Jumat, 04 Maret 2011

Mereka Bertahan di Gang Sempit


Permukiman padat penduduk di tepi rel kereta api di kawasan Petamburan, Jakarta, Jumat (7/1/2011)

KOMPAS.com — Sepintas melintas di Kelurahan Tanah Tinggi, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat, kondisinya seperti permukiman biasa. Namun, di antara rumah itu, terselip gang-gang. Sebagian selebar kurang dari 1 meter. Di kiri kanan gang itu berdiri rumah petak dengan penduduk yang tidak sedikit.

Walau gang sempit dan sanitasi pas-pasan, Carsinem bertahan di situ, di rumah petak bersama suami dan seorang anaknya. Rumah itu berada di RT 04 RW 05 Kelurahan Tanah Tinggi.

Di seberang rumahnya, tinggal Herlina—anak sulungnya—bersama keluarganya. Herlina juga tinggal di rumah petak.

Kehidupan Carsinem ditopang dari ketan-serundeng yang setiap hari dimasak olehnya. Lantaran rumah yang terlalu sempit, Carsinem memasak di depan rumah. Ketan yang sudah matang sebagian besar dijual Herlina. Ada pula tetangga yang turut mengambil ketan dan menjualkan ke pasar.

Herlina biasa membawa dagangan itu ke Pasar Gembrong yang tidak jauh dari rumah mereka. ”Selain ketan, saya juga menjual susu kedelai,” kata Herlina.

Dari hasil menjual ketan, Carsinem bisa mengantongi keuntungan Rp 50.000 per hari. Itu kalau semua dagangan habis terjual. Jika tidak, tentu hasilnya tidak sampai segitu.

Uang itulah yang digunakan Carsinem untuk mencukupi makan sehari-hari dan aneka kebutuhan. Kebutuhan harian yang dikeluarkannya, antara lain, untuk membayar uang pakai kakus sebesar Rp 500 sekali pakai.

Hal serupa terjadi di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Sebagai kecamatan kedua terpadat di DKI Jakarta, sejumlah gang di kecamatan ini juga ditumbuhi rumah petak yang rapat. Kondisinya mirip dengan Johar Baru, lengkap dengan gang sempit dan rumah sempit yang dihuni banyak orang.

Samin (70), salah seorang warga RT 02 RW 03 Kelurahan Jembatan Besi, Kecamatan Tambora, mengatakan, pertumbuhan penduduk diikuti dengan menjamurnya rumah di setiap jengkal lahan yang ada. Akibatnya, pemandangan di tempat itu hanya melulu rumah tinggal yang berimpitan, menjulang hingga dua atau tiga lantai, menutup semua pemandangan di luar perkampungan itu.

Kepadatan tidak hanya terjadi di luar rumah Samin. Di dalam rumahnya sendiri, kepadatan itu juga sangat terasa. Rumah ukuran 4 meter x 8 meter berlantai dua itu harus dihuni oleh 18 orang, yaitu Samin, istrinya, kedelapan anaknya, empat menantu, dan empat cucu. ”Semua tinggal di sini, makan di sini,” ujarnya.

Mereka menempati kamar-kamar kecil di lantai atas rumah yang terbuat dari papan dan kayu. Samin membuka warung makan kecil yang mengambil sebagian ruang tamu dan teras rumahnya.

Kepadatan di sekitar tempat tinggalnya, menurut Samin, sudah mulai terjadi sekitar 1980-an. Makin kemari, jumlah pendatang ke tempat itu makin tidak terkendali.

Gang-gang sempit antarrumah pun dimanfaatkan untuk memasak, mencuci, dan kegiatan rumah tangga lain. Di salah satu gang, Gang Venus, suasana terasa pengap dan gelap karena tidak mendapat sinar matahari. Langit tertutup bangunan yang menyatu di bagian atasnya.

Tidak hanya itu, kepadatan penduduk yang teramat sangat juga memudahkan terjadi pergesekan sosial antarwarga yang berujung pada berbagai kejadian, seperti tawuran. Di Johar Baru bahkan sedikitnya ada tiga titik lokasi tawuran. Di Tambora, menurut Cholil, Ketua RW 3 Jembatan Besi, tawuran antarpemuda bisa terjadi hampir setiap pekan.

Kohesi sosial

Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Fadhil Imran, dalam karya tulisnya berjudul ”Determinan Ekologi terhadap Kejahatan” menyebutkan, ada dua penyebab munculnya kejahatan di kawasan kumuh padat, yaitu kondisi fisik lingkungan yang kumuh dan miskin infrastruktur serta lingkungan sosial yang tidak bersahabat.

Dari dua penyebab itu, lingkungan sosial menjadi penentu utama. Lingkungan sosial ditentukan dua hal, yaitu tingkat kepadatan penduduk dan kohesi sosial.

”Semakin padat kawasan kumuh, kawasan tersebut akan semakin tertekan kemiskinan. Semakin kawasan tersebut tertekan kemiskinan, semakin lemah kohesi sosial di kawasan tersebut. Semakin lemah kohesi sosial, semakin tinggi tingkat kejahatan,” tuturnya saat ditemui di ruang kerjanya, kemarin.

Sistem dan struktur sosial pun kemudian berubah dan ditentukan tingkat pendapatan seseorang tanpa melihat lagi halal haramnya pendapatan. ”Yang terbentuk kemudian hubungan patron client dunia kejahatan jalanan di lingkungan tersebut,” ujar Fadhil.

”Solusi jangka pendeknya adalah mengurangi luas kawasan kumuh sampai pada titik minimal syarat sosial sebuah komunitas kawasan dipenuhi,” ucapnya.

Kepala Pusat Kesehatan Mental Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Rahmat Hidayat mengatakan, setiap orang membutuhkan minimal 10 meter persegi untuk ruang pribadi.

Padatnya penduduk di permukiman dan kemiskinan merupakan faktor risiko yang memengaruhi kesehatan jiwa seseorang. Setiap individu memiliki kapasitas atau kemampuan yang berbeda untuk beradaptasi dengan kondisi yang ada.

Untuk itu, pembangunan perkotaan perlu memerhatikan keberadaan ruang publik yang bisa digunakan masyarakat untuk melepas stres dan berinteraksi dengan sesama.

Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto berpendapat, lonjakan jumlah penduduk tanpa diimbangi pertambahan peluang ekonomi akan membuat kemiskinan yang dialami masyarakat makin meluas dan mendalam. Tekanan kemiskinan yang parah membuat masyarakat frustrasi dan dilampiaskan dalam berbagai perilaku negatif, mulai sikap anarki hingga bunuh diri.

