Jumat, 28 Mei 2010

Cerita Cinta

Setiap kata terjalin dengan penuh makna
berujung cinta yang terurai menjadi sebuah cerita tangis dan canda tawa...
bersatu dalam sebuah paragraf cinta

Dimanakah cinta yang sempurna??
menembus gejolak dalam jiwa...
Dimanakah asa??
yang dapat terjalin disetiap rajutan cerita...

Tuhan kemanakah aku akan berlari...
Dimanakah kan ku temukan cinta sejati...
Kemanakah ku dapatkan kasih sejati?

Cerita cintaku kini telah aku warnai...
dengan hadirmu yang Kekal dan Sejati

Sumber: Renungan Future Generation

Pilihan Bijaksana

Pilihlah untuk mengasihi...dari pada membenci.
Pilihlah untuk tersenyum...dari pada megeryitkan dahi.
Pilihlah untuk membengun...dari pada menghancurkan.
Pilihlah untuk bertekun...dari pada menyerah.
Pilihlah untuk memuji...dari pada bergosip.
Pilihlah untuk menyembuhkan...dari pada melukai.
Pilihlah untuk memberi...dari pada mencekram.
Pilihlah untuk berbuat...dari pada menunda.
Pilihlah untuk mengampuni...dari pada mengutuk.
Pilihlah untuk berdoa...dari pada berputus asa.
"Kebahagiaanmu terletak pada pilihan yang kau buat"

Sumber: Cutie Diary Spirit Girs

Pengaruh Musik pada Anak

Penelitian membuktikan bahwa musik, terutama musik klasik sangat mempengaruhi perkembangan IQ (Intelegent Quotien) dan EQ (Emotional Quotien). Seorang anak yang sejak kecil terbiasa mendengarkan musik akan lebih berkembang kecerdasan emosional dan intelegensinya dibandingkan dengan anak yang jarang mendengarkan musik. Yang dimaksud musik di sini adalah musik yang memiliki irama teratur dan nada-nada yang teratur, bukan nada-nada "miring". Tingkat kedisiplinan anak yang sering mendengarkan musik juga lebih baik dibanding dengan anak yang jarang mendengarkan musik.

Grace Sudargo, seorang musisi dan pendidik mengatakan, "Dasar-dasar musik klasik secara umum berasal dari ritme denyut nadi manusia sehingga ia berperan besar dalam perkembangan otak, pembentukan jiwa, karakter, bahkan raga manusia".

Penelitian menunjukkan, musik klasik yang mengandung komposisi nada berfluktuasi antara nada tinggi dan nada rendah akan merangsang kuadran C pada otak. Sampai usia 4 tahun, kuadran B dan C pada otak anak-anak akan berkembang hingga 80 % dengan musik.

"Musik sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Musik memiliki 3 bagian penting yaitu beat, ritme, dan harmony", demikian kata Ev. Andreas Christanday dalam suatu ceramah musik. "Beat mempengaruhi tubuh, ritme mempengaruhi jiwa, sedangkan harmony mempengaruhi roh". Contoh paling nyata bahwa beat sangat mempengaruhi tubuh adalah dalam konser musik rock. Bisa dipastikan tidak ada penonton maupun pemain dalam konser musik rock yang tubuhnya tidak bergerak. Semuanya bergoyang dengan dahsyat, bahkan cenderung lepas kontrol. Kita masih ingat dengan "head banger", suatu gerakan memutar-mutar kepala mengikuti irama music rock yang kencang. Dan tubuh itu mengikutinya seakan tanpa rasa lelah. Jika hati kita sedang susah, cobalah mendengarkan musik yang indah, yang memiliki irama (ritme) yang teratur. Perasaan kita akan lebih enak dan enteng. Bahkan di luar negeri, pihak rumah sakit banyak memperdengarkan lagu-lagu indah untuk membantu penyembuhan para pasiennya. Itu suatu bukti, bahwa ritme sangat mempengaruhi jiwa manusia. Sedangkan harmony sangat mempengaruhi roh. Jika kita menonton film horor, selalu terdengar harmony (melodi) yang menyayat hati, yang membuat bulu kuduk kita berdiri. Dalam ritual-ritual keagamaan juga banyak digunakan harmony yang membawa roh manusia masuk ke dalam alam penyembahan. Di dalam meditasi, manusia mendengar harmony dari suara-suara alam disekelilingnya. "Musik yang baik bagi kehidupan manusia adalah musik yang seimbang antara beat, ritme, dan harmony", ujar Ev. Andreas Christanday.

Seorang ahli biofisika telah melakukan suatu percobaan tentang pengaruh musik bagi kehidupan makhluk hidup. Dua tanaman dari jenis dan umur yang sama diletakkan pada tempat yang berbeda. Yang satu diletakkan dekat dengan pengeras suara (speaker) yang menyajikan lagu-lagu slow rock dan heavy rock, sedangkan tanaman yang lain diletakkan dekat dengan speaker yang memperdengarkan lagu-lagu yang indah dan berirama teratur. Dalam beberapa hari terjadi perbedaan yang sangat mencolok. Tanaman yang berada di dekat speaker lagu-lagu rock menjadi layu dan mati, sedangkan tanaman yang berada di dekat speaker lagu-lagu indah tumbuh segar dan berbunga. Suatu bukti nyata bahwa musik sangat mempengaruhi kehidupan makhluk hidup.

Alam semesta tercipta dengan musik alam yang sangat indah. Gemuruh ombak di laut, deru angin di gunung, dan rintik hujan merupakan musik alam yang sangat indah. Dan sudah terbukti, bagaimana pengaruh musik alam itu bagi kehidupan manusia.

Wulaningrum Wibisono, S.Psi mengatakan, "Jikalau Anda merasakan hari ini begitu berat, coba periksa lagi hidup Anda pada hari ini. Jangan-jangan Anda belum mendengarkan musik dan bernyanyi".

Sumber: google.com

Anak ADHD

Agus, seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun. Ia senang melakukan kegiatan olahraga, khususnya futsal. Ia memiliki kemampuan akademik yang cukup memadai. Meskipun demikian, gurunya menyatakan bahwa prestasi belajarnya sangat kurang. Gurunya meyakini bahwa Agus akan menjadi lebih baik dalam prestasi belajarnya apabila guru lebih banyak memberikan perhatian khusus kepadanya.
Di sekolah, Agus sangat jarang mengerjakan tugas dan menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya walaupun waktu yang disediakan cukup lama. Ia sering mengganggu teman-teman sekelasnya saat kegiatan pembelajaran berlangsung. Ia sering meninggalkan tempat duduknya dan selalu bertanya-tanya sesuatu yang kurang bermanfaat kepada gurunya dan teman sebangkunya. Bahkan, ia sering menyakiti teman-temannya, misalnya menusuk tubuh temannya dengan ujung pensil yang telah di runcingkan. Saat melakukan futsal, ia bergerak kesana ke mari ke segala posisi dengan gerakan yang dilakukan secara berantai tanpa henti-hentinya. Namun, ia tidak segera menyelesaikan tugas sebagai seorang pemain yang sedang bermain futsal.
Di rumah, Agus termasuk anak yang sulit di atur. Rumahnya menjadi berantakan karena ia sering melakukan aktivitas memprakarsai unuk mencoba-coba membongkar dan memasang benda-benda yang ada di sekitrnya tanpa di selesaikan dengan baik. Sering kali ia membanting dan melempar benda-benda yang ada di sekitar ruangannya. Ayahnya melaporkan kepada gurunya bahwa Agus sering lupa terhadap apa yang pernah ia lakukan sehingga ayahnya frustasi oleh ulahnya dan sering membentak dengan keras saat Agus berperilaku tidak mau diam, bahkan menjadi berlebihan.
Berikut ini deskripsi kasus agus secara klinis..
Agus secara jelas merupakan anak dengan karakteristik hiperaktif yang mempunyai kesulitan pemusatan perhatian secara berlarut-larut dalam melakukan suatu tugas yang di berikan kepadanya. Akibatnya, semua tugas yang di berikan kepadanya tidak pernaj terselesaikan dan seiring tidak mendengarkan dengan baik saat seorang berbicara dengan dirinya. Agus sering menunjukkan aktivitas geraknya yang sulit di hentikan.
Anak-anak semacam Agus termasuk anak-anak hiperaktif yang berperilaku tidak mampu untuk diam sejenak dengan tenang di kursi belajarnya untuk beberapa menit (paling lama hanya lima menit) dan sering menunjukan gejala-gejala kegelisahan saat berada di ruang belajar. Dengan sikapnya tersebut menyebabkan gurunya dan teman-teman sekelasnya menjadi frustasi terhadap ulahnya. Dalam permainan futsal secara beregu, sering di lakukan pertemuan singkat saat waktu jeda dan sering kali Agus bertanya-tanya sambil berteriak-teriak terhadap pelatihnya (impulsivity).

Anak Disleksia

Pada suatu ketika ada seorang ibu yang mengeluhkan tentang perilaku anaknya, sebut saja Rudi. Rudi adalah seorang anak kelas 2 SD yang saat ini tidak ingin sekolah lagi. Nilai yang diperoleh Rudi semakin menurun dibanding sebelumnya. Rudi juga enggan mengerjakan PR bahasa Indonesia yang diberikan oleh gurunya dengan alasan bosan dan sudah bisa. Dengan penuh kesabaran ibunya membujuk Rudi untuk mengerjakan soal bahasa Indonesianya itu, sebelum menjawab pertanyaan yang tersedia ibu meminta Rudi untuk membaca cerita pendek yang ada pada buku pegangan miliknya. Namun betapa kaget dan shock ibunya saat mengetahui bahwa Rudi masih mengeja satu persatu huruf dari cerita pendek tersebut. Kemudian ibunya pun mendatangi gurunya dan menanyakan keadaan Rudi jika disekolah. Gurunya menjelaskan bahwa Rudi adalah siswa yang patuh, dan selalu memperhatikan guru saat diberi penjelasan. Namun Rudi sering terlihat malas dan tidak mau mengerjakan terutama saat pelajaran bahasa, mencongak atau membaca.

Saat ini ibunya merasa kebingungan atas apa yang terjadi pada anaknya. Diantara kebingungannya, sang ibu kemudian membawa Rudi ke seorang Psikolog dan menemukan jawabannya bahwa Rudi mengalami Disleksia. Dari contoh kasus tersebut diatas merupakan suatu persoalan yang sering dialami oleh orangtua. Tidak jarang pula orangtua mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi persoalan yang sedang menimpa anaknya. Permasalahan anak di sekolah banyak disebabkan karena anak mengalami kesulitan dalam hal belajar. Anak dengan permasalahan belajar biasanya mempunyai permasalah yang khusus yakni mengalami kesulitan membaca, sedangkan inteligensinya normal dan tidak mempunyai penyimpangan lain (MÅ‘nks, F.J., 2002).

sumber : http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&jd=Anakku+Sulit+Membaca%2C+Apakah+Menderita+Dyslexia%3F&dn=20080706213933

