst.

Supaya terhindar, kita perlu membekali dia membangun konsep diri yang aktual (The Actual Me). Salah satu cara yang penting adalah dengan menciptakan dan menjalankan alat bantu di atas. Untuk kepentingan yang lebih besar, melatih anak supaya menjadi actualized itu akan membekali paradigma mental yang lebih riil dalam menghadapi hidup.

Berbagai Bentuk Reward
Reward itu tidak selamanya harus materi. Reward dapat berupa materi (tangible) dan bukan materi (intangible), misalnya pujian, dukungan, ciuman kasih sayang, penghormatan, perlakuan, dan lain-lain. Artinya, tidak semua reward mengharuskan kita merogoh saku. Dengan kata lain, semua orangtua punya kesempatan yang sama untuk me-reward anaknya. Hanya memang namanya juga anak-anak, secara umum, reward yang tangible atau yang berbentuk materi itu biasanya punya nilai yang lebih sensasional dan itu biasanya yang lebih dulu diminta.

Meski demikian, kalau keseringan, daya kejutnya bisa berkurang, selain juga kurang bagus. Jalan tengah yang bisa ditempuh orangtua adalah menyesuaikan, memproporsionalkan dengan situasi kondisi, anak dan segala sesuatunya. Tidak melulu materi atau tidak melulu hanya omongan, tidak perlu seragam dengan yang lain, dsb.

Ada banyak teori yang bisa kita jadikan acuan untuk memvariatifkan atau mengkomprehensifkan reward, misalnya teori ERG yang membagi kebutuhan manusia menjadi tiga, seperti di bawah ini:

E = Existence, kebutuhan fisiologis dasar, misalnya makanan atau baju
R = Relatedness, kebutuhan emosional sosial, misalnya mainan baru yang membuat dia punya gairah baru dalam berteman, perlakuan yang lebih istimewa, penghargaan, kunjungan ke rumah nenek di kampung, dan lain-lain
G = Growth, kebutuhan aktualisasi diri, perkembangan, atau kemajuan, misalnya membelikan buku, mainan yang edukatif, atau fasilitas kemajuan tertentu.

Selain itu, bentuk reward-nya sendiri juga perlu disesuaikan dengan usia, kebutuhan perkembangan, atau juga sebab-sebabnya. Ini supaya nilai gunanya tepat dan efektif. Reward yang terlalu besar sama jeleknya dengan reward yang terlalu kecil. Membelikan hape atau laptop untuk anak yang belum butuh, bisa salah atau kurang berguna. Akan lebih sempurna lagi jika reward itu kita desain se-personal mungkin, spesial, dan unik. Kalau terlalu umum atau biasa-biasa, padahal itu untuk sebuah prestasi yang luar biasa, bisa-bisa kita malah dilecehkan, dengan istilah semacam pelit, kurang perhatian, dsb.

Yang paling penting untuk kepentingan pendidikan adalah, reward itu memang sengaja kita rancang untuk menantang dia meningkatkan pencapaian, prestasi, atau perjuangan. Jangan sampai gara-gara hadiah itu lantas membuat dia berubah menjadi lebih buruk atau tidak tertantang lagi. Hadiah membawa musibah.

Sumber: www.e-psikologi.com

Minggu, 14 November 2010

Humor Dalam Bingkai Psikologi

Kategori Kesehatan
Oleh : RR. Ardiningtiyas Pitaloka, M.Psi.
Jakarta, 24 April 2008

Anda pasti akan terbahak kalau pada tulisan ini saya mendefinisikan apa itu humor. Seperti kekurangan ide aja, mendefinisikan humor sementara hampir setiap detik kita tertawa mendengar gelitik canda dalam bus kota, kereta, mobil, ketika menonton televisi, bermain game komputer, membaca buku, singkatnya di manapun berada kita bisa guyon, humor, bahkan dalam alam pikir kita sendiri. Alam pikir? Ya, buktinya ketika tak ada seorang pun yang melontarkan cerita atau celetukan lucu, tetap saja terjadi seseorang tiba-tiba tersenyum bahkan terkikik sendiri. Artinya kita bisa menciptakan kelucuan dari sekitar dengan atau tanpa orang lain.

Lalu, apa itu lelucon, apa itu lucu? Ini tidak sekedar melucu, karena tidak sedikit penelitian psikologi yang menyelidiki humor, termasuk manfaatnya dalam dunia psikologi praktis.



Persepsi tentang Humor

Humor is a social instrument that provides an effective way to reduce psychological distress, communicate a range of feelings and ideas, and enhance relationships; also, humor protects social relationships when communicating negative information. (Baldwin,2007)

Humor provides a means to communicate ideas and feelings, convey criticism, and express hostility in a socially acceptable manner (Brownell & Gardner, 1988; Dixon, 1980; Haig, 1986; Martin, 2001 in Baldwin 2007).

Kemampuan mentertawakan kondisi sekitar, diri sendiri, pilihan sendiri, menjadi salah satu katup yang akan melancarkan kembali kemampatan hidup. Pernah tidak anda mengalami kejadian seperti ini; anda ingin membeli sebuah pesawat televisi, sepertinya begitu sederhana, namun ternyata pilihan yang hadir sangat beragam, tidak hanya itu, anda pun harus menyesuaikan dengan lembaran yang tersedia dalam kantong.

Anda melakukan studi produk dengan membaca informasi dari koran, internet, diskusi dengan teman, kakak, juga orangtua. Lalu, anda mulai melakukan survey ke pusat elektronik terlengkap di kota anda, hmm.. dijamin deh.. sesampai di sana anda bisa terbius oleh jajaran pesawat televisi beraneka rupa, ditambah rayuan orang-orang yang seakan tak pernah lelah mengobral keunggulan tiap produk dagangannya. Anda bisa terbius dan akhirnya menunjuk satu kotak ajaib itu, atau perputaran bintang di kepala mendorong anda untuk pulang tanpa satu kotak pilihan pun.

Mungkin anda memilih yang ke dua, karena anda termasuk orang yang tidak mau membeli sesuatu dalam kondisi ’tak sadar diri’. Sehari kemudian, ketika anda sedang berjalan ke arah mesin ATM dekat kompleks rumah, tiba-tiba mata anda tertuju pada satu toko kecil di samping ATM, toko elektronika. Anda pun memasuki toko itu dan melihat beberapa televisi yang tidak menyala dengan gemerlap seperti di beberapa pusat elektronika megah yang kemarin anda kunjungi. Namun, tidak sampai lima belas menit, anda sudah mengulurkan lembaran uang sebagai transaksi diiringi senyum puas.