Diperlukan langkah berani untuk menata kawasan itu. Pembangunan rumah susun sudah sangat mendesak, begitu pula dengan penertiban bangunan yang melanggar ketentuan, penindakan pemakaian listrik ilegal, serta pendataan dan pengawasan arus keluar masuk penduduk.
Kalau tidak, kawasan kumuh di Jakarta tidak akan pernah hilang. (MZW)

Sumber: http://megapolitan.kompas.com/read/2011/01/19/09312256/Mereka.Bertahan.di.Gang.Sempit

KEPADATAN

A. Pengertian Kepadatan
Kepadatan atau density ternyata mendapat perhatian yang serius dari para ahli psikologi lingkungan. Menurut Sundstrom, kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan (dalam Wringhtsman & Deaux, 1981). Atau sejumlah individu yang berada di suatu ruangan atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan,1982; Heimstra dan Mcfarling, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating,1978). Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwano,1992).
Penelitian tentang kepadatan pada manusia berawal dari penelitian terhadap hewan yang dilakukan oleh John Calhoun. Penelitian Calhoun ini bertujuan untuk mengetahui dampak negative kepadatan dengan menggunakan hewan percobaan tikus. Hasil penelitian ini menunjukan adanya perilaku kanibal pada hewan tikus seiring dengan bertambahnya jumlah tikus (dalam Worchel dan Cooper, 1983)
Pertama dalam jumlah yang tidak padat (kepadatan rendah), kondisi fisik dan perilaku tikus berjalan normal. Tikus-tikus tersebut dapat melaksanakan perkawinan, membuat sarang, melahirkan, dan membesarkan anaknya seperti halnya kehidupan alamiah.
Kedua, adalah kondisi kepadatan tinggi dengan pertumbuhan populasi yang tak terkendali, ternyata memberikan dampak negative terhadap tikus-tikus tersebut. Terjadi penurunan fisik padda ginjal, otak, hati, dan jaringan kelenjar, serta penyimpangan perilaku seperti hiperaktif, homoseksual, dan kanibal.
Penelitian terhadap manusia yang pernah dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi,1991) mencoba memerinci : bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yang terjadi; bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku social; dan bagaimana dampaknya terhadap task performance (kinerja Tugas)? Hasil nya memperlihatkan ternyata banyak hal yang negative akibat dari kepadatan.
Pertama ketidak nyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.
Kedua, peningkatan agresifitas pada anak-anak dan orang dewasa (Mengikuti kurva linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung) bila kepadatan tinggi sekali Hight spatial density). Juga kehilangan minat berkomunikas, kerjasama, dan tolong menolong sesama anggota kelompok.
Ketiga, terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menutut hasil kerja yang kompleks.

B. Kategori kepadatan.
Menurut Altman (1975), di dalam studi sosiologi sejak tahun 1920an, variasi indicator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku social. Variasi indicator kepadatan itu meliputi jumlah individu dalam sebuah kota, jumlah individu pada daerah sensus, jumlah individu pada unit tempat tinggal, jumlah ruangan pada unit tempat tinggal, jumlah bangunan pada lingkungan sekitar dan lain-lain. Sedangkan Jain (1987) berpendapat bahwa tingkat kepadatan penduduk akan di pengaruhi oleh unsur –unsur yaitu jumlah individu pada setiap ruang, jumlah ruang pada setiap unit ruamh tinggal, jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan jumlah struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Hal itu berarti bahwa setipa pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda tergantung dari kontribusi unsure-unsur tersebut.
Kepadatan dapat dibedakan kedalam bebrapa kategori Holahan (1982) mengggolongkan kepadatan kedalam dua kategori, yaitu kepadatan spasial (Spatial density) yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang, dan kepadatan sosoial (social density) yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat dalam (inside density) yaitu jumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepdatan didalam rumah, kamar, dan kepadatan luar (outside density) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim disuatu wilayah pemukiman.
C. Akibat-akibat kepadatan tinggi
Rumah dan lingkungan pemukiman akan member pengaruh psikologis pada individu yang menempatinya. Taylor (dalam Gilford,182) berpendapat bahwa lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalm mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal individu disuatu tempat tinggal. Rumah dan lingkungan pemukiman yang memiliki situasi dan kondisi yang baik dan nyaman seperti memiliki ruang yang cukup untuk kegiatan pribadi akan memberikan kepuasan psikis pada individu yang menempatinya. Schorr (dalam ittelson, 1974) mempercayai bahwa macam dan kualitas pemukiman dapat memberikan pengaruh penting terhadap persepsi diri penghuninya, stress dan kesehatan fisik, sehingga kondisi pemukiman ini tampaknya berpengaruh pada perilaku dan sikap-sikap orang yang tinggal disana (Ittelson, 1974). Penelitian Valins dan Baum ( dalam Heimstra dan McFarling,1978) menunjukan addanya hubungan yang erat antara kepdatan dengan interaksi social. Para mahasiswa yang bertempat tinggal diasrama yang padat sengaja mencari dan memilih tempat duduk yang jauh dari orang lain, tidak berbicara dengan orang lain yang berada di tempat yang sama. Dengan kata lain mahasiswa yang tinggal ditempat padat cenderung untuk menghindari kontak social dengan orang lain.
Penelitian terhadap kehidupan dalam penjara juga membuktikan tentang pengaruh kepadatan tempat tinggal. Penelitian D’Atri dan McCain (dalam Sears dkk, 1994) membuktiakn bahwa narapidana yang ditempatkan seorang diri di dalam sel ternyata memiliki tekanan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan narapidana yang tinggal dalam penjara tipe asrama.
Rumah dengan luas lantai yang sempit dan terbatas apabila oleh sejumlah individu umumnya menimbulkan pengaruh negative pada penghuninya (Jain,1987). Hal ini terjadi karena dalam rumah tinggal yang terbatas umumnya individu tidak memilki ruang atau tempat yang dapat dipakai untuk kegiatan pribadi. Keterbatasan ruang memungkinkan individu sering harus bertemu dan berhubungan dengan orang lain baik secara fisik maupun verbal, sehingga individu memperoleh masukan yang berlebihan. Keadaan tersebut dapat menyebabkan individu merasa tidak mampu mengolah dan mengatur masukan yang diterima. Individu menjadi terhambat untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Keadaan tersebut pada akhirnya menimbulkan perasaan sesak pada individu penghuni ruamh tinggal tersebut.
Kepadatan tinggi merupakan stressor lingkungan yang dapat menimbulkan kesesakan bagi individu yang berada didalamnya (Holahan,1982). Stressor lingkungan, menurut Stokols (dalam Brigham,1991), merupakan salah satu aspek lingkungan yang dapat menyebabkan stress, penyakit atau akibat-akibat negative pada perilaku masyarakat.
Akibat secara fisik yaitu reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain (Heimstra dan McFarling,1978). Akibat secara social antara lain adanya masalah social yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja (Heimstra dan Mc Farling, 1978;Gifford,1987).
Akibat secara psikis antara lain :
a. Stress, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan persaan negative, rasa cemas, stress (Jain,1987) dan perubahan suasana hati (Holahan,1982).
b. Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling,1978;Holahan ,1982;Gifford,1987).
c. Perilaku menolong (perilaku prososial), kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untuk menolong atau member bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan 1982;Fisher dkk,1984).
d. Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu (Holahan,1982).
e. Perilaku agresi, situasi padat yang di alami individu dapat menumbuhkan frustasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan,1982).
D. Kepadatan dan perbedaan Budaya
Menurut Koerta (dalam Budihardjo,1991) faktor-faktor seperti ras, kebiasaan, adat istiadat, pengalaman masa silam, struktur social, dan lain-lain, akan sangat menentukan apakah kepadatan tertentu dapat menimbulkan perasaan sesak atau tidak.
Epstein (dalam Sears dkk.,1994) menemukan bahwa pengaruh kepadatan tinggi tempat tinggal tidak akan terjadi apabila penghuni mempunyai sikap kooperatif dan tingkat pengendalian tertentu. Pada suatu keluarga tampaknya tidak akan banyak mengalami kesesakan, karena mereka umumnya mampu “mengendalikan” rumah mereka dan mempunyai pola interaksi yang dapat meminimalkan timbulnya masalah tempat tinggal yang memiliki kepadatan tinggi.
Hasil penelitian Anderson (dalam Budihardjo,1991) terungkap bahwa komunitas tradisional etnis china di Hongkong, Singapura, dan Penang sudah sejak dulu terbiasa dengan kepadatan tinggi, tanpa merasa sesak. Ideologi nenek moyang mereka yang mendorong setiap keluarga agar melestarikan kehidupan lima generasi sekaligus di bahwa satu atap yang sama, telah berhasil menangkal kesesakan itu. Suara-suara bising dari anak-anak cucu justru dinilai sangat tinggi dalam kehidupan. Selain itu, atas dasar pertimbangan ekonomi, keluarga dari Negara-negara timur tidak segan-segan untuk menyewakan kamar-kamar didalam rumahnya untuk disewakan kepada orang lain, demi memperoleh penghasilan ekstra. Jadi kepadatan bukanlah penyebab stress, melainkan justru mencegahnya. Karena selain memperoleh tambahan penghasilan, mereka juga dapat memperluas persaudaraan dan interaksi social.
Gambaran lain di ungkap oleh Setiadi (1991) bahwa bangsa amerika sudah dapat merasakan dampak negative yang luar biasa pada kepadatan sekitar 1500 orang/ha, dengan terjadinya banyak penyimpangan perilaku social, pembunuhan, perkosaan dan tindak criminal lainnya. Sementara itu, di jepang dan Hongkong dengan kepadatan 5000/ha pada bagian kota-kota tertentu, ternyata kejahatan/criminal disana masih lebih rendah.