Kamis, 27 Mei 2010

Anak Autis

Nia (25) tak pernah menduga akan dikaruniai anak autis. Tapi apa daya, ia pun hanya bisa pasrah kepada Tuhan. Hanya usaha yang bisa ia lakukan agar kelak putranya itu bisa hidup layaknya anak normal.
Kevin adalah adalah anak pertama pernikahan Nia dengan Anton Simbolon. Kini usianya beranjak 5 tahun. Kelainan pada bocah lelaki kelahiran Medan, 1 Oktober 2002 ini mulai nampak ketika ia berusia dua tahun. Di usia itu ia belum bisa bicara dengan jelas.
“Sebelumnya ia tampak normal. Responnya pun masih normal. Jika dipanggil misalnya, ia akan menoleh dan melihat siapa yang memanggilnya itu,” kenang Nia perempuan berdarah Sunda itu.
Cara bicara Kevin yang lambat dan tidak jelas sebelumnya dianggap Nia dan keluarga hanyalah masalah keterlambatan pertumbuhan saja. Dan mereka yakin, Kevin pasti bisa berbicara layaknya anak normal seiring dengan pertumbuhan usianya nanti. Dan Kevin pun sempat mengikuti sekolah playgroup dengan sesama anak normal lainnya.
Namun hingga enam bulan kemudian, anggapan itu tenyata keliru. Kevin belum menampakkan perubahan. Bahkan, perilaku Kevin tampak semakin tidak seperti biasanya. Hal inilah yang akhirnya menyadarkan Nia bahwa ia perlu memeriksakan apa sebenarnya yang terjadi pada anaknya itu.
Karena kurangnya informasi tentang kelainan Kevin, Nia kemudian membawa Kevin ke Bandung. Dokter pertama yang ditemuinya adalah dr Dadang Sharief (spesialias anak) yang mengatakan, Kevin mengalami masalah (gangguan) pada pencernaan.
Dugaan-dugaan diagnosa yang belum jelas tentang kelainan yang terjadi pada Kevin sempat membuat Nia bingung. Hingga akhirnya atas rujukan dr Dadang Syarif sendiri, Nia pun bertemu dengan dr Meli Budiman (Ketua Yayasan Autis Indonesia).
Kebetulan waktu itu dr Meli Budiman sedang berkunjung ke Bandung. Dan atas diagnosa sang dokter, Kevin dijelasakan positif mengidap autis. “Dokter langsung tahu setelah memeriksa tingkah laku Kevin,” jelas Nia. Dan menyarankan agar Kevin menjalani terapi rutin.
Sayangnya, Kevin hanya bisa menjalani terapi selama enam bulan karena terkendala masalah biaya. “Terus terang saya akui, sebagai orang tua yang masih muda, waktu itu kami masih belum mapan secara finansial dan pengalaman,” kata Nia.
Maka dengan terpaksa Nia pun kembali ke Medan dengan harapan mendapat dukungan dari orangtua dan keluarga. Namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Nia tidak mendapat respon dan dukungan dari mereka, yang bahkan tidak menerima kenyataan yang menimpa Kevin.
Meski demikian, Nia dan suami tidak menyerah. “Saya dan ayah Kevin berusaha berjuang sendiri tanpa ada dukungan dari pihak keluarga dengan usia yang masih muda, dengan keadaan yang belum mapan,” kata Nia.
Dengan keterbatasan itu, Nia pun merawat Kevin sendirian. “Selama satu tahun Kevin kami rawat di rumah, tanpa bimbingan medis,” katanya. Ibu muda ini hanya merawat anaknya dengan mengandalkan buku-buku dan video.
Hingga pada tahun berikutnya, Nia dan suami yang bekerja sebagai pegawai swasta, memutuskan agar Kevin kembali mengikuti terapi dan pendidikan di Yayasan YAKARI, yayasan khusus untuk penanganan bagi anak penderita autis di Kota Medan.
Meski demikian, tak banyak harapan Nia pada Kevin. Harapan yang hampir sama bagi ibu yang juga memiliki anak penderita autis, yang juga terjadi bagi Mama Yudha misalnya; juga orang tua lain yang menghadapi kondisi yang sama.
Harapan yang sangat sederhana sebenarnya. “Bisa mandiri saja sudah cukup,” pinta Nia. Kenyataanya, hingga kini Kevin masih kesulitan untuk makan sendiri, buang air kecil (besar) sendiri. Yang jelas, semuanya masih mengharapkan uluran tangan orang lain, meskipun untuk melakukan hal semudah apapun.
Semakin Sayang Karena Autis
Bagi Nia, menerima kenyataan memiliki anak menderita autis awalnya sangatlah tidak mudah. Apalagi Kevin adalah putra pertamanya dari perkawinan mudanya.
Rasa minder pun sering dialaminya. Tapi perasaan itu justru menyadarkannya bahwa ia harus menerima Kevin bagaimanapun ia adanya. “Sikap menerima adalah kunci ketabahan bagi setiap orangtua yang memiliki anak autis,” jelas Nia. Sikap yang pada awalnya sulit ia lakukan.
“Kalau bukan orangtua yang berusaha mendekatkan diri, maka semakin sulit bagi penderita autis untuk hidup berkembang seperti yang diharapkan,” katanya.
Nia pun mengaku semakin sadar akan makna cinta sesungguhnya. Juga semakin sadar bahwa anak adalah titipan Tuhan yang bagaimanapun ia adanya haruslah dijaga dan dibesarkan dengan ikhlas. Bahkan dengan rasa syukur.
“Jika Kevin tidak menderita autis, mungkin cinta saya tidak sebesar ini. Jika Kevin tumbuh normal, mungkin saya tidak akan merasakan kebahagiaan yang pasti tidak dirasakan orangtua lain,” tambahnya.
Kebahagiaan orangtua yang memiliki anak autis seperti Nia memang berbeda dengan kebahagiaan yang dirasakan oleh orangtua yang memiliki anak normal.
Nia mengaku akan bahagia jika misalanya, Kevin menunjukkan ekspresinya ketika dipanggil oleh ibunya; jika ia berbicara dengan baik atau ketika anaknya itu mampu melakukan hal lain yang bisa dilakukan anak normal, meski tak banyak.
“Mungkin kedengaran biasa saja bagi orang lain. Tapi itulah kebagiaan saya sebagai orang tua yang memiliki anak pengidap autis,” katanya dengan raut wajah sedih.
Pengalaman itu sekaligus membuat ia semakin sayang kepada Kevin. “Saya dan suami akan merawatnya semampu kami. Apa pun akan kami lakukan demi Kevin. Sebab inilah tanggungjawab kami sebagai orangtua.” Tak terasa matanya tampak basah memerah.

Sumber: www.Infoanak.com

Belajar Dari Si Kecil Yang Autis

Belum lama ini, saya membongkar file-file yang ada di MP4 yang selama ini saya gunakan. Sudah cukup banyak file rekaman suara yang saya simpan di sini.

ukan rekaman suara saya saat bernyanyi tapi suara rekaman wawancara saya dengan beberapa narasumber terkait klien yang sedang ditangani. Sebagian besar saya putar ulang tapi tidak sampai selesai. Beberapa rekaman yang sudah tidak diperlukan lagi segera saya delete agar tidak menambah penuh kapasitas.

Saya terdiam lama ketika mendengarkan sebuah rekaman hasil wawancara saya dengan seorang guru SD di sekolah inklusif sekitar awal tahun 2009. Seorang perempuan paruh baya yang menangani murid kelas satu sebanyak 42 orang dengan tiga orang anak autis di dalamnya. Tanpa guru pendamping atau guru berkebutuhan khusus yang bisa hadir setiap harinya. Kesan saya untuknya: ia begitu menikmati pekerjaannya sebagai pendidik.

Sebelumnya, saya menghampiri Erzam, anak laki-laki berkebutuhan khusus yang didiagnosa autis. Usianya sudah 8 tahun, tapi masih duduk di kelas 1. Tubuhnya kecil, bola matanya selalu bergerak dan tidak fokus, rambutnya tegak lurus, dan kulitnya kering.

Saya mencoba menarik perhatiannya, tapi tentu bukan hal yang mudah untuk menghadapi anak autis, terutama saya yang memang jarang berhadapan dengan kasus autis. Erzam sibuk mengusap-ngusap hidungnya, bertepuk tangan, dan tak menghiraukan teman-teman di sekelilingnya. Saya menyapanya, tapi lagi-lagi saya dicuekin.

Pelan, saya memegang tangannya, tapi masih tetap belum ada respon. Seorang teman kelas Erzam menyodorkan buku dan pensil kepunyaan Erzam pada saya. “Ini, Bu, punyanya Ejam,”, begitu ucap si anak. Saya mengambil pensil dan mencoba menggenggamkannya di tangan Erzam.

Ia mengambil pensil itu lalu memutar-mutar pensil itu di ujung tangannya. Saya menuntun tangannya untuk menuliskan sesuatu sambil bergumam, “Ayo, coba kita nulis nama Erzam yuk..” Tapi hanya beberapa saat, Erzam kembali tidak fokus dan berulang-ulang mengusap hidungnya. Kemudian ia bergumam sendiri, lalu bertepuk tangan.

Tanpa saya sadari, ada butiran hangat menyergap bola mata saya. Tak kuasa saya membayangkan perasaan orang tua yang memiliki anak dengan diagnosa autis, betapa mereka melakukan banyak perjuangan untuk dapat membesarkan dan merawat anaknya.

Haru saya kembali bertumpuk saat berbincang dengan guru kelas Erzam. Betapa seorang anak yang disebut autis menjadi sosok yang menyenangkan bagi guru dan teman-temannya.

“kalau kita bernyanyi di kelas, saya selalu panggil nama Erzam dan minta teman-temannya bertepuk tangan untuknya. Erzam kelihatan senang sekali dan langsung maju ke depan kelas. Anaknya baik, tidak suka mengganggu temannya, tapi saya yang tidak punya waktu untuk memberikan perhatian khusus padanya dari sekian murid saya di kelas ini. ingin sekali saya memberikan perhatian lebih.”

“Apakah teman-teman senang dan bisa menerima kehadiran Erzam, bu?” Tanya itu saya sampaikan mengingat erzam adalah anak berkebutuhan khusus dan belum tentu dapat berkomunikasi dengan baik kepada teman-temannya.

“Oh, teman-temannya senang dengan Erzam, karena dia baik. Walaupun duduk di belakang, tapi tidak ada teman yang menjauhinya. Meskipun memang tidak bisa bermain bersama, tapi anak-anak bisa menerima Erzam.” Saya mengakui hal itu sejak saya lihat beberapa teman Erzam sibuk mencarikan buku dan pensil di dalam tas Erzam saat saya mencarinya. Saya mempercayainya ketika beberapa anak laki-laki dengan lembutnya menyapa pundak dan pipi Erzam sambil tersenyum.

Ibu guru itu melanjutkan ceritanya. “Erzam sebenarnya memiliki kemampuan intelegensi yang baik. Ia bisa menghafal sesuatu dengan cepat bahkan lebih baik dibandingkan teman sekelasnya yang masih belum bisa membaca.” Saat istirahat, saya balik menghampiri Erzam yang berkumpul bersama pengasuh dan adiknya di luar kelas.

Adiknya justru sudah duduk di kelas 2 saat ini. beberapa ibu orang tua murid kelas 1 juga sedang berkumpul sambil menyuapkan makanan pada anaknya. Saya pun ikut duduk melantai bersama mereka. Rupanya ibu-ibu itu senang mencandai Erzam. Mereka bertanya tentang hafalan Erzam dalam kosakata bahasa inggris.

“Erzam mah anaknya pintar, cuma susah aja diajak komunikasi. Dia mah bacanya udah lancar, anak saya masih susah bacanya.” Seorang ibu mengagumi Erzam sambil tersenyum. Ibu-ibu lain cuma tersenyum dan menyapa Erzam.

Dalam hati, saya menghargai orang tua yang sudah dapat menerima sistem inklusif di sekolah, dimana anak-anak mereka yang normal memiliki teman sekelas yang berkebutuhan khusus dan mungkin sedikit berbeda dengan mereka. Karena di luar sana, ada banyak orang tua yang enggan jika anaknya digabungkan dengan anak berkebutuhan khusus seperti autis.

Saya sempat menyeletuk pada Rio, adik Erzam yang kini lebih dulu duduk di kelas 2. “Rio sayang ngga sama kak Erzam?”. Rio menggangguk dan berkata “sayang…” sambil sedikit tersenyum dan mengusap kepala kakaknya. Lagi-lagi hati saya bergemuruh mendengar komentar polos itu.


Wah, saya bahkan masih ingat detil kejadian hari itu, dimana saya mendapat banyak pelajaran dari seorang anak kecil yang didiagnosa autis. Anak yang begitu sulit untuk menjalin komunikasi dengan orang lain, dapat menjadi sosok yang menyenangkan bagi gurunya, teman yang diterima bagi sebayanya, dan disayang oleh adiknya. Betapa keterbatasan yang ia miliki tak mengurangi kuantitas bahagia yang dapat ia bagi kepada orang lain.

Semua orang tumbuh dan berkembang dengan cara yang berbeda dan adalah menjadi tidak tepat bagi kita untuk memaksakan orang lain bersikap, berbuat, dan menilai sesuatu seperti apa yang kita lakukan. Layaknya Erzam, mungkin ia tidak dapat mengikuti ritme kehidupan sosial seperti teman sebayanya, tapi ia punya cara sendiri untuk dicintai orang lain dan melengkungkan senyum bagi orang-orang di sekitarnya.