Kisah sukses ini akan mendapat sambutan riuh sahabat anda, ”Huu... jauh-jauh kutemani ke pusat elektronika, belinya di samping rumah..”

Kalau ada yang tidak tertawa, atau terguling-guling sakit perut, mungkin kita perlu melihat juga reaksi apa yang terjadi dalam diri sewaktu mengkonsumsi humor.



Reaksi Kognitif & Afektif

Apresiasi terhadap humor tidak murni merupakan kerja kognitif tetapi diperlukan juga keterlibatan proses afektif di dalamnya. Elemen kognitif di sini mengacu pada pemahaman humor dengan kemampuan mengenali atau mendeteksi disparitas antara materi humor dan pengalaman yang pernah terjadi sebelumnya (humor comprehensive). Pada sisi lain, elemen afeksi mengacu pada pengalaman menyenangkan (respons emosional) terhadap materi humor tersebut (humor appreciation) .

Mendengar lelucon, pacuan denyut jantung kita meningkat, kulit tubuh pun bereaksi, disusul segera oleh reaksi afektif yang positif dan kuat (Goldstein, Harman, McGhee, & Karasik, 1975; Katz, 1993; McGhee, 1983 dalam Berry 2004). Inilah yang menjelaskan mengapa badan kita terguncang-guncang, muka memerah, nafas terengah dan telapak tangan memegangi perut ketika mendengar cerita lucu. Semua merupakan kerjasama rapi dan detil dari reaksi kognitif mengenali lelucon yang menjelma dalam reaksi fisik, disertai afeksi menyenangkan.



Menertawakan Lelucon

Apa yang membuat satu kejadian mampu memancing tawa pada sekelompok orang namun tidak sama sekali pada orang lain?

Studi menunjukkan kemampuan membedakan antara lucu dan tidak lucunya stimuli visual terkait pada sederhana atau tidaknya peristiwa termasuk konsepnya. Selain itu, humor juga bisa kita lihat menjadi dua jenis yakni humor verbal dan non-verbal. Apresiasi keduanya tentu tidak sama, humor verbal terkait dengan kemampuan abstraksi dan fleksibilitas mental, sementara humor non-verbal terkait dengan atensi visual.

Lelucon yang kita dengar dalam suatu percakapan membutuhkan kemampuan membayangkan dan menghadirkan imagi visual untuk menghasilkan reaksi positif yaitu tawa atau perasaan geli. Pada humor non verbal, contohnya membaca komik atau menonton film kartun membutuhkan perhatian visual kita untuk menggelitik sensitivitas humor diri kita.

Masih ada hal lain, yaitu pola hubungan sosial yang ternyata berpengaruh untuk menerabas perbedaan stimuli humor verbal maupun non-verbal. Misalnya, sekelompok mahasiswa psikologi, kemungkinan besar telah akrab dengan berbagai istilah yang dengan renyah sering menjadi bahan canda, seperti ’proyeksi’, atau ’denial’.

Ketika seseorang dalam kelompok bercerita tentang mahasiswa yang dianggap begitu menyenangi dosen baru padahal di mata dia menyebalkan, kemudian ada celetukan”Proyeksi tuh, padahal wajah lu berbinar juga sekali setiap di kelas dosen ganteng itu... ,” disambut gelak tawa, namun dua mahasiswa Arsitek lain yang kebetulan berada di dekat mereka akan mengernyitkan dahi dan mencoba lebih keras memahami makna kata ‘proyeksi’. Apakah sama dengan proyeksi seperti pada gambar perspektif yang sering mereka buat?

Berlaku pula ketika mahasiswa psikologi terkikik melihat cipratan tinta yang secara spontan memancing humor ala test Rosarch, bukan merupakan humor bagi mahasiswa seni rupa misalnya. Maka konteks pun memegang peran di sini.



Humor dalam Konseling

Seperti bentuk interaksi lain dalam kehidupan manusia, sesi konseling pun salah satu bentuk interaksi. Komunikasi selalu memerlukan ’kesamaan bahasa’ untuk bisa terhubung. Kita mengenal sebuah istilah ice breaking, sebaai salah satu titik krusial dalam menjalin rapport di garis awal sesi ini. Humor telah menjadi pilihan spontan, tidak kecuali bagi konselor dan klien sendiri.

Konselor perlu melihat dan menentukan kondisi yang tepat ketika akan menyelipkan atau menggunakan humor dalam sesi konselingnya. Penggunaan humor ini menuntut pengukuran tingkat ketepatan dalam waktu dan sensitivitas. Humor yang tepat dan positif bukan tidak mungkin mampu menciptakan great insight bagi kehidupan dan dunia klien.

Sebagai pemecah kekakuan dan ketegangan yang mungkin tercipta di awal konseling, idealnya humor mampu meredakan ketegangan dan memberi kemajuan positif dalam interaksi selanjutnya. Studi telah menunjukkan bahwa humor memang instrumen yang ampuh dalam konseling. Interpretasi tepat terhadap atmosfer atau suasana klien (konseling) serta kepribadian klien, menjadi pertimbangan penting bagi konselor untuk mengeluarkan joke-joke segar sebagai pendukung kesuksesan konseling.

Humor juga merupakan representasi komunikasi dan ekspresi klien. Klien memanfaatkan humor sebagai alat komunikasi untuk menanggapi berbagai aspek yang disajikan dalam proses konseling. Tidak jarang klien merasa grogi atau cemas ketika memasuki sesi konseling, maka humor menjadi barometer tingkat kenyamanan dan keamanan yang akan didapatkan dari interaksi dengan konselor. Kembali, humor berperan sebagai pemecah kekakuan dan ketegangan yang cukup sensitif.



Humor Memacu Kreativitas

Humor dan kesehatan telah banyak diperbincangkan dan dibuktikan, karena tertawa berarti melakukan peregangan otot-otot halus tidak hanya di sekitar wajah tapi seluruh tubuh sehingga kita menjadi santai. Humor juga berkhasiat memacu kreativitas, karenanya sangat dianjurkan dalam ruang kelas maupun ruang keluarga.