Kepadatan dan Kesesakan
2 Ciri dari Kepadatan dan Kesesakan :
- Kesesakan adalah persepsi terhadap kepadatan dalam arti jumlah manusia, jadi tidak termasuk yang non-manusia.
o Contoh : Orang yang berada di hutan yang penuh pohon-pohon tidak merasa kesesakan, tetapi orang yang berada dalam kamar mandi/toilet umum yang padat pengunjungnya akan merasakan kesesakan.
- Karena kesesakan adalah persepsi maka sifatnya subyektif.
o Orang yang biasa naik bis yang padat penumpangnya, sudah tidak merasa sesak lagi (density tinggi – crowding rendah).
o Orang yang bisa mengendarai kendaraan pribadi, merasa sesak dalam bis yang setengah kosong ( density rendah – crowding tinggi).
Perbedaan kepadatan dan kesesakan :
a. Kepadatan (density) : kendala kekurangan (bersifat obyektif).
b. Kesesakan (crowding) : respon subyektif terhadap ruang yang sesak.
Kepadatan memang merupakan syarat yang diperlukan untuk timbulnya persepsi kesesakan, tetapi bukanlah syarat yang mutlak.
Manusia membedakan kepadatan di dalam rumahnya (Inside density) dan di luar rumahnya (Outside density).
Dari kombinasi 2 jenis kepadatan tersebut diperoleh 4 jenis kepadatan :
1. Kepadatan pedesaan
Kepadatan dalam rumah tinggi, tetapi kepadatan di luar rendah.

2. Kepadatan pinggiran kota (sub urban)
Kepadatan di dalam dan di luar rendah.

3. Kepadatan pemukiman kumuh di kota
Kepadatan di dalam dan di luar tinggi.

4. Kepadatan pemukiman mewah di kota besar
Kepadatan di dalam rumah rendah tetapi di luar tinggi.

Dampak kepadatan dan kesesakan pada manusia
Patologi Sosial
Meningkatnya,
- Kejahatan
- Bunuh diri
- Penyakit jiwa
- Kenakalan remaja
Tingkah laku sosial
- Agresi
- Menarik diri dari lingkungan sosial
- Berkurangnya tingkah laku menolong
- Kecenderungan menjelekkan orang lain
Kinerja
- Hasil dan prestasi kerja menurun
- Suasana hati (mood) cenderung lebih murung

Akibat Kepadatan Tinggi
Menurut Heimstra dan Mc Farling (1978) kepadatan memberikan akibat bagi manusia baik secara fisik,
sosial maupun psikis. Akibat secara fisik yaitu reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain (Heimstra dan McFarling, 1978).
Akibat secara sosial antara lain adanya masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja (Heimstra dan McFarling, 1978; Gifford, 1987).
Akibat secara psikis antara lain: stres, menarik diri, perilaku menolong (perilaku prososial), kemampuan mengerjakan tugas, perilaku agresi.

Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
Dharma, Agus.Teori Arsitektur 3.Jakarta:Gunadarma,1998.

KETIKA IKLAN MULAI DI BENCI

Artikel Psikologi Lingkungan

Data dari AC Nielsen menunjukkan bahwa tidak lebih 40% pemirsa televisi yang tertarik dengan iklan. Pembelian produk lebih banyak dipengaruhi oleh situasi terakhir di depan rak-rak toko. Fenomena yang semakin mengukuhkan peran media in store sebagai ujung tombak penjualan. Iklan dinilai tidak lagi membumi dan mengambil jarak yang terlampau jauh dengan keinginan konsumen. Konsumen yang pada awal perkembangan pasar dimaknai sebagai pihak yang pasif dan sangat tergantung pada produsen, pada gilirannya semakin otonom. Produsen tidak mampu mengedukasi pasar tanpa menanamkan keterlibatan konsumen dalam proses pemasaran yang tengah dijalankan.
Konsep tradisional marketing senanantiasa menempatkan media, khususnya televisi, sebagai sarana handal untuk membangun performa produk atau merek di mata konsumen. Prinsip tersebut mulai bergeser ketika pasar semakin kompetitif sehingga penempatan iklan dalam konteks above the line (media lini atas) maupun below the line (media lini bawah) dipandang tidak lagi relevan. Prinsip “radical marketing” cenderung berfikir “out of the box”, berfikir di luar kerangka yang sudah ada. Prinsip tradisional lebih terfokus pada produk dan benefit (produk as hero) yang ditawarkan, sedangkan konsep radical marketing lebih terfokus pada pelanggan (consumer) sebagai end user langsung. Jabaran konsep radical marketing tidak semata-mata menyajikan konsep pemasaran dengan pendekatan hard selling, tetapi lebih kepada penciptaan persepsi positif dan empati konsumen melalui berbagai lini yang saling terintegrasi.
Fenomena pemasaran yang beriringan dengan kejenuhan konsumen terhadap periklanan. Iklan yang terlampau banyak, utamanya pada media televisi, mulai diragukan efektivitasnya. Fenomena yang oleh Ries (2004) dinilai sebagai akhir dari kejayaan periklanan. Iklan telah mencapai titik terendah dalam kontribusinya untuk mendorong penjualan. Era yang oleh Ries disebut sebagai masa kematian periklanan dan kebangkitan peran public relation. Peran public relation dalam mendorong citra perusahaan atau citra merek dinilai lebih handal dibandingkan melalui kampaye periklanan. Kejayaan peran PR dalam kaca mata Ries lebih disebabkan peran komunikasi personal yang lebih baik dan berjalan secara simultan, sebuah kondisi yang sulit digantikan oleh bentuk periklanan konvensional
Fenomena pasar yang semakin kompetitif, konsumen yang semakin selektif dan ditunjang oleh semakin miskinnya peran iklan dalam mengangkat penjualan produk, melahirkan beberapa konsep periklanan baru dan prinsip-prinsip pemasaran yang elastis. Periklanan tidak lagi dimaknai sebagai lini yang mengambil jalan berbeda dengan kebijakan marketing secara umum. Marketing tidak lagi berbicara tentang jalur-jalur produksi dan distribusi semata-mata. Pemaduan konsep marketing mix dalam satu jalur yang saling terintegrasi pada gilirannya menempatkan konsumen sebagai target dan sekaligus pijakan awal dalam bentuk-bentuk komunikasi pemasarannya. Bentuk-bentuk periklanan dalam kerangka throght the line dan penggunaan ambient media merupakan salah satu upaya memodifikasi pemasaran yang menempatkan konsumen acuan.

