Minggu, 30 Oktober 2011

Peranan Teknologi Informasi dalam Dunia Psikologi

Peranan Teknologi Informasi dalam Dunia Psikologi
Masa sekarang tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi telah mempengaruhi segala aspek kehidupan. Salah satu aspek yang ingin dibahas disini adalah keberadaan Teknologi Informasi dalam dunia profesi psikologi. Kehadiran teknologi internet yang semakin canggih telah merubah gaya hidup manusia dan tuntutan pada kompetensi manusia. Kini kehidupan manusia semakin tergantung pada komputer.

Adapun hal yang menggambarkan besarnya keterlibatan teknologi informasi dalam kehidupan manusia, seperti proses kerja yang digerakkan oleh komputer. Tersedianya fasilitas internet memungkinkan orang bekerja dari mana saja. Dalam dunia psikologi, orang bisa mencari informasi mengenai psikologi dari sarana internet, karena dari situ semua informasi dapat diperoleh dengan mudah dan cepat. Kini pengguna komputer dapat menambah pengetahuannya dalam berbagai bidang disiplin ilmu dengan mudah. Hal tersebut dapat menambah pengetahuan seorang yang bergelut di bidang psikologi. Namun, kerahasiaan mengenai alat tes psikologi menjadi semakin terancam, karena melalui internet kita dapat memperoleh informasi tentang tes psikologi, dan bahkan dapat memperoleh layanan tes psikologi secara langsung dari internet.

Kini semakin sulit untuk merahasiakan alat tes karena begitu mudahnya berbagai tes diperoleh melalui internet. Implikasi dari permasalahan ini adalah, tes psikologi yang ada akan mudah sekali bocor, dan pengembangan tes psikologi harus berpacu dengan kecepatan pembocoran melalui internet tersebut.

Dalam bidang psikologi, seseorang dapat dengan mudah mengerjakan sesuatu dengan bantuan computer. Misalnya, pada bagian perekrutan karyawan. Banyak orang yang melamar di suatu perusahaan dan melaksanakan pengetesan melalui tes psikologi, maka banyak data yang harus diolah untuk dilihat hasilnya dan dipilih mana yang terbaik untuk menempati suatu jabatan tertentu. Hal tersebut tidak mudah untuk mengerjakannya, apalagi jika hanya dengan tenaga manusia saja atau manual. Disini peran computer sangat penting, data-data yang sudah masuk dapat langsung segera diolah dan dicari hasilnya tanpa harus menghitung atau menginterpretasikan secara manua. Hal tersebut dapat menghemat tenaga serta pikiran. Jadi semakin banyak hal yang masih bisa dilakukan dan dikerjakan oleh seseorang tersebut. Di dalam dunia profesi psikologi, peran teknologi informasi memang cukup membantu. Terutama dalam memasukkan hasil tes dan mengetahui hasilnya secara labih cepat dan praktis.

Namun, memang sepertinya dapat dilihat bahwa hasilnya tidak subjektif. Computer hanya dapat menggeneralisasikan suatu hasil yang sesuai dengan perintah yang ada di program tersebut tanpa mempertimbangkan aspek lain yang mungkin tidak tercantum dalam program tersebut.
Sumber: http://ceritasisca.blogspot.com/2011_03_01_archive.html

Ulasan/Opini:
Teknologi di Dunia terutama di Indonesia memang tidak bisa dipandang sebelah mata lagi, karena kemajuannya yang semakin pesat bagi umat manusia. Memang bila dilihat dari segi positif ada baiknya kemajuan teknologi itu untuk manusia baik dalam segi pengetahuan dan lain sebagainya, dimana kita bisa mendapatkan apapun melalui internet. Misalnya saja dalam bidang psikologi, disana kita bisa mendapatkan informasi tentang psikologi baik dalam layanan tes psikologi secara online, contoh-contoh alat tes psikologi, cara pengunaan/pengerjaan tes tersebut dan semua hal tentang psikologi dapat ditemukan semua dalam internet.