Pendekatan komunikasi dan interaksi antara orangtua dan anak, pengajar dan anak didik dapat mendorong kreativitas serta kemampuan berpikir, mengenalkan nilai-nilai, mengajarkan perilaku positif dan tanggung jawab pada lingkungan sekitar, menanamkan rasa percaya dan kepercayaan diri anak-anak dengan mengenalkan satu mekanisme untuk menghadapi kesedihan, kekecewaan atau perasaan duka (Lovorn,2008).

Mengapa? Karena mengapresiasi humor tidak sekedar terbahak, dibutuhkan sensitivitas sosial mencakup momen, siapa dan di mana kita saat itu. Mungkin kita sendiri akan langsung merasa geli menghadai satu kegagalan, tetapi kita perlu berpikir ulang ketika mendapati sahabat yang begitu terpukul pada satu kejadian, tidak serta merta humor bisa menjadi obat kekecewaan. Maka, mengenalkan dan membiasakan humor pada anak-anak, sekaligus melatih banyak aspek seperti terungkap dalam penelitian Lovorn di atas.

JK.Rowling dalam karyanya ”Harry Potter” pun menawarkan ’terapi’ humor pada pembacanya dengan menciptakan mantra ”Ridiculus” untuk melenyapkan boggart, makhluk non penyihir yang selalu berwujud beda-beda tergantung ketakutan yang dimiliki penyihir. Seperti Ron Weasley yang takut pada laba-laba, maka boggart akan menampakkan dirinya sebagai laba-laba raksasa, mengucapkan mantra Ridiculus dan membayangkan laba-laba (ketakutan) menjadi /melakukan sesuatu yang menggelikan, maka hilanglah ketakutan (Boggart) itu.

Menertawakan ketakutan diri sendiri, menjadi obat penawar yang ampuh, itulah yang ingin disampaikan. JJJ

sumber: www.e-psikologi.com

Kampus Bukan Hotel Singgah

Kategori Pendidikan
Oleh : RR. Ardiningtiyas Pitaloka, M.Psi.
Jakarta, 10 Agustus 2010

Dunia pendidikan sering mendapatkan tuduhan tidak menghadirkan realitas kehidupan, sehingga para lulusannya menjadi ‘mati gaya’ ketika saatnya turun gunung. Perguruan tinggi sering pula mendapatkan label ‘menara gading’. Kalimat ini menggambarkan jauhnya realitas di kampus dengan realitas kehidupan di luar kampus. Pengalaman sebagai pengajar di dua kampus swasta Jakarta memberi saya pemahaman yang sedikit ‘berbeda’ dan memperlihatkan hal lain dari label di atas. Label yang kemudian terasa menjadi ‘excuse’ masyarakat Indonesia, menguak isu kebiasaan kalau bukan disebut ‘budaya’ kita yang lebih krusial.

‘Apa ada yang kita pelajari di kelas yang digunakan sehari-hari?’ Apakah mempelajari filsafat ada manfaatnya di pekerjaan? Apakah dalam interview kerja akan ditanyakan pemikiran Socrates? Apakah teori dan jurnal sains itu dapat digunakan kelak ketika bernegosiasi dengan klien atau menarik konsumen? Masih banyak gurauan dan pernyataan sinis sekaligus miris yang akrab di percakapan sehari-hari. Kita bisa menemui di kantin kampus hingga perkantoran. Jawabannya tentu : TIDAK ADA.

Kampus adalah realitas
Lebih dari sekali – dua kali saya mendapatkan pertanyaan dengan wajah ‘memelas’, “Haruskah menggunakan textbook?” Mereka nampak kecewa mengetahui ‘pelarangan’ Om Google sebagai ‘handbook’ mata kuliah. Banyak mahasiswa juga yang masih keliru menganggap mesin pencari ini sebagai ‘referensi’. Padahal telah banyak penerbit Indonesia yang menerjemahkan textbook sehingga jauh lebih terjangkau dan lebih mudah ditemukan dibandingkan sepuluh tahun yang lalu.

Menggunakan di sini juga bermakna variatif, mulai dari membeli, mengkopi beberapa bagian hingga meminjam di perpustakaan atau teman (kakak tingkat). Hingga saya pernah mengajak mahasiswa untuk mengingat scene-scene dalam film Hollywood yang terkesan ‘hura-hura’. Dalam adegan sekolah atau kampus, mahasiswa atau siswa dengan warna-warni penampilan (dari funky – sexy) tetap menenteng bertumpuk buku di tangannya.

Jika melukiskan ekspresi mahasiswa dengan kartun, ada satu bubble sama di atas kepala mereka, “Kuliah tidak sama dengan kerja kelak”; “Ini hanya teori”, dsb. Citra ini yang sedikit banyak menjadi dorongan negatif untuk kurang atau tidak bersungguh-sungguh menjalani kehidupan kampus. Padahal, kampus bagi mahasiswa adalah dunia riil, sangat riil yang bisa menempati porsi utama pada masa perkembangan kognitif mereka saat itu.

Kampus adalah miniatur kehidupan yang memberikan kesempatan mahasiswa untuk mengasah ketrampilan akademik, interaksi sosial bahkan entrepreneurship. Soft skill utama seorang lulusan perguruan tinggi adalah ketrampilan menganalisa, menyusun logika, komunikasi aktif, kerjasama, bahkan kepemimpinan. ‘Berdialog’ dengan para ilmuan dari penjuru dunia melalui teori-teori mereka adalah salah satu media mengasah mind. Membaca textbook, membahas isu praktis dengan analisa teoretik adalah hal riil untuk membentuk ketrampilan analisa logika.

Apresiasi terhadap nilai tinggi adalah apresiasi pada usaha selama kehidupan riil di tahap tersebut, yakni belajar. Dalam proses seleksi seperti metode assessment center, pewawancara akan melakukan pendalaman konfirmatif – klarifikatif terhadap nilai-nilai tersebut. Bagian ini yang sering luput dari pelamar kerja fresh-graduate sehingga tidak sedikit yang terkaget apalagi mereka yang sebenarnya tidak terlalu sungguh-sungguh menjalani pendidikan. Sebagian besar masyarakat (mahasiswa yang lulus beserta keluarganya) dengan cepat menyimpulkan untuk ucap ‘perpisahan’ tegas dengan dunia pendidikan. Layaknya memutus jembatan di belakang dan menatap kehidupan baru yang sama sekali tidak ada hubungannya.