PRINSIP “USANG” PERIKLANAN KONVENSIONAL
Periklanan secara konvensional dimaknai sebagai tindakan persuasif untuk mempengaruhi audiens. Audiens diposisikan sebagai pihak yang pasif dan tidak otonom, sehingga setiap keputusan pembelian merupakan akibat panjang dari bentuk-bentuk perlakuan ekternal. Posisi konsumen sebagai pihak yang berjarak dengan produk-produk sehingga tindakan promosi diperlukan untuk mempersempit jarak tersebut. Pemberian citra-citra terhadap produk, yang pada gilirannya akan merubah persepsi konsumen merupakan salah satu indikasi keberhasilan proses periklanan yang dilakukan.
Perkembanan perekonomian yang diiringin perkembangan oreintasi produk melahirkan teori-teori periklanan baru. Keberadaan produk tidak lagi dilihat sebagai bagian dari upaya pemenuhan kebutuhan fisik semata-mata, tetapi lebih kepada pemenuhan kebutuhan psikologis. Konsumen tidak lagi dinilai sebagai sosok yang hanya berbicara pada tataran rasionalitas, tetapi pada perkembangannya lebih mengedepankan sisi emosionalitas (Kartajaya: 2003). Pembelian terhadap produk tidak lepas dari pertimbangan emosionalitas. Dimensi emosionlitas terlepas relasi gender ataupun usia, persepsi yang dapat muncul pada konsumen laki-laki maupun perempuan, atau pada usia muda maupun tua.
Teori-teori periklanan baru dibangun untuk menjembatani perkembangan konsumen yang memiliki perubahan orientasi produk. Prinsip-prinsip periklanan konvensional yang cenderung berfikir statis dinilai tidak lagi relevan untuk menjawab kebutuhan konsumen. Jim Aitchison (2004:48) melihat 8 kesalahan periklanan konvensional yang tidak lagi relevan dengan perkembangan fenomena konsumen diabad ke 21. Beberapa teori periklanan konvensional yang dinilai tidak relevan dengan perkembangan persepsi konsumen adalah:
1) Setiap kampanye periklanan harus senantiasa menampilan USP (Unique Selling Proposition) dari produk yang diiklankan.
2) Iklan yang baik senantiasa mengedepankan rational benefit.
3) Iklan bertema humor tidak memiliki daya jual.
4) Setiap produk harus mengetengahkan slogan yang mudah diingat.
5) Paparan visual iklan harus menampilan logo produk.
6) Tampilan visual produk harus selalu ditampilkan.
7) Setiap bentuk kampanye iklan harus senantiasa memiliki persamaan satu dengan lainnya.
8) Iklan-iklan kreatif tidak memiliki daya jual.
Delapan hal tersebut yang dinilai tidak lagi relevan dengan perkembangan konsumen dewasa ini. Pendapat Aitchison tersebut pada prinsipnya lebih ditujukan untuk membangun preferensi terhadap merek. Contoh-contoh yang dikemukakan lebih banyak berkutat pada produk-produk yang telah memiliki preferensi kuat.
Aitchison melihat penggunaan USP (Unique Selling Proposition) tidak lagi populer mengingat konsep USP senantiasa berbicara bila produk tersebut memiliki 3 aspek yaitu genuine, tangible, dan differences. Bila ketiga aspek tersebut tidak terpenuhi maka sangat sulit menciptakan USP. USP telah tergantikan dengan konsep ESP (Emotional Selling Proposition). Konsep ESP lebih mengetengahkan pendekatan emosional, sisi USP dinilai tidak lagi relevan mengingat seorang konsumen memiliki keterbatasan ingatan terhadap fungsi-fungsi fisik semua produk. ESP membangun hubungan yang lebih customized dengan konsumen. Pembelian terhadap produk lebih disebabkan oleh ikatan emosional antara produk tersebut dengan konsumen. Fenomena penggunaan ESP dapat ditemui dalam iklan Suzuki Swift. ESP diungkapakan antara lain dengan slogan yang berbunyi It’s Boy Thing. Iklan tersebut tidak menawarkan kelebihan apa-apa, mengingat mobil jenis hatchback tidak hanya Swift, disegmen yang sama terdapat Toyota Yaris.
Pendekatan rational benefit sebagai tema kampanye periklanan dinilai tidak lagi relevan dengan fenomena konsumen yang semakin tidak rasional. Atchitson (2004:54) melihat bahwa 90% otak manusia dipenuhi oleh hal-hal yang irrasional, fakta yang memperkuat peran irrational benefit sebagai tema kampanye periklanan. Differensiasi merek hanya dapat diciptakan melalui pembentukan karisma merek. Kharisma merek hanya mampu diciptakan dengan spritual value, yang didalamnya merangkum tidak hanya functional value tetapi juga emotional dan intellectual value (Kartajaya, 2003:72). Spiritual value merupakan salah satu bentuk dari hal-hal yang bersifat irasional.
Mahbubani (1997) mencatat ada banyak perbedaan cara berfikir antara Eropa dan Asia. Orang-orang Asia masih menaroh pendekatan spiritual dalam pola fikirnya (Batey, 2002:35). Hal yang sama terkait dalam persoalan humor. Humor merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam cara berfikir di Asia. Humor merupakan salah satu kekuatan yang dinilai mampu menjadi daya tarik penjualan. Fenomena humor mulai menjadi perhatian yang serius dalam konsep periklanan modern. Kenneth Roman (2005:117) mencatat bahwa diantara 30 iklan yang menang dalam festival iklan dalam 10 tahun terakhir, dua pertiga dari iklan tersebut menggunakan humor sebagai daya tariknya. Beberapa iklan dalam konteks through the line banyak mengetengahkan humor sebagai daya tariknya. Periklanan tidak lagi berpijak pada konsep produk as hero, tetapi dibingkai sebagai bentuk differensiasi, yang disalurkan dalam bentuk yang fun.
Timoty Foster (2006) menyebut 10 benchmarks (patokan) yang berkaitan dengan slogan yaitu memorable, recall the name, mengandung key benefit, differentiate, mencerminkan brand personality, believable, strategic, competitive, original, dan menimbulkan positive feeling. Konsep Foster tentang slogan dinilai tidak relevan untuk produk-produk yang telah memIliki brand awareness tinggi. Slogan yang memorable tidak selalu mampu meningkatkan persepsi terhadap merek. Tindakan yang mungkin dilakukan adalah menciptakan sisi emotional benefit.