Kita pun berhak punya cara sendiri untuk menjalani hidup ini dan tentunya tidak perlu egois untuk berharap bahwa orang pun akan berbuat sama seperti kita. Ada banyak cara untuk menjadi bahagia, sama seperti halnya ada banyak cara untuk menjadi bermanfaat bagi orang lain.

Saya memutuskan untuk tetap menyimpan rekaman wawancara tentang Erzam di MP4 itu. Suatu hari mungkin saya butuh untuk mendengar ulang rekaman itu lagi, supaya saya tetap bisa ingat bahwa kita harus belajar menerima diri kita dan orang lain apa adanya.

Sumber: http://www.eramuslim.com/oase-iman/belajar-dari-si-kecil-yang-autis.htm

Senin, 10 Mei 2010

Mujizat

Kebetulan saya punya seorang teman yang mempunyai seorang anak penyandang cacat (kerusakan di otak sejak lahir).
Dia cerita bahwa seringkali ditawarkan mujizat kesembuhan dan dibilang bahwa anaknya nggak sembuh2 karena dia kurang beriman.
Sering diajak untuk ke Tiberias, ke acara2 penyembuhan dsb yang katanya banyak terjadi mujizat penyembuhan di sana.
Tapi temanku ini cerita, meski pernah merasa gereja Katholik sepertinya kurang memberikan perhatian pada para penyandang cacat (mungkin di Indonesia? karena kalau di luar negeri kurang tahu ya...), dia tidak punya keinginan untuk pindah dari iman Katholiknya.
Dia memilih untuk tidak lari dari gereja Katholik, tapi mencoba untuk memberikan masukan2 mengenai penyandang cacat dan permasalahannya bagi gereja.
Karena menurutnya, bukan ajaran Katholiknya yang salah tapi ketidaktahuan orang2 di dalam gereja Katholik mengenai permasalahan penyandang cacat yang menjadikan kekurangan itu.
Maka sebagai orang Katholik, dia merasa bahwa dia tidak boleh hanya mengeluh pada gereja, tapi mencoba menyumbangkan apa yang bisa dia berikan bagi kebaikan gereja.
Wah..saya salut dengan pandangannya ini...karena mungkin banyak juga ya yang begitu merasa kecewa dengan gereja Katholik lalu begitu saja meninggalkannya.
(Dia yang menulis surat yang pernah saya post di thread Penggalangan Dana Untuk Hari Internasional Penyandang Cacat 2009).

Menurutnya, menjadi Katholik selama ini justru telah memberikan dia banyak kekuatan dan penghiburan.
Juga sebagai seorang ibu di kala lagi down ketika anaknya sedang menderita (entah itu karena menahan sakit ataupun karena perlakuan2 orang yang seringkali kurang menyenangkan terhadap anaknya), dia bisa selalu curhat ke Bunda Maria untuk menguatkan hatinya,
bisa mencontoh Bunda Maria yang mau tetap berdiri tegak mendampingi Yesus sampai di bawah kaki salib.
Katanya, tidak ada contoh ibu yang begitu sempurna seperti Bunda Maria, yang maudan bisa mendampingi Yesus dalam penderitaan yang begitu hebat.
Jadi, katanya, ia ingin juga bisa menjadi seperti Bunda Maria yang setia mendampingi anaknya, bagimanapun penderitaan yang harus dilaluinya.
Karena menurutnya, melalui tantangan2 dalam mendampingi anaknya itulah dia sepertinya sedang diajak belajar untuk mengikuti Yesus.

Kata temanku itu, melalui pengalaman sering mendapat tawaran/iming2 mujizat, ia merasa bahwa mujizat sepertinya seringkali disalahartikan karena bukan lagi dilihat sebagai kuasa Tuhan tapi justru dilihat/digunakan sebagai "alat" untuk menunjukkan atau memamerkan "kuasa" manusia.
Mengapa mujizat seringkali hanya dihubungkan dengan sesuatu yang "wah" atau yang "spektakuler" di mata manusia? padahal mujizat itu bisa terjadi setiap hari dan dalam hal2 yang begitu "sederhana"...begitu katanya.

Dia sharing catatan hariannya seperti di bawah ini :


Mukjizat

Barusan, di milis parents support group,
kami membahas sebuah kasus yang cukup heboh...
Kami sedang seru membicarakan sebuah peristiwa "ajaib".
Seorang anak perempuan yang lahir tanpa otak
merayakan ulangtahunnya yang ke 9. (maksudnya, ia hanya
punya batang otak saja, bagian otak yang ada syarafnya...
yang bentuknya melingkar-lingkar seperti usus itu...tidak ada)

Secara medis, anak itu tidak mungkin bisa hidup.
Ternyata, ia memang hidup...bahkan sekarang 9 tahun.
Tapi... ya seperti boneka saja karena tidak dapat merasakan dan melakukan apa-apa.
Tapi ibunya tetap merawat anak ini...dimandikan, disuapi, didandani
dengan cantik..rambutnya diberi pita...dibedaki dan diajak bicara...
pokoknya layaknya anak yang memang benar "hidup".
Orang-orang semua membicarakan "keajaiban' yang terjadi pada anak ini.

Ibu itu lalu membagi cerita pada kami, apa yang ia rasakan....
Sebagai orangtuanya, ia sebetulnya merasa risi dan sedih dengan semua hiruk pikuk itu.
Katanya, sejak berita itu masuk di koran, banyak yang datang berkunjung
hanya karena ingin melihat keajaiban itu.
Orang-orang kini seakan-akan menantikan akhir sebuah cerita.
Apakah akan berakhir dengan "happy ending" atau tidak.
Kata ibu itu...anakku sekarang dijadikan orang sebagai
"barang hiburan" dan "taruhan"....orang-orang seakan bertaruh...
apakah anak saya akan terus hidup atau mati setelah 9 tahun ini.

Seorang anggota parents support sempat menanyakan apakah ibu itu
mengharapkan agar suatu mukjizat bisa terjadi.
Tapi ibu itu berkata kepada kami, "Tidakkah kalian melihat?
Mukjizat itu telah terjadi.
Mukjizat itu terjadi ketika saya memutuskan untuk tetap merawat anak saya ini.
Bukankah itu suatu mukjizat? Seorang yang lemah seperti saya ini bisa
mengambil keputusan tersebut, menjalaninya hingga 9 tahun... sehari demi sehari.
Saya sendiri tidak mengerti bagaimana saya bisa melakukan semua ini.
Bukankah ini suatu mukjizat...bahwa saya bisa sekuat ini?"

Lalu, kata-kata terakhir ibu itu kurang lebih begini...
Orang sering melihat bahwa mukjizat adalah peristiwa ketika keinginan
manusia dipenuhi atau dikabulkan oleh Tuhan.
Ada orang yang lumpuh misalnya....
orang berdoa agar Tuhan bisa membuat orang itu berjalan lagi.
Dan tiba-tiba orang itu bisa berjalan.
Maka...mereka bilang mukjizat telah terjadi.

Sebenarnya, yang terjadi adalah Tuhan menyuruh orang itu berjalan...
dan orang lumpuh itu melaksanakan apa yang Tuhan suruh itu.
Maka, terjadilah mukjizat.
Jangan pernah berpikir bahwa mukjizat itu, dimana orang lumpuh itu bisa
berjalan terjadi karena Tuhan melaksanakan keinginan atau permintaan manusia.
Siapakah kita ini...bisa menyuruh Tuhan untuk menuruti kehendak
atau keinginan kita itu?

Tidak...bagi saya, yang disebut mukjizat itu adalah ketika manusia mau
melaksanakan kehendak Tuhan...
bukan kalau Tuhan mengabulkan keinginan manusia.

Karena itu...seperti saat ini, orang begitu sibuk mencari-cari apa yang mereka sebut "mukjizat".
Mereka sekarang ingin mencarinya pada anak saya...
Mereka tidak menyadari...bahwa mukjizat itu sebenarnya sudah ada di depan mata mereka...
Anda mau melihat sebuah mukjizat?
Lihatlah dan pandanglah saya...dan kamu akan menemukan mukjizat Tuhan ada di situ....
Karena, yang kamu lihat sekarang ini...apa yang saya lakukan ini...
sungguh adalah pekerjaan Tuhan....bukan pekerjaan saya.

Seandainya anak saya tidak bisa bertahan lagi....apakah itu berarti tidak terjadi mukjizat?
Saya katakan sekali lagi...mukjizat itu telah terjadi!
Ketika Tuhan menyuruh saya....
ketika saya mau melaksanakannya apa yang Tuhan suruh itu yaitu memelihara, merawat dan memberikan cinta saya pada anak saya yang "ajaib" ini...
mukjizat itu telah terjadi...

sumber:www.google.co.id

Ketika Anak Autis Menginjak Remaja

Ada kalanya orangtua tidak sadar anak penyandang autis bakal memasuki masa remaja penuh gejolak. Jika tidak dipersiapkan dengan baik akan muncul banyak masalah karena ketidakmampuan interaksi sosial pada diri anak.

Autis diklasifikasikan sebagai ketidaknormalan perkembangan otak yang menyebabkan hambatan interaksi sosial, kemampuan komunikasi, pola kesukaan, dan pola sikap yang tidak biasa, seperti tindakan sama yang berulang-ulang dan keterikatan berlebihan pada benda atau obyek tertentu. Autis empat kali lebih banyak menyerang anak laki-laki daripada anak perempuan.

Karena dianggap anak tidak bisa berinteraksi atau tidak peduli jika diajak bicara, orangtua sering kali enggan memberi informasi kepada anaknya yang autis tentang perubahan yang akan terjadi bila anak menginjak usia remaja.

Padahal, informasi ini penting agar anak autis paham bahwa ketika remaja beberapa bagian tubuhnya akan berubah. Emosinya juga semakin menggebu dan hasrat seksualnya mulai muncul.

”Anak autis itu seperti anak kecil. Meskipun kelihatannya cuek, ia bisa menyerap informasi yang dia terima. Soal cepat atau tidaknya informasi itu terserap, tergantung ketertarikannya pada persoalan tersebut,” kata Dyah Puspita (45), ibu seorang anak autis yang aktif di Yayasan Autisma Indonesia dan ikut mengelola Mandiga, sekolah bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Sekolah ini berlokasi di Rawamangun, Jakarta Timur.

Pendidikan seks

Ketiadaan informasi tentang perubahan yang akan dialami bisa membuat anak autis cemas dan takut terhadap tubuhnya sendiri. Pada tingkat lebih parah, kecemasan itu bisa menyebabkan anak menyakiti diri sendiri.

Pengetahuan itu diperoleh Ita, sapaan akrab Dyah Puspita, dari berbagai literatur yang dia baca dan juga pengalaman orangtua yang memiliki anak remaja autis. Karena itu, sejak dini Ita sudah mengajarkan pendidikan seks kepada Ikhsan Priatama (18), anak semata wayangnya, yang menyandang autis.

Melalui gambar manusia sejak bayi, anak-anak hingga dewasa, Ikhsan diajar beberapa bagian tubuhnya akan mengalami perubahan, seperti tumbuh rambut di bagian alat vital, tumbuh kumis, Proxy-Connection: keep-alive Cache-Control: max-age=0 au jenggot.

Ikhsan juga diajar suaranya akan berubah menjadi besar seperti ayahnya yang kini hidup berpisah dari Ikhsan dan ibunya. Pemahaman itu tidak langsung bisa diterima Ikhsan sehingga harus dilakukan berulang-ulang.

”Ikhsan tidak lagi kaget ketika tubuhnya menjadi bertambah tinggi, suaranya berubah, atau tumbuh rambut di sana-sini,” kata Ita. Meski begitu, sampai sekarang Ikhsan tidak suka melihat rambut di tangannya.

Bila tumbuh, Ikhsan bergegas mencukur habis rambut itu. Kata Ita, Ikhsan lebih suka tangannya mulus seperti anak-anak.

Anak autis juga perlu diarahkan untuk mengelola hasrat seksual. Karena tidak sadar lingkungan, anak autis yang tidak mendapat pengarahan bisa menyalurkan hasrat seksualnya di sembarang tempat.