Hal ini juga yang bisa membuat kerahasiaan alat-alat tes psikologi semakin terancam. Dampak negatifnya dari keterbukaanya kerahasiaan alat tes tersebut, bisa membuat oknum-oknum lain untuk berbuat seenaknya dan membohongi orang yang terpengaruh oleh oknum tersebut, yang dimana oknum tersebut bukan orang yang dalam bidang psikologi. Ada juga yang bisa menjual-belikan tes-tes tersebut ke orang lain.
Mungkin seharusnya informasi mengenai alat tes psikologi lebih diperjaga kerahasiaannya dan tidak disebarluaskan mengenai contoh alat tes, cara pengunaan dan informasi-informasi lain seputar alat-alat tes tersebut. Ini demi untuk kerahasiaan dan kenyamaan bersama. Jadi, jika ada seseorang yang ingin mengetahui mengenai alat-alat tes psikologi dan semua informasi tentang dunia psikologi, bisa menanyakan kepada orang yang ahli atau yang menguasai dalam bidang tersebut.

Selasa, 19 April 2011

Privasi (artikel)

Sumber : http://www.hukumhiburan.com/id/index_sub.php?tab=artikel&judul=MEWASPADAI%20PELANGGARAN%20PRIVASI%20DI%20TELEVISI%20INDONESIA&tgl=2006-06-12&headerimage=cap08



penjelasan artikel yaitu, karena memang tidak berasal dari akar budaya masyarakat kita, maka perlindungan Privasi seperti tidak mendapatkan perhatian secara khusus. Seandainya pun ada ketentuan hukum yang mengaturnya maka pengaturan tersebut dilakukan secara parsial dan tidak menyeluruh. Hak atas Privasi dapat diterjemahkan sebagai hak dari setiap orang untuk melindungi aspek-aspek pribadi kehidupannya untuk dimasuki dan dipergunakan oleh orang lain (Donnald M Gillmor, 1990 : 281).

Menurut Altman (dalam Prabowo, 1998), mendefinisikan privasi adalah proses pengontrolan yang selektif terhadap akses kepada diri sendiri dan akses kepada orang lain. Menurut Prabowo (1998) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi privasi adalah faktor personal, faktor situasional, dan faktor budaya yang dimana bahwa pada tiap-tiap budaya tidak ditemukan adanya perbedaan dalam banyaknya privasi yang diinginkan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapat privasi. Gifford (dalam Prabowo, 1998).

Pengaruh Privasi terhadap Perilaku, saat privasi kita terganggu maka secara langsung akan menimbulkan rasa tidak menyenangkan pada diri. Menurut Westin (dalam Prabowo , 1998) dengan privasi kita juga dapat melakukan evaluasi diri dan membantu kita mengembangkan dan mengelola perasaan otonomi diri (personal autonomy). Otonomi ini meliputi perasaan bebas, kesadaran memilih dan kemerdekaan dari pengaruh orang lain.
Sedangkan Privasi dalam Konteks Budaya, faktor budaya berkaitan dengan erat dengan perbedaan tentang privasi ditiap kebudayaan yang ada.

Teritorialitas (artikel)

Sumber : http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=11300&coid=1&caid=27


Penjelasan dalam artikel yaitu ruang teritorial yang dimiliki negara akan menentukan kedaulatan, power, bahkan keamanan yang dimiliki negara. Karena itu, batas dan luas teritorial berperan amat signifikan dalam menentukan eksistensi suatu negara. Gagasan utama penentuan batas teritorial ini adalah untuk membedakan negara secara fisik. Selain itu, batas negara juga menjadi alat untuk mengontrol aliran barang, gagasan, dan ideologi.

Elemen-elemen Teritorialitas
menurut beberapa ahli yaitu:
1. Porteus (dalam Lang, 1987) mengidentifikasi 3 kumpulan tingkat spasial yang
saling terkait satu sama lain:
a. Personal space, yang telah banyak dibahas di muka.
b. Home Base, ruang-ruang yang dipertahankan secara aktif, misalnya rumah tinggal
atau lingkungan rumah tinggal.
c. Home Range, seting-seting perilaku yang terbentuk dari bagian kehidupan
seseorang.
2. Sedangkan menurut Lang (1987), terdapat empat karakter dari territorial, yaitu
a)Kepemilikan atau hak dari suatu tempat
b)Personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu
c)Hak untuk mepertahankan diri dari gangguan luar
d)Pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar psikologis
sampai kepada kepuasaan kognitif dan kebutuhan-kebutuhan estetika.