Iklan-iklan yang mengedepankan sisi emosional benefit, lebih banyak berbicara secara visual. Elemen logo dalam visualisasi iklan tidak lagi menjadi suatu keharusan. Karakteristik produk dapat dibangun dengan elemen warna yang khas, penggunaan tipografi yang spesifik, komposisi yang unik atau melalui gaya bahasa yang khas. Komposisi warna, tipografi ataupun gaya bahasa, dinilai mampu menggantikan kehadiran logo. Bentuk periklanan yang semakin customized, sehingga tidak mampu diterjemahkan oleh setiap audiens yang melihat.
Produk yang berbicara pada sisi emosionalitas tidak memerlukan paparan visual yang berkesan menggurui. Paparan visual yang sederhana tanpa menampilkan produk yang bersangkutan menjadi suatu yang lazim. Iklan-iklan berbicara melalui visualisasi simbolis dengan mengetengahkan teks yang sangat minimal.
Prinsip similaritas dalam setiap kampanye periklanan dinilai tidak relevan dengan perkembangan pemahaman konsumen. Prinsip similaritas tidak lagi diwujudkan dalam tampilan visual, tetapi lebih pada ketaatan terhadap persepsi dan citra produk yang bersangkutan. Kondisi tersebut diciptakan dengan menampilkan citra produk secara taat pada beberapa media yang berbeda. Fenomena yang lebih menekankan pada prinsip emotional branding.
Prinsip periklanan dengan konsep hard selling, tidak berbicara pada tataran kreatifitas, tetapi lebih berpedoman pada fluktuasi penjualan sesaat. Konsep periklanan yang mengabaikan kreativiats sebagai salah satu elemen penunjang citra produk. Konsekwensi dari hal tersebut adalah keberadaan iklan-iklan kreatif dianggap tidak mampu memberikan dampak marketing yang serius. Perkembangan konsep periklanan yang terintegrasi menunjukkan bahwa iklan-iklan kreatif mampu mendongkrak penjualan secara signifikan. Kreativitas periklanan, baik yang disampaikan dengan visualisasi yang tidak lazim ataupun dengan muatan humor yang kental, pada beberapa kasus mampu menimbulkan impact yang positif terhadap produk.

FENOMENA PERIKLANAN KREATIF DALAM KONTEKS THROUGH THE LINE DAN AMBIENT MEDIA
Konsep through the line pada mulanya merupakan upaya untuk membangun bentuk periklanan yang terintegrasi antara media lini atas dan media lini bawah. Media lini atas (above the line) dan media lini bawah (bellow the line) dinilai tidak mampu memenuhi fungsinya secara optimal. Through the line (pada lini) merupakan bentuk pendekatan holistik dan disinyalir merupakan bentuk masa depan periklanan (Lwin, 2002:93). Para praktisi iklan tidak hanya mengandalkan media massa sebagai media penyampai pesan yang efektif.



Ambient media (media lingkungan) merupakan bentuk periklanan yang memanfaatkan lingkungan sekitar media iklan sebagai bagian dalam kegiatan periklanan yang dilakukan. Ambient media selalu berpijak pada unsur kejutan sebagai konsepnya. Konsumen diharapkan memperoleh hal-hal yang baru yang dapat memberikan impact langsung terhadap produk atau merek yang tengah diiklankan.

Merek Nike (atas) memasang setiap logonya pada setiap tempat sampah, sehingga menyerupai keranjang basket ball. Sedangkan pada bagian bawah HSBC membuat sebuah cermin yang ditempeli foto sebuah mobil dengan ukuran yang sebenarnya dan disertai slogan “stop dreaming, start driving.” .
Fenomena through the line dan ambient media merupakan salah satu upaya pengiklan untuk mengurangi kejenuhan terhadap periklanan konvensional. Periklanan konvensional senantisa berada dalam pada dua lini dan terikat pada tempat dan konteks yang “kaku”. Through the line dan ambient media berupaya menguraikan kekakuan pembagian media dan keterikatan pada konteks dengan menciptakan ruang beriklan yang bebas dan kreatif.
Prinsip through the line dan ambient media adalah membangun hubungan relasional dengan audiens dengan jalan yang tidak terduga. Unsur impact dan “kejutan” yang muncul merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur keberhasilan periklanan yang dilakukan. Iklan yang disuguhkan diharapkan memberikan pengalaman baru. Pengalaman yang terbentuk tidak semata-mata berperan sebagai entertainment, tetapi juga mampu meningkatan preferensi merek. Media periklanan yang tidak terikat pada lini, menyebabkan eksplorasi media harus senantiasa dilakukan. Keberhasilan through the line dan ambient media tidak semata-mata tergantung pada eksekusi visual, tetapi juga ditujang oleh respon audien dan lingkungan sekitar iklan. Konsep media, lingkungan visual, dan keberadaan audiens aktif menjadi satu kesatuan yang menentukan keberhasilan proses periklanan yang dilakukan.
Media komunikasi periklanan berdasarkan tingkat kedekatan dengan konsumen dapat dikategorikan dalam 3 hal, yaitu media in home, ini life experience, dan in retail. Periklanan medern tidak bekerja pada satu aspek media semata-mata. Konsep periklanan yang terintegrasi berupaya mengedukasi konsumen pada setiap kesempatan. Edukasi terhadap sebuah merek tidak melulu dilakukan di rumah (in home), tetapi juga dilakukan pada kegiatan yang sering mereka lakukan (in life experience), dan juga pada saat pembelian (in store).
Konsep through the line dan ambient media dapat dilihat sebagai upaya penciptaan experience yang unik bagi pelanggan. Penanaman brand awareness disalurkan melalui pemupukan kedekatan emosional yang customized. Through the line dan ambient media merupakan bentuk periklanan yang tidak bersifat massal. Perilaku konsumen dilihat secara indiviual, sehingga setiap produk diasumsikan memiliki karakter konsumen yang unik yang khas. Pada prinsipnya segmentasi produk yang jelas menjadi penentu utama keberhasilan kampanye iklan yang dijalankan. Pemahaman terhadap sisi psikografik dan behavioristik konsumen merupakan salah satu elemen yang harus dipahami oleh pengiklan. Inti dari through the line dan ambient media adalah penciptaan experience. Penciptaan experience hanya mungkin dilakukan bila produk telah memiliki segmen yang spesifik (segmented) dan pemasar telah memahami karakter konsumen secara menyeluruh.
Penciptaan experience dalam konteks marketing dapat dicapai dengan dua tindakan, yaitu brand experience dan costumer interface. Brand experience disalurkan dalam bentuk pencitraan terhadap produk yang bersangkutan, misalnya dalam paparan visualisasi logo, kemasan, interior ruang, style produk dan hal-hal yang sifatnya visual. Costumer interface lebih banyak dilakukan oleh oleh perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa. Inti tidakan costumer interface adalah interaksi langsung dengan pelanggan, menggunakan berbagai media dan dilakukan dalam berbagai kesempatan.
Through the line dan ambient media sebagai sebuah wilayah periklanan baru keberadaannya sejalan dengan konsep Costumer Experience Strategi (CES) dalam marketing. Konsep Costumer Experience Strategi meyakini keberhasilan pemasaran melalui penciptaan experience (Experiental marketing) bagi pelanggan. Konsep CES bergerak pada 5 komponen yaitu konsep sense, feel, think, act, dan relate (Schmitt, 2006). Inti dari CES adalah melihat konsumen secara indivual sehingga setiap konsumen dimaknai memiliki sikap dan tindakan yang khas. Antisipasi terhadap sikap dan tidakan tersebut, yang dikemas dalam bentuk pengalaman ketika memperoleh atau mengkonsumsi produk, akan menimbulkan experience terhadap produk yang dipasarkan. Fenomena tersebut pada gilirannya diharapkan menumbuhkan persepsi positif terhadap produk atau layanan jasa yang diberikan produsen.
Periklanan dan tindakan marketing lainnya berjalan secara terintegrasi. Penciptaan pengalaman tidak melulu urusan marketing tetapi juga menjadi bagian dalam program periklanan yang dijalankan. Konsep pemasaran terpadu (Integrated Marketing Communication) merupakan salah satu bentuk reaksi terhadap kejenuhan pasar dan tanggapan negatif terhadap iklan. Iklan yang “tidak biasa” diharapkan mampu mencuri perhatian diatara “hiruk pikuk” iklan yang ada. Pengalaman yang unik terhadap produk dan bentuk periklanan kreatif pada gilirannya akan meningkatkan citra produk secara lebih baik.