Gayatri Pamoedji, ibu Ananda (18) yang juga menyandang autis dan tinggal di Perth, Australia, tidak melarang Ananda bermasturbasi ketika hasrat seksualnya muncul. ”Anak autis juga punya hak sama terhadap hasrat seksualnya seperti anak lain,” kata Gayatri yang mendirikan komunitas Masyarakat Peduli Autisme Indonesia (Mpati).

Hanya saja, orangtua perlu mengarahkan agar anaknya menyalurkan libidonya di tempat ”aman”. Kepada Ananda, Gayatri mengajarkan, jika hasrat seksualnya muncul, Ananda tidak boleh memegang penisnya di depan umum dan harus melakukan di dalam kamar sendiri setelah mengunci pintu.

”Bila seprai kotor, ia punya tanggung jawab membersihkan dan mengganti seprainya sendiri,” ungkap Gayatri. Ia memberi pendidikan seks kepada anaknya sejak Ananda berusia delapan tahun. Gayatri mengomunikasikan ”aturan” itu dengan gambar-gambar dan kata-kata yang mudah dipahami Ananda.

Ajarkan komunikasi

Untuk memberikan pemahaman kepada anak autis, kata Ita, langkah besar yang harus dilakukan orangtua adalah mengajarkan agar anaknya bisa berkomunikasi lebih dulu. Sayangnya, banyak orangtua ”memaksa” anaknya ikut terapi wicara karena ada anggapan bahasa verbal dianggap sebagai satu-satunya bentuk komunikasi.

”Komunikasi tidak harus dilakukan dengan berbicara. Banyak media lain bisa digunakan untuk komunikasi, seperti tulisan atau gambar,” kata Ita. Dengan metode gambar dan membaca global, yakni mencocokkan tulisan dengan benda nyata, Ikhsan bisa lancar membaca dan menulis. Kini mereka berkomunikasi dengan pesan singkat di telepon genggam atau kartu gambar.

Setelah bisa berkomunikasi, kata Ita, anak perlu disentil kesadaran sosialnya. Caranya, sama seperti mendidik anak pada umumnya, yaitu menerapkan disiplin dan konsekuensi. Anak autis diajarkan hubungan sebab-akibat dari perilaku mereka yang merugikan orang lain. Tentunya anak perlu diberi alasan kenapa mereka mendapat konsekuensi tersebut.

Untuk menegakkan disiplin, misalnya, Felicia (42), ibu yang bekerja swasta di Jakarta ini, tidak mau mengajak pergi Sultan (15), anaknya, jika ia masih suka marah-marah di depan umum. Belajar dari konsekuensi semacam itu, Sultan kini sudah lebih tertib bila diajak bepergian.

Dengan komunikasi, Ita juga bisa meredakan emosi Ikhsan. Anak autis biasanya memiliki emosi tinggi karena mereka tidak mampu mengungkapkan apa yang dia inginkan sehingga menjadi frustrasi.[\]

sumber: www.google.co.id

Upaya Dan Rejeki

Upayaku maksimal..

Rejekiku….

Saya orang yang senang sekali menggunakan akal dalam menganalisa masalah… (duuh sombong sekali kedengarannya ya??? Astaghfirullah) Untuk melakukan sesuatu, saya senang sekali berhitung (hmm seperti pedagang???)

jika saya belajar bab 1, maka soal ulangan yang mengacu pada bab 1 akan dapat kukerjakan.

Jika saya bekerja 10 jam sehari, maka saya akan mendapatkan uang minimal Rp…

Jika saya menjaga kesehatan dengan baik, saya tak akan sakit..


Aduh…. apa saya kelihatannya demikian pintar???? Atau malah sok tahu??? (sepertinya yang terakhir yang paling benar ya?) karena selalu bermain dengan perhitungan, unsur probabilitas diperkecil..Ya Allah betapa sombongnya aku…

Sampailah saya disebuah titik kejadian. Mengingat masa depan putri cantikku, Aini, saya menghiba.., memohon pada institusi pendidikan, untuk memahami Aini. Meminta para Pendidik, Ahli Pedagog, Kementrian Pendidikan, Aparat pemerintah dan orang-orang hebat lainnya, untuk melihat Anak Berkebutuhan Khusus sebagai sebuah individu yang utuh. Yang tidak dipandang sebagai objek pendidikan. Meminta agar dihargai upaya yang dilakukan para ABK ini untuk meraih kesejajaran dengan anak normal. (walaupun hasil nyatanya, tak dipungkiri lagi sangat jauh dari standart normal). Berhari-hari saya menyertakan harapan ini dalam doa-doaku. Menunggu keajaiban terbukanya hati para bapak dan ibu yang terhormat.

Suatu saat,.. saya terperangah. Teringat pada seorang Ustadz yang memberikan wejangan. “Allah tak melihat hasil akhir, Allah akan melihat perjuangan kita dalam penilaian” kemudian.. adapula “AKU tergantung pada sangka hambaKU“ satu lagi “Sejatinya Allah tak pernah memberikan kasih yang berbeda pada umat manusia. Yang baik, yang Jahat, yang BerIman, yang Kafir, yang berkulit hitam, yang berkulit putih dan semua kriteria lain.. rata tanpa pilih kasih, kita semua akan mendapatkan hak dan jatah yang sama. Misalnya untuk menghirup Oksigen, untuk melihat hijaunya daun dan sejuta karunia yang lain”. ya Allah ampuni saya ya Allah. Satu lagi ungkapan kebodohanku terlihat didepan mata. Apa yang terjadi denganku selama ini??? Kenapa saya tak mampu melihat “korelasi” antara ucapanku dan perbuatananku???

Yah.. saya dengan segala kebodohanku, akhirnya tersadar.

Allah adalah Dzat yang Maha.. Maha segalaNYA. Maha atas segala apa yang ada di Dunia bahkan Akhirat. Tentu akan sangat mudah bagiNYA untuk melakukan sebuah evaluasi terus menerus pada apa yang kulakukan. Dan pada semua umat manusia, satu demi satu teliti dan terperinci. Subhanallah. Untuk itulah hasil “rapot-an” kita berbeda. Sangat berbeda pada setiap manusia (subhanallah) ini terkait dengan jumlah manusia yang tak terhitung.

Jadi sayapun menyadari (alhamdulillah ya Allah) sebenarnya, apa yang kita lakukan tidaklah mengakibatkan Allah akan memberikan kenikmatan lebih dari sahabat yang lain jika dan hanya jika tindakan kita berada pada saat dan situasi yang salah.. (aduh maaf agak berbelit ya?) Ini cocok dengan sebuah penyampaian dari Bp Mario Teguh. Beliau berkata, hari itu, beliau mendapat sebuah voucher menginap gratis 2 malam dari sebuah hotel. Beliau simpan voucher tersebut di kantong bajunya dan berangkatlah beliau menuju sebuah seminar, dimana beliau menjadi pembicara disana. Diatas podium, beliau berencanauntuk memberikan voucher ini, sebagai surprise gift, pada penanya pertamanya. Forum tanya jawabpun dibuka setelah wejangannya. Tak satupun bertanya. Ditunggunya.. 5 menit, 10 menit, 15 menit, hingga akhir masa tanya jawab, tak ada satupun yang bertanya!!! (hah???) berlalulah kesempatan untuk mendapatkan voucher menginap 2 malam gratis. (waaaaaak) Yang menggodaku adalah pertanyaan, kenapa Bp Mario Teguh tidah menyampaikan keinginan untuk memberikan voucher ini disampaikan pada forum, saya yakin jika ini beliau lakukan pasti akan begitu banyak yang bertanya.

Hubungannya apa?

Dari semua informasi itu, saya tersadar. Bahwa selama ini saya yang salah. Dengan kemampuanku menganalisa persoalan (sekali lagi ampuni saya ya Allah, saya sangat sombong), saya suka sekali MEMBATASI yang merasa tahu apa yang akan saya peroleh dengan apa yang saya lakukan. Bagaimana jika ternyata dengan sifat kasih dan sayangNYA, Allah yang Maha Penyayang, menganggap saya sebagai sosok yang layak untuk mendapatkan nilai 10, berlawanan dengan kenyataan nilai max saya hanya 7, karena walaupun saya telah belajar selama seminggu tanpa istirahat, saya tak punya kemampuan untuk memecahkan soal yang ada di kertas ujian. Nilai 7 adalah “nilai karangan” saya, Nilai yang saya kira layak untukku. Sedang nilai 10 adalah nilai nyata dari Allah. Tapi karena saya selalu berkeyakinan bahwa nilai saya hanya 7, maka jadilah nilai 7 itu yang ada di kertas ulangan saya.

Nilai 10 bisa jadi ada diatas kertas ulangan saya, jika saya dengan segala kepasrahan saya, setelah belajar selama seminggu tanpa istirahat, saya berpasrah.. melepaskan penilaian ini pada Allah untuk memberikan nilai yang pantas untukku. Sama dengan para penanya, saya tak berani melakukan sebuah tindakan nyata (bertanya). Saya sibuk dengan diri saya sendiri. Membuat jawaban sendiri akan doa-doa yang dipohonkan. Tak mau melihat bahwa Allah telah menyiapkan sebuah “surprise gift” yang sama sekali tidak saya sangka sangka. Akhirnya.. sama dengan para penanya yang tak berani bertanya, saya pun tak mendapatkan.

Atau, ini kasus yang sama (untukku), bagaimana sibuknya saya (sombong ya) merasa lebih tahu dariNYA. (duuh) jika seorang pembantu datang kepadaku dan mengajukan sebuah nilai rupiah fantastis untuk upahnya selama sebulan. Saya bisa jadi akan menjadi tak nyaman. Akhirnya ada 2 sikap yang mungkin akan saya lakukan. Pertama saya akan katakan padanya untuk tidak dapat menerima, karena syarat yang diajukannya terlalu tinggi untuk lingkungan dimana saya tinggal, disisi lain saya belum pernah tahu bagaimana ia bekerja. Yang kedua, bisa jadi saya menerimanya bekerja, tapi saat itu saya katakan padanya, dengan gaji fantastis yang dia minta, selayaknya jika ia bekerja dengan hasil yang fantastis juga. (Ooooo) Berbeda, jika yang datang adalah seorang perempuan yang dengan rendah hati berkata, ibu, tolong, ibu lihat kerja saya selama sebulan, jika ibu tidak cocok, saya rela tidak ibu ijinkan bekerja disini. Tetapi jika ternyata ibu puas pada hasil kerja saya, saya percaya ibu cukup tahu berapa besar gaji yang tepat untuk saya. Duuuuhh (ini pernah terjadi, dan saya memang berikan dia gaji 2 x lipat dari standrat yang ada di lingkunganku tinggal)

Kembali lagi.., dengan pemikiran yang demikian. Saya berusaha untuk merubah pola pemikiran saya. Tak lagi mau untuk “memplot” hasil.