Mindset Pendidik & Kampus
Ada excuse lain yang saya tangkap baik kampus secara institusi maupun para pendidik. Beberapa pemakluman yang sepertinya tampak ‘baik’ untuk mahasiswa yang secara implisit terkandung dalam pandangan; “Mahasiswa semester awal, yah.. masih seperti SMA lah, maunya disuapi, masih susah untuk membaca, terlebih textbook.” Atau, “Ini kan bukan mahasiswa psikologi (untuk mahasiswa non-psikologi), jadi tidak wajib memiliki textbook lah..” Saya yakin, hal ini juga ditemui oleh dosen lain ketika mengajar di kelas non disiplin utamanya.

Pandangan ini sebenarnya konsisten dengan keluhan rendahnya kemampuan membaca di Indonesia. Sebagian pendidik pun memperlakukan sumber ilmu secara praktis, hanya karena bukan disiplin utamanya, maka tidak perlu membaca handbook-nya. Pada sisi lain, mahasiswa menjadi melihat ‘kurang signifikannya’ sumber bacaan dalam mata kuliah tersebut. Makna lainnya, adalah dosen masih diminta untuk menjadi audiobook. Pada saat yang sama, pembelajaran mandiri sedang digalakkan di mana posisi dosen lebih untuk pengantar dan berdiskusi. Seharusnya pendidik memberikan kepercayaan pada mahasiswa tingkat bawah untuk membedah isi buku dan berdiskusi lebih lanjut di kelas maupun luar kelas. Implementasi dari memberi kepercayaan di sini adalah ‘mendorong’ bahkan ‘memaksa’ mereka untuk mempelajari buku-buku utama, bukan sekedar copy-paste untuk tugas essay.

Ada hal lain yang masih perlu dikaji, namun memberikan satu pertanyaan di benak saya tentang hebohnya ujian nasional di negeri ini. Selain ketrampilan membaca di atas, ada strategi belajar lain yang nampaknya masih asing bagi mahasiswa yakni teamwork. Ketika diminta membentuk kelompok-kelompok kecil di kelas untuk menjawab sekian soal menggunakan textbook, sebagian besar nampak panik melihat banyaknya soal dan waktu yang tersedia. Tugas ini menjadi sangat menekan dan tidak realistis. Pada akhirnya mereka perlu diingatkan bahwa mereka adalah tim yang terdiri dari beberapa orang. Pola kerjasama satu soal dikeroyok lima orang tentu akan memakan waktu satu hari untuk menyelesaikan lima soal, bukan 25 menit. Kecuali mereka semua telah membaca materi kuliah sebelum masuk kelas.

Pola kerjasama tim dengan pembagian tugas dan delegasi yang tampaknya ‘asing’ ini menjadi paradoks dengan budaya kolektif kita. Tidak heran jika siswa dan sekolah menjadi sangat tertekan dengan materi ujian nasional, jika strategi belajarnya masih konvensional. Saya tidak berani menggeneralisir semua sekolah di Indonesia, namun kecurigaan ini yang perlu dikaji kembali. Pertanyaan yang lebih dalam, apa pemahaman kerja tim di kalangan siswa – mahasiswa kita? Apakah satu pemimpin dan sisanya pengikut pasif? Apakah ini yang membuat mahasiswa enggan menjadi pemimpin atau koordinator kelas karena ia lah yang harus bekerja keras, sementara yang lain tinggal terima beres?

Pendelegasian materi untuk kemudian masing-masing memberikan presentasi menjadi salah satu alternatif belajar yang efektif. Salah satu kompetensi dasar dalam seleksi kerja pada freshgraduate adalah problem solving dan planning organizing. Bagaimana individu mampu mengidentifikasi masalah, membuat prioritas dan mengoptimalkan sumber daya yang ada (rekan kerja – materi kerja). Ini seharusnya menjadi kompetensi dasar yang dimiliki mereka yang menyandang title sarjana.

Ketrampilan lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah menulis dan presentasi. Hampir semua pekerjaan menuntut adanya laporan tertulis, komunikasi tertulis baik yang terkonsep atau langsung seperti membalas e-mail rekanan/ klien dalam kerjasama proyek yang intensif. Hanya penguasaan materi lah yang membuat seorang mahasiswa bisa lebih mengembangkan ketrampilan presentasinya di kelas. Materi kuliah adalah realitas, se-realitas- proposal kerjasama sebuah perusahaan kelak di dunia kerja.

Berbagai mozaik ini seluruhnya berseru “Kampus adalah realitas, bukan mimpi atau hotel singgah.”

sumber: www.e-psikologi.com

Cara-cara Memelihara Persahabatan

Kategori Sosial
Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 07 Juli 2008

Terbentuknya Persahabatan
Kita semua tentu punya alasan sendiri kenapa memilih untuk membangun persahabatan. Pada umumnya, hubungan itu timbul karena perasaan yang merasa ada keterikatan (attachment): senasib sepenanggungan, sevisi, seminat, dan seterusnya dan seterusnya. Atau ada juga yang karena kesaling-bergantungan (interdependence): membutuhkan bantuan, dukungan, dan lain-lain.

Dalam prakteknya, persahabatan itu kita bedakan dengan pertemanan. Perbedaan yang paling menonjol terletak pada intensitas keterlibatan emosi dan komitmen. Karena itu, terkadang tidak cukup kita mengatakan "friend" untuk menyebut seorang sahabat, tetapi masih kita tambah dengan kata sifat "close friend". Kalau mengacu ke teori hubungan antar pribadi menurut Verderber & Verderber (Hanna Djumhana Bastaman, M.Psi, 1996) persahabatan itu mungkin istilahnya adalah Deep Friendship. Berdasarkan skala intimasi dan komitmen yang muncul, hubungan antar pribadi itu dikelompokkan menjadi seperti berikut ini:

1. Aquintance Relationship (perkenalan biasa)
2. Friendship Relationship (pertemanan karena kesamaan minat, sifat, dan kepentingan).
3. Role Relationship (hubungan berdasarkan peranan atau kepentingan)
4. Deep Friendship or Intimate Relationships (Hubungan yang sudah melibatkan emosi dan komitmen)

Dari bukti-bukti di lapangan ditemukan bahwa persahabatan yang bagus itu punya banyak manfaat. Salah satunya adalah bisa mencegah hipertensi (Reardom, Interpersonal Communication: Where Minds Meet, 1987). Secara kesehatan dijelaskan bahwa hipertensi adalah tekanan darah atau denyut jantung yang lebih tinggi dari yang normal karena ada penyempitan pembuluh darah atau karena sebab lain. Bisa juga berguna untuk menurunkan dan mengurangi potensi stress atau depresi.