D. SEKILAS THROUGH THE LINE DAN AMBIENT MEDIA DI INDONESIA
Penggunaan konsep pada lini (through the line) dan media lingkungan (ambient media) di Indonesia belum banyak dijumpai. Salah satu contoh penggunaan ambient media di Indonesia dapat dijumpai pada iklan susu bendera (gambar 4). Iklan yang dikemas sangat kreatif, dengan mamadukan unsur bellow the line (poster) dengan properti real. Keberadaan endorser produk, yaitu Anton Taminsyah sebagai juara catur dunia antar sekolah tahun 2005 dan Diandra, best power forward Kejurnas Libala 2004 divisualisasikan dalam bentuk poster dalam ukuran yang sebenarnya, sedangkan properti lainnya merupakan properti yang real dalam bentuk dan ukuran yang sebenarnya.

Ide-ide kreatif dalam periklanan di Indonesia tidak selalu kalah dengan kreativitas periklanan manca negara. Pada beberapa kasus dapat dijumpai model-model iklan dan teknik marketing kreatif dengan menggukan media yang tidak biasa. Beberapa iklan keratif di Indonesia diantaranya iklan Mezzo, yang menggunakan media balon udara, gerai Eiger dengan display lingkungan petualang, Softek yang meluncurkan tagline repostioning bersama ADA Band atau JnA Donuts yang menampilkan pesona dapur dalam toko donatnya.

Fenomena through the line dan ambient media merupakan hal baru di Indonesia, tetapi bentuk-bentuk kerativitas periklanan sudah mulai lama dijalankan. Persoalan yang sering timbul adalah persepsi masyarakat Indonesia yang beragam, sedangkan keberadaan through the line dan ambient media hanya mungkin dilakukan bila kelas-kelas masyarakat telah memiliki preferesi yang cenderung homogen. Homogenitas perseptual merupakan salah satu faktor yang mampu mendorong kreativitas periklanan. Pada prinsipnya media periklanan keratif bertujuan menciptakan clarity, consistency, dan maximum communications impact.

Kesimpulan dari atas= Fenomena Through the line dan ambient media hadir untuk menjawab kejenuhan periklanan, sehingga iklan diharapkan mampu tampil secara tidak biasa sehingga mampu menarik perhatian lebih. Impact dan kejutan yang timbul pada gilirannya diharpkan mampu mengangkat persepsi dan citra produk yang diiklankan. Through the line dan ambient media dapat berjalan bila terdapat kerjasama yang ideal antara visualisasi iklan, lingkungan sekitar, dan audiens yang responsif. Keberadaan through the line dan ambient media dapat berjalan dengan baik bila terdapat persepsi positif terhadap karya-karya periklanan kreatif, mengingat iklan-iklan kreatif memiliki potensi mengundang kontroversi.

DAFTAR PUSTAKA
Aitchison, Jim. 2004. Cutting Edge Advertising How To Create The World’s Best Print for Brand in The 21st Century. Singapore: Pearson Pretice Hall.
Batey, Ian. 2003. Asian Branding A Great Way to Fly. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Kartajaya, Hermawan. 2003. Marketing in Venus. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lwin, May dan Jim Aitchison. 2005. Clueless In Advertising. Jakarta: BIP.
Roman, Kenneth. 2005. How to Advertise- Membangun Merek dan Bisnis Dalam Dunia Pemasaran Baru. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Sumber: http://rudiirawanto.wordpress.com/2010/10/

Ambient condition & Architectural Features

A. Definisi Ambient condition
Ambient condition yaitu kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu seperti sound, cahaya/ penerangan, warna, kualitas udara, temperature, dan kelembaban.

B. Definisi Architectural Features
Architectural features yang tercangkup di dalamnya adalah seting-seting yang bersifat permanent, misalnya di dalam ruangan, yang termasuk didalamnya antara lain konfigurasi dinding, lantai, atap, serta pengaturan perabot dan dekorasi. Dalam suatu gedung architectural features meliputi layout tiap lantai, desain, dan perlakuan ruang dalam dan sebagainya.

Sumber: www.elearning.gunadarma.ac.id

Teori-Teori tentang hubungan antara tingkah laku dengan lingkungan

Teori-Teori tentang hubungan antara tingkah laku dengan lingkungan

Sebagaimana cabang dari suatu ilmu pengatahuan, psikologi lingkungan pun memerlukan teori-teori. Teori-teori ini diperlukan untuk menata berbagai data dan informasi yang jumlahnya besar dan sangat bervariasi sedemikian rupa sehingga para peneliti bisa memahaminya. Atas dasar itulah dapat dibuat berbagai kesimpulan, peramalan, generalisasi, pengembangan riset, atau melaksanakan usaha-usaha operasional.
Sebagai ilmu yang baru berkembang, belum banyak teori yang telah disusun oleh pakar-pakar psikologi lingkungan apalagi jika di pertimbangkan bahwa cabang ini belum mendapatkan bentuknya yang mapan. Konsep-konsep yang ada belum bisa didefeniskan dengan jelas dan hubungan antara variable-variabel belum dapat diterangkan dengan tuntas. Walaupun demikian, teori-teori yang sudah sempat tumbuh dan berkembang setidak-tidaknya dapat memberikan jawaban terhadap sebagian permasalahan yang timbul dalam psikologi lingkungan.