Saya akan tetap bekerja dengan seluruh daya yang kumiliki.. Totalku berpasrah.. Ahhh ya.. ini yang tadi lewat ucapan sang Ustadz di Radio Roja, disebut sebagai difinisi Qona-ah. Subhanallah. Kadang cara Allah memberiku pemahaman sangatlah berliku (Ahh apa ini juga bukan karena pemikiranku yang berliku ya??? Allah telah memberikan sudut-sudut cerah dengan cahayaNYA, tapi saya masih saja berputar-putar dengan bermacam gaya, tak mampu melihat kilau cahayaNYA, apalagi menghampiri. Ampuni saya ya Allah, sungguh ini sifat khas manusia…

sumber: www.cahayamuslimah.com

Keluarga===METODE GERAK BIBIR ; Ketika Ifana Berkata ’Manis’

“MANIS....” ucap Ifana Nafisa Saraswati (6) saat lidahnya mencecap minuman yang disodorkan guru pembimbingnya, Eka. Meski ucapan kata ‘manis’ dari mulutnya tidak terdengar jelas, namun dari gerak bibir Ifana siapapun yang melihat, gadis kecil tersebut memang mengatakan kata ‘manis’. Ifana merupakan satu dari 94 siswa dari Sekolah Luar Biasa Bagian B (tunarungu) Karnnamanohara Yogyakarta yang mengikuti outbond di Desa Wisata Sambi, Pakembinangun Sleman Yogyakarta, belum lama ini. “Kegiatan ini untuk melatih indera perasa siswa agar mereka bisa membedakan rasa makanan,” kata Eka, pembimbing yang juga tunarungu. Rohadi (39) asal Solo, ayah Ifana mengatakan setelah 3 tahun mengikuti pendidikan di Karnnamanohara anaknya mengalami kemajuan dalam berbagai segi. Mulai dari aktivitas menulis, membaca, pengucapan kata serta kemampuan berinteraksi dengan orang lain meningkat pesat. Termasuk rasa ingin tahu yang besar. Hal senada diungkapkan Sugeng Budi Setyo Purnomo yang sejak tahun 2002 menjadi Ketua Komite Sekolah SLB Karnnamanohara. Anaknya, Nana (9) berusia 2 tahun 6 bulan saat ia masukkan ke SLB Karnnamanohara. “Sekarang anak saya bisa berkonsentrasi, lancar menulis, bahkan dengan rasa ingin tahunya yang besar ia hobi main komputer,” kata pegawai di Dinkes Kabupaten Sleman. Sugeng Budi yakin lewat metode gerak bibir yang dikembangkan SLB Karnnamanohara seorang tunarungu tidak terbatas bisa berkomunikasi dengan sesama tunarungu saja tapi juga dengan masyarakat umum lainnya. Sehingga ia yakin anaknya kelak dapat hidup mandiri. Kepala Sekolah SLB Karnnamanohara Tantan Rusandi SPd mengungkapkan, meski belum lama berdiri, namun minat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di SLB Karnnamanohara sangat besar. Bahkan orangtua dari luar kota seperti Kalimantan, Bali dan lainnya rela pindah ke Yogyakarta agar anak mereka bisa belajar di SLB yang siswanya khusus tunarungu. Karena keterbatasan infrastruktur sekolah, beberapa calon siswa terpaksa masuk daftar tunggu. “Di SLB Karnnamanohara, sistem mengajarnya bukan dengan bahasa isyarat namun dengan cara lisan atau oral communication lewat gerak bibir, idealnya anak tunarungu masuk SLB pada usia 2 tahun” kata Tantan. Dukungan dari Dinas Pendidikan Propinsi DIY diakui Tantan sangat besar terutama dalam bentuk bantuan infrastruktur maupun beasiswa kepada siswa. Ke depan, ia berharap peran serta dari Dinas Pendidikan Propinsi DIY masih terus berlanjut. Tantan menambahkan, outbond sangat berguna bagi siswa dan bertujuan untuk melatih kemandirian, melatih ketangkasan, melatih ketrampilan, menambah wawasan dan meningkatkan kemampuan dan pengetahuan untuk bekerja sama dan bersosialisasi dengan teman dan alam sekitar dan meningkatkan kemampuan hidup anak di lingkungan nyata. Pengawas Sekolah Luar Biasa Dinas Pendidikan Propinsi DIY Al Mustofa MA mengatakan, saat ini dari sekitar 60 SLB yang ada di wilayah DIY memang baru SLB B Karnnamanohara yang secara khusus hanya menampung siswa yang berkebutuhan khusus tunarungu. SLB yang lain siswanya masih bercampur dengan siswa yang berkebutuhan khusus lain. (Agung P)-m

sumber: http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=156636&actmenu=45

WENI dan HAK PENDIDIKAN yang TAK TERPENUHI

Weni, masih berumur 6 tahun ketika diantarkan oleh seorang perempuan muda bernama Idar ke Panti Asuhan Puteri Aisyiah Kuantan Singingi, sebuah panti asuhan puteri milik Pimpinan Daerah Aisyiah Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Ia merupakan satu dari sekian anak yang akan menjadi anak asuh baru di panti asuhan tersebut. Weni berasal dari Pantai Lubuk Ramo, sebuah daerah terpencil jauh di pedalaman Kecamatan Kuantan Mudik, Kabupaten Kuantan Singingi. Berdasarkan keterangan perempuan muda yang mengantarnya, Weni terbuang dan diterlantarkan oleh keluarga. Ibunya menikah lagi dengan laki-laki lain dan kemudian tak mempedulikan anaknya. Weni dititipkan di rumah neneknya, namun ia tak selalu tinggal bersama neneknya, tapi juga tinggal dengan keluarga lain yang bersedia “merawatnya” (berdasarkan pengakuan Weni, keluarga tersebut sering mempekerjakan dia, mencari kayu di hutan, mengerjakan pekerjaan rumah, dsb.). Ayah Weni, ketika itu tidak ada yang tahu siapa ayah kandungnya, perempuan muda yang mengantar tak mengetahui siapa ayahnya. Meski berdasarkan perkembangan terakhir, pada awal tahun 2010, pengasuh panti berhasil menemukan ayah kandungnya dan mempertemukan Weni dengan ayahnya. Itu terjadi setelah dua tahun Weni berada di Panti Asuhan Puteri Aisyiah.

Pertemuanku pertama kali dengan Weni terjadi pada bulan September 2008, di penghujung puasa menjelang Hari Raya Idul Fitri. Ia tinggal dirumahku karena menolak untuk pulang merayakan Idul Fitri bersama keluarganya. Karena ia tak mungkin tinggal sendirian di panti asuhan, maka oleh orangtuaku yang pengasuh panti, ia dibawa kerumah. Bertemu Weni, seolah bertemu dengan model anak-anak bermasalah dalam contoh kasus – contoh kasus kuliah psikologi pendidikan ataupun psikologi perkembangan. Anak ini mengalami banyak sekali masalah. Ia sangat pelupa, lupa dengan nama orang yang baru dikenalkan padanya, lupa pada nama benda yang baru ia ketahui, bahkan ia lupa dengan apa yang baru saja ia katakan. Jika Weni diminta untuk melakukan sesuatu dengan kalimat perintah yang mungkin rumit baginya, ia menjadi benar-benar bingung untuk melakukannya. Dan yang paling khas, anak ini banyak sekali bicara dan tak henti-henti. Ia selalu mengajak oranglain berbicara dengan mengajukan sangat banyak pertanyaan, atau ia akan bercerita sendiri, jika oranglain bosan, ia tetap akan bicara sendiri. Selain itu, Weni selalu bergerak tak pernah diam. Ia selalu bergerak kesana-kemari, tak pernah bisa fokus dalam melakukan sesuatu. Pernah satu kali aku mengajarkan satu gerakan senam padanya, hanya sebentar, kemudian ia berpindah melakukan aktivitas lain lagi. Sulit untuk mempertahankan perhatiannya pada sesuatu. Dan ia sangat pembosan.

Awal berada di panti asuhan, semua anak usia sekolah didaftarkan untuk masuk ke sekolah-sekolah sesuai dengan jenjang mereka. Tak terkecuali dengan Weni, ia didaftarkan masuk di kelas 1 sebuah SD negeri. Namun, hanya beberapa hari Weni bersekolah, pihak sekolah menyatakan tak sanggup mendidik Weni dan mengembalikan Weni pada pengasuh panti. Menurut pihak sekolah, perilaku Weni berada diluar kemampuan mereka untuk mendidik seorang siswa. Weni duduk di kelas satu, tapi ia bisa dengan seenaknya tiba-tiba masuk ke ruang kelas lima saat pelajaran berlangsung (di kelas lima ada seorang anak panti asuhan juga dan Weni ingin bersamanya). Jika sedang berada di dalam kelas, Weni sering mengganggu kegiatan belajar-mengajar di kelas itu. Ia berjalan-jalan di kelas, mengajak teman-temannya berbicara, bahkan terus-terusan bicara dengan dirinya sendiri. Ia tak pernah sedikitpun menghiraukan atau memperhatikan gurunya, ia tak pernah fokus untuk belajar. Lebih jauh, dia memang tak bisa dan tidak tahu bagaimana caranya belajar di sekolah-sekolah. Menurut pihak sekolah, Weni bukan anak yang normal. Dan sejak itu, Weni belum masuk sekolah formal lagi hingga kini.

Ada kemungkinan Weni mengalami gangguan hiperaktivitas, atau dalam dunia psikologi dikenal dengan sebutan ADHD (Attention Deficit and Hiperactivity Disorder). ADHD merupakan suatu gangguan dimana seorang anak mengalami gangguan hiperaktivitas dan kesulitan dalam memfokuskan perhatian. Salah satu yang menyebabkan anak menjadi ADHD adalah trauma kekerasan yang terjadi di masa kecil. Weni memiliki trauma kekerasan di masa kecil. Sebelum di panti asuhan, Weni mengaku sering mendapatkan siksaan-siksaan fisik dari orang yang berada di lingkungannya. Weni memiliki luka bakar di tangan kiri, ia mengaku luka itu ia dapatkan dari seseorang yang membakar kantong keresek diatas tangannya dan lelehan panasnya diteteskan ke tangannya. Namun, ADHD ini hanyalah sebuah dugaan. Untuk mengetahui apakah ia benar-benar mengalami gangguan ini atau tidak, perlu dilakukan assessment lebih jauh dan diagnosis dari seorang psikolog professional. Apapun masalah yang dialami oleh Weni, secara umum, aku berani berkesimpulan bahwa ia termasuk anak yang berkebutuhan khusus.

Tentu bukan masalah benar ketika Weni berada di kota besar, misalnya di Yogyakarta. Ada banyak psikolog yang bisa membantu ia dalam mengatasi masalah yang dialaminya. Ada sekolah-sekolah inklusi yang pasti bersedia menerima dan mau mendidiknya. Namun, Weni adalah anak yang ditakdirkan lahir di sebuah desa yang jauh terpencil di pedalaman Sumatera. Lalu nasib yang sedikit lebih baik membawanya ke Panti Asuhan Puteri Aisyiah di Teluk Kuantan, sebuah kota kecil yang masih serba terbatas secara fasilitas. Tidak ada psikolog yang bisa membantu. Tidak ada sekolah inklusi yang pasti mau menerima, yang ada hanyalah sekolah negeri yang tak sanggup menghadapi anak “istimewa” seperti dirinya, lebih “istimewa” dibanding anak-anak lain pada umumnya.

Aku percaya, semua anak berhak untuk mendapatkan pendidikan, seperti apapun keadaannya. Namun, pendidikan nasional kita tak mendukung untuk hal itu terjadi. Selama ini, sistem pendidikan Indonesia, selain hanya menekankan pada aspek kognitif, juga hanya bisa mengakomodir anak-anak yang katakanlah normal dan tak memiliki kesulitan-kesulitan tertentu. Memang saat ini sedang berkembang model sekolah inklusi, dimana anak-anak yang normal dan berkebutuhan khusus (seperti yang cacat fisik, autis, ADHD, gifted, dll.) berada dalam satu kelas yang sama. Para pendidik di sekolah inklusi pun memiliki ilmu tentang bagaimana mengajari masing-masing anak sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Namun, model sekolah ini jumlahnya terbatas dan biasanya hanya ada di kota-kota besar atau lebih spesifik kebanyakan berada di Jawa. Sedangkan banyak didaerah-daerah lain di seluruh Indonesia, terutama di daerah-daerah yang sulit akses informasi atau di daerah-daerah yang para pendidiknya sengaja tak mencari informasi, model pendidikan seperti ini belumlah terlalu populer.

Weni hanyalah satu dari sekian banyak anak Indonesia yang hak pendidikannya tak terpenuhi akibat kebutuhan khusus mereka tak terfasilitasi oleh sistem pendidikan nasional kita. Di belahan nusantara yang lain, mungkin masih banyak anak-anak yang mengalami nasib yang sama seperti Weni. Ketika sistem pendidikan nasional tak berpihak pada anak-anak dengan kesulitan belajar atau berkebutuhan khusus, dan ketika sekolah inklusi tidak terdapat di suatu daerah, maka hati nurani beserta integritas dan kreativitas guru/pendidik yang menjadi tumpuan terakhir bagi kita. Sejarah telah mencatat, seorang guru bernama Bu Muslimah, mau dan bersedia menerima Harun sebagai siswanya, sekalipun Harun seorang anak dengan keterbelakangan mental, bercampur dengan siswa lain dalam kelas biasa. Padahal aku yakin, ketika itu Bu Muslimah pasti belum pernah dengar tentang konsep sekolah inklusi. Kita berharap, guru mau bersikap inklusif dalam mendidik semua anak bangsa, bagaimanapun keadaannya. Semoga para guru mau merubah paradigma, bahwa tak hanya anak normal saja yang boleh sekolah.