Misalnya saja Anda saat ini sedang belajar di lembaga pendidikan yang menerapkan disiplin tegas. Namanya disiplin, pasti maksudnya baik. Cuma, dalam eksekusi di lapangannya, pasti juga ada kemungkinan munculnya penyimpangan prosedur oleh individu yang tak jarang menimbulkan tekanan, ketegangan, atau himpitan. Dengan memiliki cantolan klub, forum, atau kelompok yang tingkat persahabatannya bagus, itu akan bisa membuat kita lebih sabar dan terhibur.

Kalau melihat temuan Maslow, ternyata salah satu karakteristik self-actualized person itu adalah punya sahabat atau kenalan yang jumlahnya sedikit namun berbobot intimasi dan kualitasnya (Human Development, Vander Zender, 1989). Ini mungkin bisa kita tafsirkan bahwa mereka itu punya sahabat atau orang dekat. Tafsiran ini memang seringkali sinkron dengan realitas yang kerap kita temui di lapangan. Banyak 'kan kita mengenal sejumlah tokoh atau orang-orang tertentu yang berprestasi di bidangnya (di semua level) yang ternyata dulu mereka bersahabat dengan orang-orang tertentu dan persahabatan itu berlangsung sampai sekarang.

Bahkan, kata orang, Tuhan itu kalau mengangkat derajat seseorang jarang secara individu. Tuhan itu mengangkat derajat seseorang sekaligus dengan kelompoknya. Ini tentu refleksi personal yang subyektif. Tapi memang secara rasional, ungkapan itu ada rujukannya. Karena mereka yang bersahabat itu membangun kedekatan lahir dan batin, sudah barang tentu mereka punya mindset yang sama, kultur hidup yang sama, atau karakter yang sama. Logikanya, ketika orang sudah dibentuk oleh prinsip-prinsip yang sama, maka sangat mungkin mereka mendapatkan nasib yang sama.

"Isi pikiranmu membentuk tindakanmu, tindakanmu membentuk kebiasaanmu, kebiasaanmu membentuk karaktermu, karaktermu membentuk nasibmu."
(Aristotle)

Jadi, yang menyebabkan mereka punya kesamaan nasib, bukan kesamaan kelompoknya, melainkan kesamaan isi pikiran, tindaan, kebiasaan, dan karakter.


Kapan Kendor & Kapan Pecah
Dalam prakteknya, persahabatan itu bisa kendor dan bisa pula pecah. Secara umum, kendornya intimasi persahabatan itu mulai muncul ketika masing-masing atau salah seorangnya sudah punya kepentingan dan kebutuhan yang ditandai dengan berubahnya status. Misalnya saja dari mahasiswa ke pekerja atau dari bujangan ke ber-rumahtangga, dari orang biasa ke orang penting.

Kalau menurut ucapannya Sigmund Freud, orang dewasa itu isi pikirannya yang paling dominan hanya dua: to love and to work. Mereka berkonsentrasi pada keluarga (to love) dan kerjaannya (to work). Kohesi persahabatan yang terjadi pada kehidupan orang dewasa biasanya adalah lanjutan dari persahabatan sebelumnya atau karena kepentingan dan kondisi yang dirasakan sangat spesifik (benar-benar senasib).

Ini kerap terjadi pada tenaga kerja atau pelajar di luar negeri. Karena sama-sama senasib, sama-sama dari Indonesia, sama-sama punya kepentingan yang sama, dan merasakan keadaan yang relatif sama, maka persahabatan terbentuk. Tapi, menurut kebiasaan, persahabatan yang terbentuk ketika usia seseorang sudah banyak kepentingan, memang rasanya beda dengan ketika seseorang masih di usia remaja atau dewasa muda.

Nah, lalu kapan persahabatan akan terancam bubar? Masalah yang melatarbelakangi bubarnya persahabatan itu pasti bermacam-macam. Menurut Duck (1985), biasanya fase-fase bubarnya hubungan (disolusi) itu diawali dari proses di bawah ini:

1. Ketidakpuasan dari hubungan itu. Misalnya saja kita menerima perlakuan yang tidak fair, atau persahabatan yang ada tidak membuahkan hasil-hasil tertentu seperti yang semula dibayangkan. Misalnya saja persahabatan karena narkoba.
2. Upaya menarik diri. Kita sudah merasa tidak cocok lagi atau ada keinginan untuk menentang atau juga kita menarik diri. Bisa juga setelah kita menghitung untung-rugi, manfaat-keuntungan.
3. Mempraktekkan keputusan unuk menghindar atau menjauh

Bisa juga disolusi itu terjadi sesuai dengan urutan yang ditemukan Hawk Williams (The essence of managing group & teams, 1996) berikut ini:

1. Ada problem yang kita jumpai (menurut versi kita) pada dia
2. Kita membiarkan / tidak menunjukkan problem itu kepada orang yang kita anggap punya masalah dengan kita
3. Problem itu tetap muncul atau terus bertambah
4. Perasaan negatif terus menggunung / mengakumulasi
5. Kita kehilangan perspektif tentang orang itu.

Dalam organisasi kepemudaan yang rata-rata kita lihat mereka bersahabat, urutan di atas kerap terjadi. Si A dipandang telah sering melakukan tindakan yang melanggar prinsip dasar organisasi. Karena bersahabat, mereka tidak langsung menegur atau mengingatkan secara terang-terangan. Si A sendiri tidak sensitif menangkap gelagat ketidaksetujuan para sahabatnya. Proses ini terus berlanjut dan masing-masing pihak menyimpan bara api ketidaksetujuan dan ketidakpedulian di dadanya. Hingga pada puncaknya, Si A dipecat dari organisasi itu. Jika Si A tidak terima, terjadilah upaya saling menjatuhkan dimana masing-masing orang kehilangan perspektif persahabatannya.