Stres (artikel)

Sumber artikel: http://vano2000.wordpress.com/2010/05/05/kesesakan-dan-perilaku-agresif-di-penjara/


Penjelasan dari artikel, jadi Salah satu penyebab timbulnya stress di penjara adalah kondisi penjara yang sangat jauh dari kondisi ideal. baik dari kondisi fisik penjara, terkadang ukurannya kecil, orangnya banyak, sehingga menyebabkan para tahanan cenderung merasa sesak akan kondisi tersebut dan membuat menjadi stress. Kesesakan yang terjadi di dalam penjara berdampak pada tingkat stress, agresifitas, dan bahkan bunuh diri.

Stress mempunyai hubungan positif dengan kesesakan. ketika seseorang mengalami kesesakan yang tinggi, maka tingkat stres pun tinggi. Di penjara, dengan kondisi yang serba terbatas, mulai dari ruangan yang sempit, informasi, dan hiburan terbatas, membuat tingkat stres cenderung tinggi. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya ruang gerak, serta keinginan untuk melakukan apa yang dimau.

Menurut teori behaviour constraint, lingkungan bisa membatasi seseorang dalam berperilaku. Bila hal itu terjadi, yang pertama muncul adalah perasaan tidak nyaman, dan perasaan negatif, dan bahkan bisa menimbulkan stress bila berlangsung lama.

Istilah stres itu sendiri menurut Lazarus (dalam Prabowo, 1998), stress adalah suatu keadaan psikologis individu yang disebabkan karena individu dihadapkan pada situasi internal dan eksternal.
Jenis stres menurut Robbins ada Distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak) dan Psychological stress terjadi ketika individu menjumpai kondisi lingkungan yang
penuh stress sebagai ancaman yang secara kuat menantang atau melampaui kemampuan copingnya. Sedangkan model stres menurut Cox (dalam Prabowo, 1998)salah satunya Overload, yang dimana ketika sebuah stimulus datang secara intens dan individu tidak dapat mengadaptasi lebih lama lagi.

Ruang Personal (artikel)

Sumber artikel: http://vano2000.wordpress.com/2010/05/05/kesesakan-dan-perilaku-agresif-di-penjara/


penjelasan dari artikel jadi, di dalam penjara, Ketika seseorang mempersepsikan ruang personalnya dilanggar orang lain, maka akan menimbulkan keterbangkitan (arousal) pada diri orang tersebut.
Ruang personal menurut Goofman (dalam Altman, 1975) menggambarkan ruang personal sebagai jarak/daerah disekitar individu dimana dengan memasuki daerah orang lain, menyebabkan orang lain tersebut merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang, dan kadang-kadang menarik diri.

Ruang personal adalah area individu yang berada di sekitarnya, ketika ruang tersebut dilanggar, maka timbul perasaan yang tidak nyaman (Haim, dkk., 2002). Di penjara, dengan kondisi yang serba terbatas, akan memungkin terjadinya pelanggaran terhadap ruang personal seseorang. Ketika pelanggaran itu terjadi, maka dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman, dan akan berlanjut mengalami kesesakan. Bila ini terjadi terus bisa menimbulkan perilaku agresif bagi orang yang dilanggar ruang personalnya.