Terakhir, aku hanya ingin bilang, MAJU TERUS PENDIDIKAN INDONESIA!!!!

Sumber: http://www.rssfeedcentral.net/rssfeed/7952/Sungai_Kuantan%E2%84%A2.aspx

Ketika Siswa Tunarungu Mengikuti Ujian Nasional

KOMPAS.com — Pagi itu tidak seperti hari biasanya bagi 12 siswa yang menempuh studi belajarnya di SMA Luar Biasa Tuna Rungu Santi Rama, Jakarta Selatan. Hari ini merupakan waktu penentuan bagi mereka. Penentuan atas jerih payah belajar mereka selama tiga tahun. Secara fisik mereka tak ubahnya dengan siswa SMA yang lain. Hanya saja, waktu berbicara suaranya pelan dan terbata-bata. Kadang raut muka dan tangan membuat sebuah tanda untuk menyampaikan pesan.

"Saya yakin lulus ujian," kata Widya Paramita (19), siswa kelas 3B, kepada Kompas.com saat ditemui seusai melahap 50 soal Bahasa Indonesia. Dengan ditemani ibu guru Sundari, Widya mengaku sedikit mengalami kesulitan saat menyelesaikan soal peribahasa. Baginya, peribahasa terlalu banyak kata kiasan. "Soal yang lain saya bisa, soal peribahasa agak susah," katanya dengan terbata-bata.

Lebih lanjut, Sundari menyadari kekurangan yang dialami oleh muridnya. "Memang perbendaharaan kata bagi mereka masih cukup kurang," katanya. "Seperti kalau mereka mengartikan meja hijau (pengadilan), mereka pasti akan menebak meja yang berwarna hijau, padahal bukan itu maksudnya," terangnya.

Sebelumnya ia mengakui, pihak Diknas telah memanggil dirinya untuk mendiskusikan tentang soal yang akan diujikan. Namun, yang terjadi keseluruhan soal memang harus sesuai dengan standar kompetensi yang sudah diatur sebelumnya.

Baginya yang ideal untuk menentukan kelulusan murid yang berkebutuhan khusus adalah gurunya sendiri. "Seharusnya yang menentukan lulus tidaknya murid itu gurunya karena guru lebih tahu perkembangannya si murid tersebut," jelasnya.

Dia juga menambahkan, penyerapan mata pelajaran setiap anak berbeda, terlebih kalau dibandingkan dengan murid dari SMA luar biasa yang lain akan berbeda pula hasilnya. Widya yang berada tak jauh hanya manggut-mangut mendengar penjelasan ibu gurunya. Selebihnya ia berbicara dengan isyarat tangan kepada teman-temannya yang menggerombol di luar kelas. Entah bercanda atau sekadar berbagi cerita seusai menyelesaikan ujian nasional.

Tidak ada kegelisahan yang terpancar dari diri mereka, hanya tawa dan kata terbata-bata yang meluncur dari bibir mereka. Seperti yang tertangkap pada diri Widya yang mengaku bercita-cita sebagai pekerja kantoran, memegang komputer tanpa banyak bicara. Hanya mengetik dan terus mengetik.

sumber: http://gurupintar.ut.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=139&Itemid=1

Ibu Habibie: Mendidiklah dengan Hati, Bukan dengan Emosi dan Ambisi

Semua orang mengakui, bukan hal yang mudah membesarkan anak berkebutuhan khusus atau cacat. Tantangannya bukan sekadar tantangan fisik, finansial, namun juga mental dan spiritual. Itulah yang dialami oleh sebagian orang tua di dunia ini, yang mungkin tidak “seberuntung” kebanyakan orang tua lainnya yang dikaruniai anak-anak yang sehat dan tak kekurangan apa pun. Namun, di antara sedikit orang yang harus menanggung tantangan tersebut, ada nama Endang Setyati atau juga dikenal dengan sebutan Ibu Habibie, yang mampu memandirikan Habibie anaknya dan menjadi inspirasi bagi banyak orang.

Sama seperti para orang tua pada umumnya, yang merasa harus menanggung beban sangat berat karena dikaruniai anak berkebutuhan khusus. Dalam benak perempuan kelahiran Yogyakarta, 17 Desember 1951 ini, bahkan sempat pula muncul pertanyaan kepada Tuhan, “Apakah ini adil bagi kami?” Namun, berbekal hasil didikan orang tua, semangat yang pantang meredup, serta hasrat sangat besar untuk memandirikan sang anak, pensiunan Perum Perhutani ini pun sanggup menanggung semua beban tersebut. Bahkan, akhirnya ia melihat kenyataan bahwa semangatnya untuk membimbing anak dengan hati dan cinta itu pun telah menumbuhkan semangat baru di antara sekian banyak orang di negeri ini.

Tak ayal lagi, ketika orang melihat keberhasilan Habibie dengan bisnis online-nya, serta karya-karya website-nya maupun buku yang dia tulis, orang tetap tidak bisa mengabaikan peran sang ibu. Seperti kisah-kisah lainnya tentang anak penuh keterbatasan tetapi sanggup melakukan hal yang luar biasa, selalu saja figur seorang ibu juga hadir di balik itu semua. Dan ternyata, untuk kasus Ibu Habibie ini, kuncinya adalah pada sikap ikhlas, rasa bersyukur, kesanggupan untuk terus menempa dan mengembangkan diri, belajar tanpa kenal lelah, dan berpikir optimistis menghadapi masa depan.

Barangkali Anda pernah melihat penampilan Ibu Habibie dan sang anak di sejumlah seminar atau di berbagai talkshow di radio maupun televisi. Mungkin juga, ada banyak pertanyaan tentang rahasia keberhasilan perempuan tangguh ini dalam mendidik dan menjadikan anaknya pribadi yang mandiri. Untuk itulah Edy Zaqeus dari AndaLuarBiasa.com mewawancarai Ibu Habibie. Berikut petikan wawancaranya yang dilakukan melalui pos-el belum lama ini:

Sebenarnya, apa bisnis yang dijalankan Habibie itu?

Habibie mengawali bisnis online sebagai affiliate di Amazon.com, suatu perusahaan online terbesar di Amerika. Menjualnya di Amerika, pembelinya juga orang Amerika, tetapi Habibie mengelola usahanya dari Indonesia. Dari hasil penjualan produk tersebut, Habibie mendapat komisi penjualan. Besar komisinya jika terjual produk elektronik 4 persen, jika nonelektronik antara 6,5 persen. Kurang lebih selama 1,5 tahun, komisi yang terkumpul 5.986 dollar AS.

Sampai sekarang masih fokus sebagai affiliate Amazon.com?

Ya, tapi sejak awal semester tahun 2008 kan terjadi krisis ekonomi di Amerika. Dan, diprediksi akan berlangsung lama, setidaknya sampai akhir 2011. Makanya, penghasilan di Amazon.com mengalami penurunan drastis. Karena itu, Habibie mencoba mencari peluang pasar dalam negeri. Jadi, mulailah bisnis online di dalam negeri awal tahun 2008. Produknya e-book hasil penulisan pengalaman belajar dan bisnis di Amazon, bisnis properti online, memasarkan ponsel dengan konten utamanya Alquran dan handphone GSM dengan double SIM-ON. Lalu juga memasarkan dan memberikan pelayanan ibadah haji maupun umroh, dan memasarkan madu murni dari Pusbahnas Perum Perhutani.

Apakah hasil bisnis tersebut sungguh menghasilkan seperti yang diharapkan?

Alhamdulillah, hasil di bisnis online-nya sudah bisa menutupi kebutuhan atau biaya hidup sehari-hari. Penghasilan per bulan rata-rata tidak kurang dari Rp 5 juta. Dari amazon, sejak April 2007 sampai dengan Agustus 2008, selama 16 bulan itu telah mencapai 5.986 dollar AS. Penjualan e-book misalnya, sejak 27 Mei sampai 31 Juli 2008 yang dilakukan secara manual, ada 107 pembeli masing-masing seharga Rp 150.000,-. Yang pembayarannya melalui rekening BCA, terakumulasi Rp 16.050.000,-, dan yanng via PayPal sebesar 580 dollar AS. Penghasilan tadi belum termasuk dengan honor-honor yang diterima sebagai pembicara di seminar-seminar, atau undangan lain sebagai bintang tamu di stasiun TV.

Sejauh ini, di mata Anda, apa saja prestasi yang sudah dihasilkan oleh Habibie?

Sejalan dengan kemandirian Habibie, dia juga banyak membantu UMKM untuk membuat toko online untuk produk-produk mereka. Juga dengan semangat berbagi yang dimilikinya, dia banyak men-support dan memberdayakan teman-teman senasib. Mencari potensi yang dimiliki untuk dikembangkan. Itu sebagai upaya untuk memerdekaan diri dari ketergantungan pada orang tua, saudara, dan orang lain.

Dengan hasil bisnis tersebut, Anda melihat Habibie sudah berhasil meraih sisi kemandiriannya?

Tentu saja, untuk kebutuhan primer, seperti sandang, pangan, biaya belajar atau seminar, dia bisa membiayai sendiri. Untuk kebutuhan lainnya seperti sarana kerja, akses internet setiap bulannya dia bayar sendiri. Laptop dan perangkat-perangkat lain untuk menunjang bisnis online-nya, seperti beli domain, hosting, dll, sampai merawat giginya dengan bekhel yang tidak murah, juga dibiayai sendiri. Alhamdulillah, semua sudah bisa ditutup dari penghasilannya.

Habibie yang semakin lemah fisiknya, tetapi semakin menyala semangatnya

Habibie yang semakin lemah fisiknya, tetapi semakin menyala semangatnya

Mari flashback sebentar. Ketika tahu kondisi anak Anda berkebutuhan khusus, apa yang pertama kali sempat terlintas dalam benak Anda?

Awalnya, dalam hati tidak percaya dan berharap diagnosis dokter salah. Kan sering terjadi kesalahan pada diagnosis, kan? Namun demikian, masih berpikir juga mungkin dokter benar. Tidak seorang dokter pun gegabah mendiagnosis pasiennya. Pikiran saya saat itu, ya boleh dibilang tidak keruan, ya kacau, bingung, percaya dan tidak percaya bercampur jadi satu. Sekalipun dalam ketidakpastian, apa kata dan perintah dokter yang merawatnya selalu saya ikuti. Berapa pun biaya pemeriksaan dan perawatan saya bayar, saya tidak pernah hitung-hitung. Dan bahkan, saya merasa royal untuk kepentingan pemeriksaan dan tindakan demi kesehatan dan kesembuhan Habibie.

Saya bermaksud, paling tidak selama masa balita, saya harus berjuang keras dan semaksimal mungkin. Siapa tahu Habibie masih bisa tertolong? Saya tidak berani membayangkan kelak, kalau sudah besar Habibie tidak bisa berjalan. Bahkan, sampai pada kelumpuhan fisik….

Seperti ibu-ibu pada umumnya bila menghadapi situasi semacam itu, Anda diganggu bayangan-bayangan negatif?

Ya, namun pikiran-pikiran seperti itu selalu saya usir jauh-jauh. Dalam bayangan dan pikiran saya, kelak Habibie bisa jalan, entah kapan, saya masih punya harapan besar.

Pasti ada saat-saat paling menekan…?

Ya. Kadang kalau saya sedang sedih memikirkan nasib Habibie kecil, saya suka menangis sendiri. Yang sering sih menangis dalam hati. Apalagi kalau sedang salat malam, tahajud. Sering kalau Habibie sedang tidur, saya pandangi tidurnya sampi puas. Dan akhirnya, saya pun tertidur tanpa sadar. Saya sering bertanya pada Allah SWT, mengapa nasib Habibie dan nasib saya jadi begini, ya Allah? Apa yang kurang pada diri saya? Oh, mungkin saya kurang dekat pada-Nya…. Itu jawaban yang ada.

Anda terus berusaha mencari kesembuhan bagi Habibie?