"Hindarilah bersahabat dengan orang yang membohongimu,
hindarilah bersahabat dengan orang yang memanfaatkanmu,
dan hindarilah bersahabat dengan orang menjerumuskanmu"
(Ali bin Abu Thalib)


Beberapa Cara Mempertahankan Persahabatan
Untuk persahabatan yang tengah kendor intimasinya karena ada perbedaan dan perubahan, hal-hal yang bisa kita lakukan adalah:

Pertama, menjaga ritme dan frekuensi hubungan. Jangan terlalu sering atau jangan sama sekali putus hubungan. Aturlah ritme dan frekuensinya. Kenapa? Jika Anda terlalu sering, padahal status dan peranan sahabat Anda itu sudah tidak seperti dulu lagi, akan lain tafsirannya. Tapi jika hubungan itu terputus sama sekali, ini juga tidak tepat.

Jika kebetulan nasib kita ternyata lebih di atas, akan lebih bagus kalau kita yang berinisiatif memulai memelihara persahabatan itu. Kalau memungkinkan dan itu dibutuhkan, yang perlu kita lakukan bukan semata 'say hello' atau sekedar bernostalgia, melainkan juga perlu merambah ke gagasan-gagasan pemberdayaan, entah untuk sahabat kita yang lain atau untuk orang lain.

Kedua, hormati privasinya. Dengan peranan dan status yang sudah tidak seperti dulu lagi, tentu sahabat kita ini memiliki aturan hidup yang baru, entah itu terkait dengan keluarganya atau pekerjaannya. Agar persahabatan tetap terjaga, yang perlu kita lakukan adalah menghormati privasinya. Bahkan juga tidak saja perlu menghormati dia semata, tetapi juga orang-orang penting di sekitarnya, misalnya saja suami-istri, atasan-bawahan, dan lain-lain.

Apabila kita berada di posisi yang sebaliknya (orang yang dicari), yang perlu kita hindari adalah curiga duluan kalau sahabat kita ini pasti membawa masalah atau mau minta bantuan, hanya memberi nasehat dengan cara merendahkan, hanya memamerkan kekayaan (unjuk-diri), atau memperlakukannya terlalu formal dan menunjukkan kesan terlalu menjaga wibawa.

Ketiga, hindari meminta bantuan dengan nada dan gaya menuntut (demanding) kecuali memang ada suasana psikologis yang mendukung dan itu tidak melibatkan orang lain selain sahabat Anda. Lebih-lebih, karena tuntutan kita tak terpenuhi, kita kemudian menyebarkan gosip tak sedap, misalnya sahabat kita ini sekarang orangnya sudah lain, makin sombong, angkuh, tak peduli, dan lain-lain. Akan lebih sip kalau kita menempuh cara-cara profesional yang tetap mengedepankan etika dan strategi.

Bila kita berada di posisi sebaliknya, hindari mengeluarkan pernyataan semacam tidak bisa, itu sulit, atau itu tidak mungkin dan semisalnya dengan nada untuk menutup berbagai kemungkinan. Kalau kita tidak bisa membantu langsung, kita bisa membantu secara tidak langsung. Kalau kita tidak bisa membantu keinginannya, kita bisa membantu kebutuhannya. Intinya, munculkan semangat untuk membantu.

Itu semua bisa kita lakukan ketika persahabatan kita dulu adalah persahabatan dalam hal-hal yang positif. Untuk persahabatan yang negatif, tinggalkanlah dengan cara yang baik. Misalnya dulu kita punya geng yang suka narkoba. Karena kita sudah tobat, kita perlu memutus hubungan dengan sahabat-sahabat yang masih terlibat. Tujuannya adalah agar kita tidak terlibat lagi.

Adapun untuk kita yang masih dalam tahap sedang asyik-asyiknya menjalani hidup dengan persahabatan, beberapa hal yang perlu kita ingat adalah:

1. Nikmatilah persahabatan yang ada tetapi jangan sampai menghilangkan diri Anda. Jadikan persahabatan saat ini sebagai lahan untuk aktualisasi-diri dengan bertukar pengalaman, pengetahuan, informasi, berbagi perasaan, dan lain-lain. Termasuk juga jangan sampai persahabatan ini merenggangkan hubungan dengan orang-orang inti: orangtua dan keluarga. Anda tetap bisa bersahabat tanpa harus memunculkan ketegangan dengan orangtua atau keluarga
2. Inisiatifkan untuk memunculkan gagasan-gagasan positif, entah itu yang berkaitan dengan akademik atau non-akademik. Sebagai acuan, buatlah learning group (kajian akademik, dst), problem solving group (bantuan sosial, dst), atau growth group (pengasahan bakat, dst). Ini sangat bermanfaat bagi kemajuan Anda di masa mendatang.
3. Jagalah jangan sampai punya kepentingan yang bertabrakan dengan kepentingan sahabat. Bila itu terjadi, buatlah kesepakatan sefair mungkin dengan melibatkan sahabat lain.
4. Hormatilah dan jangan "memanfaatkan". Misalnya kita bersahabat dengan si anu karena orangtuanya kaya, terpandang, atau ada agenda politis yang kita sembunyikan untuk memanfaatkan sahabat kita. Bersahabatlah karena kecocokan jiwa.
5. Mendukung dan membantu. Banyak orang yang bisa membantu sahabatnya ketika sedang kesusahan tetapi tidak bisa mendukung sahabatnya yang sedang meraih kemajuan. Lawanlah iri dengki di dada dengan cara mendukung dan membantu.
6. Kembangkan perspektif yang fair. Biarpun itu sahabatmu, jangan sampai kehilangan perspektif yang fair. Sebab, pasti ada yang positif dan pasti ada yang negatif. Temukan positifnya sebanyak mungkin.
7. Biasakan saling memberi nasehat dengan cara yang bersahabat, bukan dengan cara menilai, mengoreksi, lebih-lebih membicarakannya di belakang.