Senin, 18 April 2011

kesesakan (artikel)

Sumber artikel;
http://vano2000.wordpress.com/2010/05/05/kesesakan-dan-perilaku-agresif-di-penjara/


dalam artikel, kesesakan yang terjadi dipenjara dalam teori kesesakan, muncul karena faktor lingkungan yang dimana capasity atau jumlah maksimum penghuni yang ditampung banyak. dalam teori perilaku, keadaan dapat dikatakan sesak apabila suatu kondisi yang membatasi aktifitas individu tersebut dalam suatu seting.
faktor lain yang memunculkan kesesakan yaitu faktor personal(berkaitan dengan tingginya kepadatan yang dapat memberikan kontribusi terhadap munculnya kesesakan) dan faktor sosial(berkaitan dengan kehadiran dan perilaku orang lain).

Stress

A. DEFINISI STRESS
Istilah stress dikemukakan oleh Hans Selye (dalam Prabowo, 1998) yang mendefinisikan stress sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh pada tiap tuntutan yang dikenakan padanya. Sedangkan menurut Lazarus (dalam Prabowo, 1998), stress adalah suatu keadaan psikologis individu yang disebabkan karena individu dihadapkan pada situasi internal dan eksternal. Definisi lain dating dari Robert S. Feldman (dalam Fausiah. F dkk, 2007) stress adalah suatu proses yang menilai suatu peristiwa sebagai sesuatu yang mengancam, menantang, ataupun membahayakan dan individu merespon peristiwa itu pada level fisiologis, emosional, kognitif dan perilaku
Terdapat 3 fase dalam stress:
1. Fase alarm
2. Fase Resistensi, dan
3. Fase Exhausted (kelelahan)

B. MODEL STRESS

Cox (dalam Prabowo, 1998) mengemukakan 3 model stress, yaitu:
1. Response-based model
Stres model ini mengacu sebagai kelompok gangguan kejiwaan dan respon-respon psikis yang timbul pada situasi sulit. Pusat perhatian dari model ini adalah bagaimana stressor yang berasal dari peristiwa lingkungan yang berbeda-beda dapat menghasilkan respon stress yang sama
2. Stimulus-based model
Memusatkan perhatian pada sifat-sifat stimulus stress. Tiga karakteristik penting dari stimuli stress adalah:
a. Overload: Ketika sebuah stimulus dating secara intens dan individu tidak dapat
mengadaptasi lebih lama lagi
b. Conflict: Terjadi ketika sebuah stimulus secara stimultan membangkitkandua
atau lebih respon-respon yang tidak berkesesuaian. Cenderung bersifat ambigu,
dalam artian stimulus tidak memperhitungkan kecenderungan respon yang wajar
c. Unconrollability: Terjadi pada peristiwa-peristiwa dari kehidupan yang
bebas/tidak tergantung pada perilaku diamana pada situasi ini menunjukan
tingkat stress yang tinggi.
3. Interactional model
Model perpaduan dari kedua model sebelumnya. Ini mengingatkan bahwa dua model terdahulu membutuhkan tambahan informasi mengenai motif-motif individual dan kempuan mengatasi. Prabowo (1998)
Pendekatan ini beranggapan bahwa keseluruhan pengalaman stress didalam beberapa situasi akan tergantung pada keseimbangan antara stressor, tuntutan dan kemampuan mengatasi. Prabowo (1998)

C. Jenis Stress
Setiap manusia tentu pernah mengalami stres. Stres menurut Robbins diartikan sebagai suatu kondisi yang menekan keadaan psikis seseorang dalam mencapai suatu kesempatan dimana untuk mencapai kesempatan tersebut terdapat batasan atau penghalang. Stres yang terjadi pada setiap manusia itu berbeda-beda. Untuk lebih mengetahui jenis-jenisnya. Berikut jenis-jenis Stres dengan berbagai pendapat :
a. Quick dan Quick (1984) mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu:
1. Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif,
dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan
individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan,
fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi.
2. Distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat,
negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi
individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat
ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan
sakit, penurunan, dan kematian.
b. Holahan menyebutkan jenis stress yang dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
1. Systemic stress
Systemic stress didefinisikan oleh Selye sebagai respon non spesifik dari
tubuh terhadap beberapa tuntutan lingkungan.
2. Psychological stres
Psychological stress terjadi ketika individu menjumpai kondisi lingkungan yang
penuh stress sebagai ancaman yang secara kuat menantang atau melampaui
kemampuan copingnya.