Ya, pada tahun 1990, saat itu Habibie berusia sekitar 2 tahun, saya berangkat melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci. Ingin sekali rasanya saya memohon rida Allah untuk kesembuhan Habibie. Yah, tentu saja mohon mukjizat-Nya, Allah Aja wa Jalla. Selama di Tanah Suci, pikiran saya kacau karena saat saya mau berangkat, Habibie sedang sakit dan dirawat di RS St Carolus sampai dua kali dalam sebulan. Hampir saja saya memutuskan tidak jadi berangkat haji. Tidak tega rasanya meninggalkan Habibie dalam kondisi sakit dan dirawat inap.

Tidak semua orangtua bisa serta merta menerima begitu saja, atau menerima dengan ikhlas, atas kondisi tersebut. Pandangan Anda?

Saya rasa itu manusiawi. Pasti semua orang—termasuk juga saya—merasa sulit menerima hal ini. Kita semua selalu menginginkan segala sesuatu, apalagi anak, pasti ingin yang sempurna. Cantik, bagus, cakap, pandai, dam semua tangan, kaki, jari-jari utuh dan komplit. Tapi ternyata Allah tidak memberi apa yang saya harapkan. Namun, apa pun dan bagaimanapun, pemberian Allah harus kita terima, tidak mungkin saya menolak.

Saya sadar, inilah rida Allah pada saya. Saya harus ikhlas menerima amanah-Nya. Walaupun sudah lama saya ingin melahirkan dan punya anak sendiri, saya tidak boleh kecewa atas pemberian dan amanah ini. Saya harus bisa menerima amanah ini dengan ikhlas. Saya sendiri tidak berani berharap banyak pada anak saya Habibie. Namun, apa pun dia, dan bagaimanapun dia, saya akan dan tetap mencintai, menyayangi, memerhatikan, mengasuh, merawat dia, dan juga mendidik dia sebaik-baiknya, dan semaksimal yang bisa saya lakukan.

Apakah ada perasaan semacam…. ya rendah diri atau malu, semisal pergi bersama Habibie?

Jujur ya, saya ini enjoy saja dengan Habibie. Saya tidak canggung tampil di depan umum, di mana pun saya berada. Saya tidak pernah merasa rendah diri atau pun malu kalau saya punya anak yang berkebutuhan khusus atau cacat. Belajar dari lingkungan, saya sering melihat kejadian orang tua yang tidak siap mental menerima anaknya yang berkebutuhan khusus. Saya sering kecewa melihat sikap orang tua yang tampak menolak anaknya. Dan, saya sangat sedih dan iba melihat anak yang diperlakukan tidak adil, bahkan terkesan diperlakukan semena-mena oleh orang tuanya.

Kasihan anak ini, dia akan mengalami penderitaan ganda. Di satu pihak dia sudah sangat menderita batin atas ketidaksempurnaanya, di lain pihak dia juga harus menderita terhadap ketidakberpihakan dan penolakan orang tuanya. Rasanya, saya bahagia dan bersyukur kalau melihat orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus namun mau menerima dan memperlakukan anaknya dengan baik. Jadi, anak tersebut akan tetap mendapatkan kebahagiaan yang utuh dari kedua orang tuanya. Dia juga akan terbebas dari perasaan tertekan atas ketidaksempurnaannya itu.

Bagaimana kemudian Anda bisa menerima hal tersebut dengan sepenuhnya. Bahkan, kemudian bergerak memberikan perhatian dan bimbingan konstruktif pada Habibie?

Saya ini seorang ibu yang telah ikhlas dan sabar mengasuh maupun merawat kakak-kakak Habibie, bawaan dari suami sebanyak tujuh orang. Terus, saya sendiri dengan suami dikaruniai seorang anak saja. Masak sih saya tidak urus dan tidak rawat dia baik-baik? Saya akan merasa berdosa kalau saya sampai menelantarkan anak kandung saya sendiri. Apalagi dia dalam kondisi lemah. Siapa yang akan peduli pada Habibie kalau ibunya sendiri tidak memerhatikan?

Sejak Habibie kecil, saya sudah bertekad untuk menyayangi dia dengan sepenuh hati, tanpa alasan. Dokter yang merawat dia, Profesor Teguh Asaat Ranakusuma, juga pernah mengatakan pada saya, bahwa penyakit Habibie ini tidak ada obatnya. Pesan beliau, “Limpahi kasih sayang.” Saya pikir, ya kasih sayang inilah obatnya. Berbekal kasih sayang inilah saya mendidik Habibie, layaknya anak normal. Bukan kasih sayang yang memanjakan, karena memanjakan anak bisa jadi racun dalam hidupnya. Habibie harus mendapat pendidikan yang utuh dari kedua orang tua, dalam kondisi rumah tangga yang tenteram, damai, bahagia, dan harmonis.

Apa yang Anda ajarkan pada Habibie?

Kami mengajarkan tentang penegakan iman dan Islam. Dari kecil dia telah belajar mengaji dan salat. Selama ini, dia lebih banyak belajar di lingkungan anak-anak normal. Tentu saja hal ini tidak mudah. Dia harus berani bersaing dengan anak-anak normal. Bisa dibayangkan bagaimana dengan tingkah polah yang aneh-aneh dari anak-anak sebayanya.

Anda tidak perlakuan istimewa pada Habibie?

Tidak ada perlakuan istimewa pada Habibie! Yang istimewa, sehari-hari di sekolah dia selalu didampingi pengasuh di luar kelas. Yang selalu siap kapan saja dipanggil untuk membetulkan duduknya maupun kebutuhan-kebutuhan lainnya.

Pendidikan Habibie sampai jenjang apa?

Terakhir Habibie hanya sampai SMA. Namun, saya juga tidak rela kalau dia hanya menghabiskan waktu untuk bermain yang didak ada jluntrungan-nya. Saya ingin dia punya kegiatan yang positif dan produktif, sebagai bekal hidupnya kelak. Saya tidak rela melihat dia direndahkan atau diremehkan oleh orang lain maupun saudara-saudaranya. Biasanya, anak-anak dan orang-orang cacat itu suka dianggap sebagai “sampah masyarakat”.

Nah, saya ingin membekali Habibie dengan ilmu, bukan dengan harta. Hanya orang-orang yang berilmu yang akan mampu mengelola hartanya. Karena tanpa ilmu, berapa pun harta yang diberikan akan habis. Dengan ilmu dia akan menjadi manusia yang produktif dan mandiri. Dengan ilmu dia akan mampu memiliki harkat dan martabat dalam masyarakat. Sebenarnya, saya juga tidak banyak harta yang bisa saya berikan dan saya tinggalkan untuk Habibie.

Kompak dalam mengembangkan diri dan memacu prestasi

Kompak dalam mengembangkan diri dan memacu prestasi

Anda tampaknya lebih terfokus pada sisi-sisi kelebihan anak ketimbang pada kelemahannya. Bagaimana bisa sampai pada sikap seperti itu?

Lha, iyalah… Saya lebih fokus pada masa depan. Saya, dulu waktu Habibie masih kecil, pernah berjuang keras untuk kesembuhan dia. Saya rasa itu sudah cukup. Saya langsung mengubah pikiran saya, lebih baik saya berjuang keras dan cerdas untuk masa depannya. Selama ini, saya berharap masih ada kekuatan yang tersisa yang masih dimiliki Habibie. Karena, yang saya tahu kelemahannya lambat laun akan menggerogoti otot-ototnya, yang sudah lemah menjadi semakin lemah. Kekuatannya yang masih ada inilah yang ingin saya kembangkan untuk bekal hidupnya kelak, jika saja Allah SWT memberikan umur panjang padanya.

Benar lho, saya masih tetap berharap anak saya panjang umur dan bahagia. OK, otot-ototnya akan menggerogoti tubuhnya yang makin melemah. Tapi, semangatnya harus saya jaga agar tetap kuat. Saya berikan energi-energi positif melalui seminar-seminar pembelajaran, motivator, dan inspirator. Ya, saya selalu ke mana-mana berdua, saling menyemangati satu sama lain. Alhamdulillah, tampak ada hasilnya. Habibie makin tegar dan percaya diri menatap masa depannya yang cerah, secerah sinar matahari pagi dan senyumnya.

Apa sejak awal Anda sudah melihat semangat, bakat-bakat, serta potensi Habibie untuk bisa berkembang dengan baik?

Ya, tentu saja tidak. Semua ini hanya bagian dari upaya dan perjuangan menjadikan Habibie lebih baik saja. Prinsip saya adalah satu keharusan buat saya, ibunya, untuk berjuang keras mengatar Habibie meraih masa depan lebih baik. Itu saja…sederhana, kan? Karena, saya tidak bisa berharap pada orang lain. Sekalipun itu ayahnya maupun saudara-saudaranya. Mungkin orang lain melihat kelemahan Habibie ini suatu hal yang mustahil untuk bisa diberdayakan dan mandiri. Bahkan, eyang-eyangnya semua mencemaskan masa depannya. Tapi, tidak demikian dalam pikiran saya. Saya masih punya harapan besar dan rasa optimistis. Andai saja saya mau berjuang dan mengorbankan waktu, tenaga, dan biaya, saya yakin Habibie bisa berprestasi. Tapi, saat itu saya juga masih malu untuk mengatakan Habibie bisa sukses. Ada keraguan walau hanya sedikit.

Sejak kapan Anda mulai membina mental Habibie?

Saya menanamkan disiplin pada Habibie sejak dia masih kecil, kurang lebih usia 2 tahunan. Setiap sore saya membiasakan Habibie duduk di kursi dan meja untuk anak TK, yang sengaja saya beli untuk melatih dia. Melatih disiplin setiap sore harus selalu belajar, dan juga bermain bersama dengan saya dan kakak-kakaknya. Main lempar bola untuk melatih otot-ototnya, dan bermain plorotan di tempat tidurnya. Harapan saya, semoga kebiasaan ini akan menjadi kebiasaan dia sehari-hari. Di tahap ini saya memang sedang mencari bakatnya di mana. Saya berikan kerta-kertas folio, crayon, atau sepidol warna untuk mencari bakat menggambar. Ternyata, dia tidak punya bakat menggambar, karena dia hanya bisa membuat benang ruwet. Gambarnya tidak pernah memiliki bentuk yang spesifik, walau sudah diberikan contoh-contoh.

Pernah mengarahkan Habibie ke pendidikan agama?

Dalam hati kecil, saya pernah ingin mengarahkan Habibie ke arah agama. Barangkali suatu saat dia bisa jadi kyai atau ustaz. Caranya dengan memberi dia kesempatan belajar mengaji pada guru ngaji di sebelah rumah maupun mengundang guru ngaji ke rumah. Kita semua seisi rumah mengaji bersama supaya lebih semangat belajarnya. Sering saya diskusi dengan seluruh keluarga tentang apa sih sebetulnya yang menjadi cita-cita masing-masing anak. Saya bilang, “Kalau nanti Habibie gede, jadi kyai saja, ya?”

Dan, jawaban Habibie….?

“Dede enggak mau, Dede mau jadi pocici aja…” Waktu kecil dia memang senang kalau melihat mobil polisi patroli dengan lampu blizt dan sirine. Saya sering ngledekin dia dengan canda, “Mau jadi polisi yang berdiri di pojok jalanan—maksud saya patung polisi—atau polisi tidur?” Jawabnya, “Pocici tidung.”

Kabarnya Anda menggembleng semangat Habibie melalui game?

Ya, sejak usia 3 atau 4 tahun, Habibie telah biasa bermain game watch, kemudian Nitendo. Saya tidak pernah membatasi dia bermain. Kapan saja dia boleh bermain, pokoknya sesuka hatinya saja. Bahkan, kalau perlu saya undang teman-temannya untuk bermain bersama di rumah. Nitendo, kemudian Play Station 1 dan 2, ini adalah mainan yang cocok untuk Habibie, karena permainan ini memerlukan kerja sama yang baik antara mata, kekuatan otot tangan, pemikiran, atau olah pikir untuk saling memenangkan pertandingan. Nitendo, PlayStation, dan Internet Game ini tidak jauh beda dengan orang menyetir mobil. Semua indera bersinergi dari mulai telinga, mata, tangan, dan pikiran bekerja dalam tempo yang hampir bersamaan.