1. Teori stress lingkungan. Menurut teori ini, ada dua elemen dasar yang menyebabkan manusia bertingkahlaku terhadap lingkungannya. Elemen pertama adalah stressor dan elemen kedua adalah stress itu sendiri. Stressor adalah elemen lingkungan (stimuli) yang merangsang individu seperti kebisingan, suhu udara, dan kepadatan. Stress (ketegangan, tekanan jiwa) adalah hubungan antara stressor dengan reaksi yang ditimbulkan dalam diri individu.
Dalam rangka teori stress lingkungan ini ada dua pendapat mengenai stress itu. Menurut Selye (1956, dalam Bell et al, 1978:68) stress diawali dengan reaksi waspada (alarm reaction) terhadap adanya ancaman yang ditandai oleh proses tubuh secara otomatis seperti meningkatnya produksi adrenalin. Keadaan ini segera disusul yang menggigil di udara dingin atau berkeringat di udara panas.
Namun, menurut Lazarus (1966 dalam Bell et al, 1978:69) stress bukan hanya mengandung factor faal, melainkan juga melibatkan kesadaran (kognisi), khususnya dalam tingkah laku coping. Ketika individu hendak bereaksi terhadap stressor ia harus menentukan strategi dengan memilih tingkah laku, yaitu menghindar, menyerang secara fisik atau dengan kata-kata saja, dan mencari kompromi. Penetuan pilihan itu dilakukan di dalam kognisi.

2. Teori pembangkitan (arousal approach). Inti dari teori ini adalah meningkatnya (bangun, bangkit) atau berkurangnya kegiatan di otak sebagai suatu akibat dari proses faal tertentu (Hebb, 1972 dalam fisher et al, 1984:663-665). Perubahan kegiatan otak ini merupakan variable perantara (Intervening variable) antara rangsang yang datang dari lingkungan dengan tingkah lakuyang terjadi. Misalnya, seseorang datang dari desa dengan kereta api. Ketika turun di stasiun ia menghadapi berbagai stimuli seperti keramain, kebisingan, udara yang panas, dan polusi udara. Sebagai indicator bahwa pada diri orang desa itu terjadi peningkatan kegiatan pada syaraf otonom seperti bertambah cepatnya detak jantung, naiknya tekanan darah, dan produksi adrenalin yang lebih cepat.
Setelah ada tanda-tanda peningkatan kegiatan di otak itu maka dapat kita ramalkan akan terjadi perilaku tertentu seperti bertambah waspada, segera melakukan sesuatu, misalnya mencari kendaraan umum, atau menjadi agresif (marah-marah). Selanjutnya dikatakan oleh teori ini bahwa arousal yang rendahakan menghasilkan pekerjaan (performance) yang rendah pula. Makin tinggi arousalnya, makin tinggi hasil pekerjaan itu. Pada tugas-tugas yang mudah, hasilnya akan terus meningkat dengan meningkatnya arousal, tetapi pada pekerjaan-pekerjaan yang sulit, hasil pekerjaan justru akan menurun jika arousal sudah melebihi batas tertentu. Dalam psikologi lingkungan, dalam hubungan antara arousal dan performance ini dinamakan hokum Yerkes dan Dodson.
Hukum Yerkes-dodson. Pembangkitan penginderaan (arousal) melalui peningkatan rangsang, dapat meningkatan hasil kerja pada tugas-tugas yang sederhana, tetapi justru akan menggangu dan menurunkan prestasi kerja dalam tugas-tugas yang rumit. Misalnya, suara music didalam mobil bisa merangsang semangat pengemudi, tetapi suara music yang sama dapat mengganggu konsentrasi orang yang sedang memecahkan persoalan matematika. Hokum ini paling nyata efeknya jika berhubungan dengan rangsang suhu udara, kepadatan penduduk, dan suara bising (Bell et al, 1978:73). Misalnya kalau seorang sedang santai menggambar atau mencuci mobil maka bunyi radio yang memperdengarkan music rock, akan menambah semangat kerja orang itu. Makin keras musiknya, dia makin senang. Namun jika ia sedang serius membuat pekerjaan rumahnya dan kebetulan ada soal yang sulit maka setelah melalui titik tertentu, kebisingan itu dianggap menggangu dan sudah tidak menyenangkan lagi.

3. Teori kelebihan beban (environmental load theory). Teori ini dikemukakan oleh cohen (1977) dan milgram (1970) (dalam fisher et al, 1984:65-66). Prinsip dasar teori ini adalah manusia mempunyai keterbatasan dalam mengolah stimulus dari lingkungannya. Jika stimulus lebih besar dari pada kapasitas pengolahan informasi maka terjadilah kelebihan beban (overload) yang mengakibatkan sejumlah stimuli harus dia abaikan agar individu dapat memusatkan perhatiannya pada stimuli tertentu saja. Strategi pemilihan tingkah laku coping untuk memilih stimuli mana yang mau diprioritaskan atau diabaikan pada suatu waktu tertentu inilah yang menetukan reaksi positif atau negative dari individu itu terhadap lingkungannya.

4. Teori kekurangan beban (understimulation theory). Teori ini kebalikan dari teori kelebihan beban yang justru menyatakan bahwa manusia tidak akan senang jika ia tidak mendapat cukup rangsang dari lingkungannya. Zubek (69, dalam Bell et al, 1978;76) mengatakan bahwa kurangnya rangsang terhadap indera manusia menyebabkan timbulnya rasa kosong, sepi, dan cemas. Akibatnya juga bisa timbul kebosanan dan kejenuhan.

5. Teori tingkat adaptasi (adaptation level theory). Seperti sudah diuraikan diatas, manusia menyesuaikan responsnya terhadap rangsang yang datang dari luar, sedangkan stimulus pun dapat diubah sesuai dengan keperluan manusia . Wohlwill (1974, dalam Bell et al,78:78) menamankan penyesuian respons terhdap stimulus sebagai adaptasi, sedngkan penyesuian stimulus pada keadaan individu sebagai adjustment. Dalam hubungan ini dikatakan oleh Wohlwill bahwa setiap orang mempunyai tingkat adaptasi (adaptation level) tertentu terhadap rangsang atau kondisi lingkungan tertentu. Misalnya, orang Tibet mempunyai tingkat adaptasi yang sangat tinggi terhadap kadar oksigen dalam udara karena mereka biasa hidup di pegunungan yang sangat tinggi diatas permukaan laut. Untuk orang-orang biasa, berada ditempat yang kadar oksigennya rendah seperti itu tentu akan menimbulkan masalah. Dengan demikian jelaslah bahwa reaksi orang terhadap lingkungannya bergangtung pada tingkat adapts orang yang bersangkutan pada lingkungan itu. Makin jauh perbedaan antara keadaan lingkungan dengan tingkat adaptasi, makin kuat pula reaksi orang itu.
Kondisi lingkungan yang dekat atau sama dengan tingkat adaptasi adalah kondisi optimal. Orang cenderung selalu mempertahankan kondisi optimal ini, dalam skema Bell dinamakan Kondisi homeostatis. Ada tiga kategori stimulus yang dijadikan tolak ukur dalam hubungan lingkungan dan tingkah laku, yaitu stimulus fisik yang merangsang indera (suara, cahaya, suhu udara), stimulus social, dan gerakan. Untuk ketiga stimulus itu masing-masing mengandungtiga dimensi lagi, yaitu intensitas, diversitas dan pola.

6. Teori kendala tingkah laku (the behavior constraint theory). Seperti pernah diuraikan diatas, manusia pada hakikatnya ingin mempunyai kebebasan untuk menetukan sendiri tingkah lakunya. Dikatakan oleh J.Bhrem (Bell et al, 1978: 82-83) bahwa jika individu mendapat hambatan terhadap kebebasannya untuk melakukan sesuatu ia akan berusaha untuk memperoleh kebebasannya itu kembali. Reaksi untuk mendapatkan kembali kebebasan itu dinamakan Psychology reactance yang tidak selalu perlu terjadi hanya setelah individu langsung mengalami sendiri suatu situasi, tetapi juga dimungkinkan timbulnya psychological reactance berdasarkan antisipasi kemasa depan.