D. Stress Lingkungan
Dalam mengulas dampak lingkungan binaan terutam terhadap stress psikologis, Zimring mengajukan dua pengandaian. Pertama, stress dihasilkan oleh proses dinamik ketika orang berusaha memperoleh kesesuaian antara kebutuhan-kebutuhan dan tujuan dengan apa yang disajikan oleh lingkungan. Proses ini dinamik karena kebutuhan-kebutuhan individual sangat bervariasi sepanjang waktu dan berbagai macam untuk masing-masing individu terhadap lingkungannya juga berbagai macam. Kedua, bahwa variabel transmisi harus diperhitungkan bila mengkaji stress psikologisyang disebabkan oleh lingkungan binaan. Misalnya perkantoran, status, anggapan tentang control, pengaturan ruang dan kualitas lain dapat menjadi variabel transmisi yang berpengaruh pada pandangan individu terhadap situasi yang dapat dipakai untuk menentukan apakah situasi tersebut menimbulkan stress atau tidak.
Lazarus dan Folkman (dalam Baron dan Byrne, 1991) mengidentifikasikan stres lingkungan sebagai ancaman-ancaman yang dating dari dunia sekitar. Singer dan Baum (dalam Evans, 1982) mengartikan stres lingkungan dalam 3 faktor, yaitu :
1. Stressor fisik (suara)
2. Penerimaan individu terhadap stressor yang dianggap sebagai ancaman (appraisal of
the stressor.
3. Dampak stressor pada organism (fisiologis)



Sumber:
Prabowo.H, (1998), Arsitektur Psikologi dan Masyarakat Seri Diktat Kuliah, Depok: Penerbit Gunadarma
Fausiah. F, Widury. J,(2005), Psikologi Abnormal Klinis Dewasa, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
http://www.elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab7-stres_lingkungan.pdf

Privasi

A. Definisi Privasi
Menurut Altman (dalam Prabowo, 1998), mendefinisikan privasi adalah proses pengontrolan yang selektif terhadap akses kepada diri sendiri dan akses kepada orang lain. Sedangkan menurut Rapoport (dalam Prabowo, 1998) mendefinisikan privasi sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan-pilihan dan kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan
Adapun menurut Altman (dalam Prabowo, 1998) fungsi dari privasi. Pertama, privasi adalah pengaturan dan pengontrol interaksi interpersonal yang berarti sejauh mana hubungan dengan orang lain diinginkan, kapan waktunya menyendiri dan kapan waktunya bersama-sama dengan orang lain. Fungsi privasi kedua adalah merencanakan dan membuat strategi untuk berhubungan dengan orang lain. Fungsi ketiga privasi adalah memperjelas identitas diri

B. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Privasi

Adapun menurut Prabowo (1998) factor-faktor yang dapat mempengaruhi privasi antara lain:
1. Faktor Personal
Marshall (dalam Prabowo, 1998) mengatakan bahwa perbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan privasi. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa orang yang banyak menghabiskan waktunya di perkotaan akan lebih memilih keadaan anonym dan intimacy.
2. Faktor Situasional
Menurut Gifford (dalam Prabowo, 1998) beberapa hasil penelitian tentang privasi dalam dunia kerja, secara umum menyimpulkan bahwa kepuasan terhadap kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang di dalamnya untuk menyendiri.
3. Faktor Budaya
Penemuan dari beberapa peneliti tentang privasi dalam berbagai budaya memandang bahwa pada tiap-tiap budaya tidak ditemukan adanya perbedaan dalam banyaknya privasi yang diinginkan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapat privasi. Gifford (dalam Prabowo, 1998)

C. Pengaruh Privasi terhadap Perilaku
Sepeti layaknya manusia pada umumnya, saat privasi kita terganggu maka secara langsung akan menimbulkan rasa tidak menyenangkan pada diri. Menurut Westin (dalam Prabowo , 1998) dengan privasi kita juga dapat melakukan evaluasi diri dan membantu kita mengembangkan dan mengelola perasaan otonomi diri (personal autonomy). Otonomi ini meliputi perasaan bebas, kesadaran memilih dan kemerdekaan dari pengaruh orang lain.