Mengapa memilih game, padahal kebanyakan orang tua justru takut membebaskan anaknya bermain game?

Dunia anak adalah bermain. Karena bermain inilah dia juga sambil belajar. Belajar bergaul dengan teman sebaya, belajar jujur, dan bisa juga curang dengan sesama teman. Dia juga bisa belajar berargumentasi dan menyampaikan pendapatnya. Bahkan, dia juga belajar berantem untuk mempertahankan pendapat dan kebenarannya.

Dari game itu pula mungkin terpupuk semangat Habibie untuk berkompetisi?

Ya, jadi sejak kecil Habibie sudah terbiasa dan terlatih untuk berkompetisi dalam hidupnya. Di sekolah pun dia sudah harus berkompetisi berat melawan teman-temannya yang sehat. Selama dia belajar bersama anak-anak sehat, dia menunjukan prestasi yang gemilang dalam belajar. Paling tidak the Best 3 selalu diraihnya. Prestasi paling jelek diraih Habibie ada diposisi the Best 5. Setelah lulus dari SMA, perjuangan Habibie malah lebih berat lagi karena dia harus berani berbaur belajar dengan kelompok yang lebih berat lagi. Mereka umumnya sudah mengantongi gelar S1, dan bahkan ada yang S2. Bahkan, untuk lulusan D3 dan SMA itu sedikit sekali, bisa dihitung dengan jari.

Terakhir, dia belajar di Asia Internet Academy awal Maret 2007 dengan peserta sebanyak 130 orang. Instrukturnya Mr. Fabian Lim dengan bahasa Inggris, sementara dia sendiri tidak pernah belajar bahasa Inggris secara khusus. Alhamdulillah, dia bisa melanjutkan ketingkat advance bersama 15 orang peserta. Prestasi yang diraih Habibie selama belajar, yaitu sering disebut sebagai The First Affiliate Amazon.com from Indonesia.

Membesarkan, membimbing, dan mendidik anak berkebutuhan khusus jelas bukan perkara yang mudah. Bisa Anda ceritakan tantangan-tantangan terberatnya?

Pastinya memang sangat berat, bahkan saya katakan sejujurnya saja berat sekali. Terutama masalah mobilitas. Habibie ini ke mana-mana harus pakai kursi roda dan seumur hidupnya mesti harus ada pendamping atau pengasuh. Kondisi kesehatan yang rapuh, mudah sakit, pokoknya perlu perwatan prima. Biaya hidupnya mahal, makannya harus cukup gizi, obat-obatan rutin untuk merangsang syaraf, juga vitamin dan mineral. Lalu, kontrol dokter, pemeriksaan laboratorium. Belum lagi masalah pendidikan, ke sekolah juga harus pakai mobil antar jemput. Terus urusan fisioteraphy, pernah beberapa kali pengaobatan alternatif, sampai jasa para normal.

Alhamdulillah, Allah kasih saya semangat yang menggebu-nggebu, tidak mudah capai, dan tidak mudah menyerah. Juga kesehatan yang prima buat saya. Subhanallah, Allah melimpahkan rezeki yang cukup, hampir tidak pernah kekurangan sampai parah seperti masa kecil saya. Hanya saja, saya harus kerja keras, pagi kerja kantoran di Perum Perhutani, di rumah juga mesti harus cari tambahan. Terus terang saja, kalau tidak ada tambahan pengahasilan, di rumah saya pernah buka warung tegal. Sampai sekarang saya masih buka warung sembako. Pokoknya, apa saja saya lakukan untuk menambah penghasilan. Sampai pernah juga kalau ke kantor sambil nenteng dagangan lontong sayur.

Ibu Habibie bersama Andi F. Noya

Ibu Habibie bersama Andi F. Noya

Apa rahasianya sehingga Anda mampu menaklukkan tantangan tersebut?

Yah, pokoknya spirit saya, saya ingin melihat Habibie bisa mandiri. Sebuah tantangan memang, tetapi tantangan ini kan harus kita hadapi, bukan malah kita hendari ya. Maka, saya lebih suka mencari solusi untuk mengatasi masa-masa sulit, barang kali suatu saat dia datang menghampiri kehidupan kami. Mungkin ini bagian dari tindakan preventif, makanya saya dan Habibie menggali potensi diri untuk dikembangkan bersama. Alhamdulillah, saya bertemu dengan kawan, sahabat, guru, juga penerbit besar yang sangat memberi dukungan. Banyak fasilitas dan support hebat. Nah, makin bersemangatlah kami.

Anda tampaknya tipe orang tua yang pantang menyerah untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anak Anda?

Dari kecil hidup saya sudah ditempa oleh banyak kesulitan, berkubang dalam kemiskinan. Latar belakang kehidupan yang pahit sekali ini yang membuat saya kuat menghadapi tantangan. Dan, karena itulah saya merasa pasti memliliki semangat juang lebih. Tekad pantang menyerah ini mungkin, dan hampir pasti, yang mengantarkan saya menjadi ibu yang kuat menghadapi berbagai masalah pelik. Biasanya, orang atau anak-anak yang hidup dalam zona kritis, dia akan lebih kreatif dan lebih tahan bantingan. Berbeda kalau orang dan anak-anak yang biasa hidup dalam berkecukupan. Seperti hidup selalu dalam ketenangan, tanpa pergolakan, pasti semangat tempurnya ya kurang seru. Apalagi ditambahi dengan menipisnya iman, bisa jadi putus asa itu sahabat karibnya.

Banyak orangtua seperti menyerah kalah ketika menghadapi tantangan-tantangan dan kesulitan dalam membesarkan anaknya. Padahal, keadaan anak-anak mereka barangkali jauh lebih ‘beruntung’ ketimbang Habibie misalnya. Pesan Anda untuk mereka?

Harapan saya pada ibu-ibu dan bapak-bapak, para orang tua: Jadikanlah diri kita orang tua yang pantas dan layak sebagai panutan, teladan, atau contoh nyata bagi putra-putri kita. Mendidik anak sejak dari dalam kandungan dan buaian. Orang tua adalah guru dan pendidik terbaik bagi putra-putri sendiri. Guru, ustaz, dll, adalah pendidik kedua setelah orang tuanya. Mendidiklah dengan hati, bukan dengan emosi dan ambisi. Dekatkan hati orang tua pada putra-putrinya, agar jangan sampai putra-putri kita dididik atau diambil alih oleh lingkungan yang negatif. Berikan hak-hak dasar anak seperti, anak berhak memperoleh kasih sayang, pendidikan, dan perhatian. Berikan hak hidup, berkembang, dan kembangkan diri anak dengan adil. Jangan memandang atau membedakan gender. Berikan hak yang sama kepada anak kita, baik yang sehat maupun yang cacat. Perlakukan anak sesuai dengan fase-fase usianya, dan hargai anak sesuai dengan apa yang kita harapkan darinya. Jangan lupa memberikan penghargaan apabila putra-putri kita berprestasi.

Ibu Habibie: Ketegaran dan ketekunan itu membuahkan hasil nyata

Ibu Habibie: Ketegaran dan ketekunan itu membuahkan hasil nyata

Anda bersama Habibie sangat suka mendatangi kegiatan-kegiatan seperti seminar atau pelatihan pengembangan diri, termasuk pelatihan menulis. Apa yang sesungguhnya Anda cari dari forum-forum semacam itu?

Yang pasti ada sesuatu yang saya cari dari forum-forum yang saya datangi. Terutama dalam seminar-seminar dan pelatihan pengembangan diri. Karena, saya sedang menggali potensi yang dimiliki Habibie, juga potesi yang ada pada diri saya. Saya ingin bersinergi antara ibu dan anak, untuk saling menyukseskan satu sama lain. Di samping itu, kami juga memerlukan banyak ilmu yang akan bermanfaat dalam hidup kami.

Dalam hati, saya tidak rela kalau anak saya hanya sekolah sampai tingkat SMA saja, seperti Emaknya. Sudahlah, cukup saya saja yang bodoh, tapi anak saya harus pintar. Badan Habibie saat ini makin melemah, tidak mungkin dia kuat tiap hari harus pergi kuliah. Saya ingin memberikan pendidikan yang yaman tapi enjoy buat anak saya, belajar sambil bermain, dan cari rezeki. Pendidikan atau pembelajaran ini bukan saja transfer ilmu, melainkan juga transfer energi-energi positif buat Habibie. Makanya, saya lebih senang datang ke seminar-seminar motivasi dan inspirasi.

Apa dampak riil yang dirasakan Habibie dari forum-forum inspiratif semacam itu?

Pada kenyataannya, semangat Habibie memang luar biasa! Bergabung dengan orang-orang yang berkualitas dan bersemangat tinggi yang ada di negeri ini, ternyata telah memacu andrenalinnya untuk melawan penyakit yang menggerogoti syaraf dan otot-ototnya.

Siapa tokoh-tokoh yang menginspirasi Anda dalam mendidik anak?

Ibu dan kakek saya. Kakek saya seorang tua yang moderat, impiannya tinggi, dan tercapai. Keenam putranya tidak ada yang miskin, kecuali Ibu saya satu-satunya yang termiskin. Kelima putranya semua sukses dan kaya. Sementara, Ibu saya yang lahir tahun 1922 dan meninggal tahun 2006 dalam usia 84 tahun, adalah seorang ibu yang cerdas walau sekolahnya rendah. Pemikirannya jauh ke depan. Cara mengasuh dan mendidik putra-putrinya bagus. Keras, disiplin, tapi penuh kasih sayang dan menanamkan budi-pekerti luhur pada putra-putrinya. Beliau selalu memotivasi kami semua untuk belajar dan bekerja keras. Berangkat dari cara pengasuhan dan pendidikan Ibu saya itulah, saya menyontek pola dan cara-cara pendekatan emosional dan kasih sayang.

Tokoh lainnya?

Ada cerita True Story yang sebelumnya sering saya baca dan saya dengar diradio SmartFM, tentang Nancy Elliot Matheus, ibunda Thomas Alfa Edison yang telah berhasil mendidik puteranya menerangi dunia. Edison divonis oleh gurunya bahwa dia adalah anak yang bodoh, bahkan dikatakan berotak udang. Ibu mana yang tidak meradang jika putranya dikatakan seperti itu? Maka, sejak saat itu Nancy menarik putranya keluar dari sekolah, lalu berusaha dan berjuang mendidik putranya di rumah, karena kebetulan Nancy ini adalah seorang pendidik. Hasilnya, pola pendidikan dan pengasuhan dengan hati itu telah melahirkan seorang anak genius dan sukses besar.

Anda juga ingin menulis buku? Apa temanya kira-kira?

Ya, betul. Kira-kira dua tahun yang lalu Habibie meminta saya menuliskan pengalaman saya mendidik dia sampai sukses. Habibie meminta saya menulis sebuah buku fisik agar tulisan saya bermanfaat untuk orang lain. Dia minta judulnya “Pengalamanku Mengasuh Anak Cacat jadi Sukses.” Sampai sekarang, saya baru sempat membuat konsepnya saja. Ada misi yang lebih indah dan istimewa dari sekadar menerbitkan sebuah buku. Harapan agar umur saya dan Habibie akan panjang ya dari karya buku dan situs-situs saya.

Harapan Anda untuk masa depan Habibie?

Biarlah dia menjadi manusia yang pandai memanfaatkan sisa umurnya dengan baik, menjadikan umur yang bermanfaat untuk dirinya sendiri, dan bermanfaat untuk orang lain. Kami orang tua hanya bisa berdoa dan memberikan dukungan total lahir dan batin. Habibie sendiri menyatakan, awalnya harapan dan cita-cita dia sangatlah sederhana. Dia hanya ingin memenuhi kebutuhannya sendiri, dengan hal yang bisa dia kerjakan, ingin bisa mandiri. Itu telah tercapai, tapi dia tidak mau merasa puas. Dia harus membangun cita-cita yang lebih besar lagi, bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang lain, dan terutama memberikan kebanggaan kepada orang tua dan keluarga. Dia juga ingin mendirikan yayasan yang bisa memperdayakan orang-orang yang berkebutuhan khusus.[ez]

sumber: http://www.andaluarbiasa.com/ibu-habibie-mendidiklah-dengan-hati-bukan-dengan-emosi-dan-ambisi