7. Teori psikologi ekologi. Teori ini dikemukakan oleh Barker (1968,dalam Bell et al, 1978:83-85). Kekhususannya adalah teori ini mempelajari hubungan timabl balik antara lingkungan dan tingkah laku, sedangkan teori-teori sebelumnya pada umumnya hanya memberikan perhatian pada pengaruh lingkungan terhadap tingkah laku saja. Suatu hal yang unik pada teori ini adalah adanya set tingkah laku (Behavioral setting) yang dipandang sebagai factor tersendiri. Set tingkah laku adalah pola tingkah laku kelompok (bukan tingkah laku individu) yang terjadi sebagai akibat kondisi lingkungan tertentu (phsycal milleu).

8. Teori cara berpikir. Berbeda dari teori-teori sebelumnya, teori ini justru mengkhususkan diri pada pengaruh tingkah laku pada lingkungan. H.L. Leff (1978:10-11) menyatakan bahwa ada dua macam cara orang berpikir dalam menanggapi rangsang dari lingkungan. Pertama adalah cara berpikir linier dan kedua adalah cara berpikir system. Perbedaan cara berpikir ini menyebabkan perbedaan dalam reaksi terhadpa lingkungan.

Metode penelitian Psikologi Lingkungan

Pada umumnya psikologi lingkungan menggunakan juga metode-metode yang digunakan dalam psikologi umum dan cabang-cabang psikologi lainnya. Secara garis besar ada tiga macam rancangan penelitian yang biasa digunakan dalam psikologi, yaitu rancangan eksperimental, rancangan korelasional, dan rancangan deskriptif.
Rancangan eksprimental adalah yang paling sulit diterapkan dalam psikologi lingkungan karena dalam pelakasanaannya rancangan ini mempersyaratkan agar semua variabel (faktor) di luar variabel yang sedang diteliti, dapat dikontrol oleh peneliti. Selain itu, biasanya penelitian eksperimental dilakukan dalam laboratorium. Padahal kejadian-kejadian dan gejala-gejala dalam alam seperti bencana alam, pemandangan alam, atau urbanisasi, sulit sekali dikontrol, apalagi dibawa kedalam laboratorium. Oleh karena itu, rancangan penelitian eksperimental ini hanya dapat dilakukan dalam topik-topik yang sangat terbatas saja dalam psikologi lingkungan, misalnya tentang pengaruh bising, kadar oksigen, pencahayaan, altitude (ketinggian dari permukaan laut), dan variabel-variabel lain yang bisa disimulasikan dalam laboratorium terhadap konsentrasi kerja atau daya pikir seseorang.
Rancangan kedua yang lebih banyak dilakukan dalam penelitian psikologi lingkungan adalah rancangan korelasional. Dengan rancangan ini peneliti berusaha mencari bagaimana hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya. Misalnya, hubungan antara musim tanam atau musim panen di pedesaan dengan mobilitas penduduk desa-kota. Atau hubungan antara kesuburan tanah di lokasi transmigrasi dengan frekuensi transmigran yang melarikan diri dari lokasi tersebut.
Rancangan ini lebih mudah dilakukan karena bisa dilakukan dengan langsung mengadakan pengamatan atau pengumpulan data di lapangan. Akan tetapi, kelemahannya adalah kadang-kadang tidak bisa diketahui dalam hubungan itu variabel mana yang merupakan penyebab dan mana yang merupakan akibat. Rancangan yang terbanyak dipakai adalah rancangan deskriptif, yaitu rancangan penelitian yang tujuannya hanya untuk menggambarkan keadaan manusia dalam suatu lingkungan tertentu dan bagaimana melakukan rekayasa atau campur tangan sehingga hubungan yang ada mengoptimalkan kondisi manusia maupunlingkungannya. Persyaratan dari rancang deskriptif ini hanyalah alat-alat pengumpul data yang valid dan reliable. Rancangan ini tidak terbatas pada laboratorium maupun waktu.


Sumber: Sarwono, SW. 1992. Psikologi Lingkungan. Jakarta: Grasindo.

Pengantar Psi.Lingkungan

A. Latar Belakang Sejarah Psikologi Lingkungan
Kurt Lewin yang pertama kali memperkenalkan Field Theory (Teori Medan) yang merupakan salah satu langkah awal dari teori yang mempertimbangkan interaksi antara lingkungan dengan manusia. Lewin juga menhgatakan bahwa tingkah laku adalah fungsi dari kepribadian dan lingkungan, sehingga dapat diformulasikan menjadi :
T L= f(P.L)
TL = tingkah laku
f = fungsi
P = pribadi
L = lingkungan
Berdasarkan rumusan tersebut, Lewin mengajukan adanya kekuatan-kekuatan yang terjadi selama interaksi antara manusia dan lingkungan. Masing-masing komponen tersebut bergerak suatu kekuatan-kekuatan yang terjadi pada medan interaksi, yaitu daya tarik dan daya mendekat dan daya tolak dan daya menjauh.
Sebelum kita kenal istilah psikologi lingkungan yang sudah baku, semula Lewin memberikan istilah ekologi psikologi. Lalu pada tahun 1947, Roger Barker dan Herbert Wright memperkenalkan istilah setting perilaku untuk suatu unit ekologi kecil yang melingkupi perilaku manusia sehari-hari. Istilah psikologi arsitektur pertama kali diperkenalkan ketika diadakan konferensi pertama di Utah dan jurnal profesional pertama yang diterbitkan pada akhir tahun 1960-an banyak menggunakan istilah lingkungan dan perilaku. Baru pada tahun 1968, Harold Proshansky dan William Ittelson memperkenalkan program tingkat doktoral yang pertama dalam bidan psikologi lingkungan di CNUY (City University of New York) (Gifford, 1987

B. Definisi Psikologi Lingkungan
Dalam mengupayakan keinginannya ini manusia bisa melakukan hal-hal yang dalam jangka panjang atau pada akhirnya bisa merugikan dirinya sendiri. Oleh karena itu, dalam psikologi berkembang keperluan untuk mempelajari secara lebih khusus kaitan anatara tingkah laku manusia dengan lingkungannya. Cabang psikologi yang dimaksud adalah psikologi lingkungan

C. Lingkup Psikologi Lingkungan
Berdasarkan objek yang dipelajarinya, psikologi dapat dibedakan atas:
٭ Psikologi yang mempelajari manusia
٭ Psikologi yang mempelajari hewan.
Psikologi Manusia
Cakupan yang cukup luas, menyebabkan dilakukannya pengelompokkan dalam psikologi manusia.
Atas dasar tujuannya, dibedakan atas:
* Psikologi Teoritis
* Psikologi Praktis
Atas dasar objek yang dipelajarinya, dibedakan atas:
* Psikologi Umum
* Psikologi Khusus


Sumber: images.nunukmulandari.multiply.multiplycontent.com/Ruang%20Lingkup%20Psikologi%20(Pertemuan%202).ppt
www.elearning.gunadarma.ac.id