"Sahabatmu adalah orang yang sudah tahu banyak tentang dirimu
dan tetap bersahabat denganmu"

sumber: www.e-psikologi.com

Insomnia

Kategori Klinis
Oleh : Pudji Susilowati, S.Psi
Jakarta, 24 Maret 2008


Ny T mengalami kesulitan memulai tidur dan hanya tidur kurang lebih tiga jam dalam satu malam tetapi setiap satu jam sekali selalu terbangun. Kondisi ini mengakibatkan Ny T selalu merasa tubuhnya tidak fresh dan berat badannya mengalami penurunan dari 52 kg menjadi 47 kg. Penyebab Ny T mengalami insomnia adalah suami Ny T menuduh Ny T telah berselingkuh karena hasutan tetangga yang tidak suka pada Ny T. Ny T berusaha menjelaskan pada suaminya bahwa dirinya tidak berselingkuh, tetapi suami Ny T tetap tidak percaya. Suami Ny T selalu marah-marah pada Ny T dan melarang Ny T untuk berbincang-bincang dengan tetangga di luar rumah. Suami Ny T juga pelit dalam memberikan uang belanja dan melarang Ny T untuk berdagang. Pada awalnya, Ny T berusaha untuk tidak terlalu serius dalam memikirkan masalahnya dan menuruti keinginan suaminya, namun suami Ny T tetap memperlakukan Ny T dengan buruk. Suami Ny T selalu memarahi Ny T sehingga Ny T selalu memikirkannya dan merasa tertekan. Ny T dan suaminya juga pisah ranjang. Ny T juga takut bercerita pada suaminya bahwa dirinya mengalami kesulitan tidur setiap hari.

Apakah Anda atau keluarga Anda termasuk orang yang sedang mengalami insomnia? Insomnia atau kesulitan tidur, bagi sebagian orang dianggap sebagai suatu hal yang biasa, namun jika insomnia ini dibiarkan maka akan mengakibatkan berbagai akibat yang mengganggu kondisi psikologis dan fisik, bahkan kematian. Sebenarnya, apa insomnia itu? Jika insomnia disebabkan karena faktor psikologis seperti stres dalam jangka waktu tertentu yang disebabkan situasi social, masalah pribadi yang tidak kunjung selesai, persoalan KDRT, krisis ekonom rumah tangga, krisis dalam bisnis, dll maka insomnia ini tergolong insomnia yang disebabkan faktor psikologis. Namun, jika Anda hanya mengalami insomnia hanya 1 atau 2 hari dan hal ini disebabkan karena lingkungan tempat tinggal Anda yang bising maka Anda hanya perlu pindah tempat tinggal untuk menyembuhkan insomnia Anda. Selain itu, jika Anda mengalami insomnia karena sedang mengalami sakit fisik maka insomnia tersebut akan hilang setelah Anda sembuh. Pada kesempatan ini, kita akan membahas tentang insomnia yang disebabkan karena faktor psikologis, karena dapat menyebabkan berbagai dampak yang merugikan pada penderita insomnia, bahkan dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itu, Anda perlu mengetahui terlebih dahulu apa definisi insomnia itu.

Apakah Insomnia ?
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-IV (DSM-IV), mendefinisikan insomnia sebagai kesulitan memulai tidur, mempertahankan tidur, merasa tidak fresh pada waktu bangun pagi dan mengalami kualitas tidur yang buruk. Setelah Anda mengetahui definisi insomnia, apakah Anda sudah mulai memperhatikan diri Anda, apa Anda memang mengalami insomnia atau tidak. Untuk lebih jelasnya, Anda perlu mengetahui apa saja gejala-gejala insomnia. Namun, perlu diingat bahwa disini kita sedang membahas insomnia karena faktor psikologis, bukan faktor yang lain


Gejala Insomnia
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-IV (DSM-IV), menunjukkan beberapa gejala dimana seseorang dapat didiagnosis sedang menderita insomnia karena faktor psikologis, yaitu:

1. Kesulitan untuk memulai, mempertahankan tidur, dan tidak dapat memperbaiki tidur selama sekurangnya satu bulan merupakan keluahan yang paling banyak terjadi.
2. Insomnia ini menyebabkan penderita menjadi stres sehingga dapat mengganggu fungsi sosial, pekerjaan atau area fungsi penting yang lain.
3. Insomnia karena faktor psikologis ini bukan termasuk narkolepsi, gangguan tidur yang berhubungan dengan pernafasan, gangguan ritme sirkadian atau parasomnia.
4. Insomnia karena faktor psikologis tidak terjadi karena gangguan mental lain seperti gangguan depresi, delirium.
5. Insomnia karena faktor psikologis tidak terjadi karena efek fisiologis yang langsung dari suatu zat seperti penyalahgunaan obat atau kondisi medis yang umum.

Dengan adanya gejela-gejala yang disebutkan oleh Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-IV (DSM-IV), maka insomnia karena faktor psikologis dapat mengganggu berbagai fungsi sosial. Pertanyaannya, apa penyebab terjadinya insomnia karena faktor psikologis? Ingin tahu jawabannya, mari kita ikuti pembahasan berikut.


Penyebab Insomnia
International Classification of Sleep Disorder-Revised (ICSD-R), mengatakan bahwa penyebab terjadinya insomnia adalah masalah-masalah psikologis, seperti mengalami stress, kecemasan, ketakutan, kekhawatiran, depresi disebabkan factor tekanan pekerjaan, trauma karena mengalami bencana, mengalami kekerasan atau KDRT, mengalami pengalaman traumatis, dll. Insomnia dapat menjadi kronis jika tidak segera ditangani. Bagaimana siklus terjadinya insomnia pada tingkat yang kronis?


Siklus Insomnia Kronis
Jika seseorang mengalami insomnia sementara karena faktor psikologis (mengalami kesulitan tidur dengan nyenyak selama kurang lebih satu malam dan kurang dari empat minggu) tetapi tidak dapat beradaptasi dengan penyebab insomnia (tidak mampu mengelola stres tersebut secara sehat) maka akan mengakibatkan seseorang mengalami insomnia jangka pendek (kesulitan tidur nyenyak selama empat minggu hingga enam bulan). Jika insomnia jangka pendek ini tetap tidak dapat diatasi oleh si penderita maka akan mengakibatkan insomnia kronis. Jika terjadi insomnia kronis maka akan memerlukan waktu yang lebih lama untuk penyembuhannya. Untuk lebih jelasnya, mari kita bahas contoh kasus di atas.


Analisa Kasus
Pada kasus di atas jika kita cermati merupakan kasus insomnia kronis. Mengapa? Karena pada kasus di atas menunjukkan gejala-gejala insomnia, seperti kesulitan memulai tidur, selalu terbangun setiap satu jam sekali, waktu tidur hanya kurang lebih tiga jam dalam satu malam, selalu merasa tubuhnya tidak fresh, dan mengalami kesulitan tidur lebih dari enam bulan. Jika kita analisis, penyebab insomnia pada kasus di atas adalah karena mengalami KDRT dari suaminya yang mengakibatkan si istri tertekan dan selalu memikirkan masalahnya sehingga terjadilah insomnia kronis.

Dampak insomnia kronis yang dialami si istri pada kasus di atas adalah selalu merasa tubuh tidak fresh dan mengalami penurunan berat badan dari 52 kg menjadi 47 kg. Apakah Anda atau keluarga Anda juga mengalami kasus yang sama seperti di atas? Perlu untuk diketahui bahwa insomnia dapat mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan bagi si penderita. Apa saja dampak dari insomnia?


Dampak Insomnia
Insomnia dapat mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan, yaitu:

1. Depresi
2. Kesulitan untuk berkonsentrasi
3. Aktivitas sehari-hari menjadi terganggu
4. prestasi kerja atau belajar mengalami penurunan
5. Mengalami kelelahan di siang hari
6. Hubungan interpersonal dengan orang lain menjadi buruk
7. Meningkatkan risiko kematian
8. Menyebabkan kecelakaan karena mengalami kelelahan yang berlebihan
9. Memunculkan berbagai penyakit fisik

Dampak insomnia tidak dapat di anggap remeh, karena bisa menimbulkan kondisi yang lebih serius dan membahayakan kesehatan dan keselamatan. Oleh karenanya, setiap penderita insomnia perlu mencari jalan keluar yang tepat.


Solusi Mengatasi Insomnia
Insomnia yang terjadi karena faktor psikologis lebih baik diobati dengan psikoterapi karena penyebabnya adalah faktor-faktor psikologis. Penting bagi penderita insomnia untuk secara terbuka mengatakan pada Psikolog,terapis atau konselor tentang awal mula penyebab insomnia sehingga dapat ditentukan terapi apa yang sebaiknya diberikan. Selain itu, keluarga si penderita insomnia juga harus memberi dukungan pada penderita agar insomnia yang dialaminya perlahan-lahan dapat diturunkan sampai sembuh. Mengapa pada psikolog ? Psikolog akan membantu penderita memahami akar penyebab insomnia, melihat dari perspektif yang obyektif (tinjauan psikologis) masalah yang dialami dan mengarahkan penderita pada sikap, strategi dan pola pikir yang benar, tepat dalam mempersepsi masalah dan menemukan solusinya.

Apa saja terapi yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia? Ada beberapa terapi yang dapat digunakan untuk mengatasi insomnia, yaitu:

1. CBT (Cognitive Behavioral Therapy)
CBT digunakan untuk memperbaiki distorsi kognitif si penderita dalam memandang dirinya, lingkungannya, masa depannya, dan untuk meningkatkan rasa percaya dirinya sehingga si penderita merasa berdaya atau merasa bahwa dirinya masih berharga.

2. Sleep Restriction Therapy

Sleep restriction therapy digunakan untuk memperbaiki efisiensi tidur si penderita insomnia.

3. Stimulus Control Therapy

Stimulus control therapy berguna untuk mempertahankan waktu bangun pagi si penderita secara reguler dengan memperhatikan waktu tidur malam dan melarang si penderita untuk tidur pada siang hari meski hanya sesaat.

4. Relaxation Therapy
Relaxation Therapy berguna untuk membuat si penderita rileks pada saat dihadapkan pada kondisi yang penuh ketegangan.

5. Cognitive Therapy
Cognitive Therapy berguna untuk mengidentifikasi sikap dan kepercayaan si penderita yang salah mengenai tidur.

6. Imagery Training
Imagery Training berguna untuk mengganti pikiran-pikiran si penderita yang tidak menyenangkan menjadi pikiran-pikiran yang menyenangkan.

Banyak di antara para penderita insomnia karena factor psikologis yang menggunakan obat tidur untuk mengatasi insomnianya. Namun penggunaan yang terus menerus tentu menimbulkan efek samping yang negative, baik secara fisiologis (efek terhadap organ dan fungsi organ tubuh) serta efek psikologis. Logikanya, insomnia yang disebabkan factor psikologis, berarti factor psikologis itu lah yang harus di atasi, bukan symtomnya. Kalau kita hanya focus mengatasi simtom-nya dengan minum berbagai obat tidur, maka ketika mata terbuka, masalah akan datang kembali, bahkan akan dirasa lebih berat karena dibiarkan berlarut-larut tanpa solusi pada akar masalah.

Perlu diketahui, bahwa keberhasilan terapi tergantung dari motivasi si penderita untuk sembuh sehingga si penderita harus sabar, tekun dan bersungguh-sungguh dalam menjalani sesi terapi. Selain itu, sebaiknya terapi yang dilakukan juga diiringi dengan pemberian terapi keluarga. Hal ini disebabkan, dalam terapi keluarga, anggota keluarga si penderita dilibatkan untuk membantu kesembuhan si penderita. Dalam terapi keluarga, anggota keluarga si penderita juga diberi tahu tentang seluk beluk kondisi si penderita dan diharapkan anggota keluarganya dapat berempati untuk membantu kesembuhan si penderita.


Solusi mencegah insomnia
Insomnia karena faktor psikologis dapat dicegah dengan cara memanage stres secara positif dan jika ada mengalami masalah sebaiknya sharing pada seseorang yang dapat Anda percaya. Semoga dengan pembahasan tentang insomnia ini, dapat memberikan manfaat bagi Anda. Dengan informasi ini, diharap kita pun bisa memahami penderita insomnia dan dapat memberikan bantuan yang tepat. Perhatian dan empati terhadap penderita insomnia, bisa sedikit mengobati kegalauan emosi jiwanya. Semoga bermanfaat.

sumber: www.e-psikologi.com