D. Privasi dalam Konteks Budaya
Faktor budaya berkaitan dengan erat dengan perbedaan tentang privasi ditiap kebudayaan yang ada. Misalnya saja orang Arab menginginkan tinggal di dalam rumah yang memiliki dinding tinggi dan padat yang mengelilingi rumah mereka. Gifford (dalam Prabowo, 1998). Masih menurut penelitian Gifford, di suatu desa yang terletak di Bagian Selatan India, justru orang-orang tersebut tidak merasa betah bila terpisah dengan tetangganya.


Sumber:
Prabowo. H, (1998). Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat Seri Diktat Kuliah, Depok: Penerbit Gunadarma.
Prabowo, H. (1998). Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma.

Teritorialitas

A. Definisi Teritorialitas
Menurut Holahan (dalam Iskandar, 1990), menyatakan bahwa territorial adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilik atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan cirri pemiliknya dan pertahanan dari serangan orang lain.
Lalu jika ada yang bertanya apa perbedaan antara terotorial dengan ruang personal? Maka jawabannya merujuk pada pendapat Sommer dan de War (1963) bahwa territorial bersifat menetap sehingga tak bisa berubah, sedangkan jika ruang personal akan terus kita bawa kemanapun kita pergi.

B. Elemen-elemen Teritorialitas
Ada beberapa ahli yang mengemukakan tentang elemen-elemen territorial diantara para ahli tersebut adalah:
1. Porteus (dalam Lang, 1987) mengidentifikasi 3 kumpulan tingkat spasial yang
saling terkait satu sama lain:
a. Personal space, yang telah banyak dibahas di muka.
b. Home Base, ruang-ruang yang dipertahankan secara aktif, misalnya rumah
tinggal atau lingkungan rumah tinggal.
c. Home Range, seting-seting perilaku yang terbentuk dari bagian kehidupan
seseorang.
2. Sedangkan menurut Lang (1987), terdapat empat karakter dari territorial, yaitu
a)Kepemilikan atau hak dari suatu tempat
b)Personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu
c)Hak untuk mepertahankan diri dari gangguan luar
d)Pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar
psikologis sampai kepada kepuasaan kognitif dan kebutuhan-kebutuhan estetika.

C. Teritorialitas dan Perbedaan Budaya

Menurut penelitian oleh Smith (dalam Gifford, 1987) dan Edney and Jordan Edney (dalam Gifford, 1987). Penelitian ini meneliti tentang orang dengan kewarganegaraan Perancis, Jerman, dan Amerika. Terbukti bahwa Warga Jerman memiliki sifat territorial paling besar dari ketiga kewarganegaraan lainnya. Dalam penggunaan pantai. Mereka sering memakai penghalang benteng pasir yang meruapakan tanda bahwa pantai disediakan untuk kelompok tertentu. Walau secara bentuk ketiga nya hamper sama, namun Jerman memiliki penuntutan territorial [aling besar diantara yang lainnya.


Sumber:
Prabowo. H, (1998), Arsitektur Psikologi dan Masyarakat Seri Diktat Kuliah, Depok: Penerbit Gunadarma
www.elearning.gunadarma.ac.id/…/bab5-ruang_personal_dan_teritorialias.pdf

Ruang Personal

A. Definisi Ruang Personal(Personal Space)
Istilah personal space pertama kali digunakan oleh katz pada tahun 1973 dan bukan merupakan sesuatu yang unik dalam istilah psikologi, karena istilah ini juga dipakai dalam bidang biologi, antropologi dan arsitektur (Yusuf, 1991).
Sedangkan Goofman (dalam Altman, 1975) menggambarkan ruang personal sebagai jarak/daerah disekitar individu dimana dengan memasuki daerah orang lain, menyebabkan orang lain tersebut merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang, dan kadang-kadang menarik diri.

Edward T Hall membagi 4 zona spasial dalam interaksi social, yang terdiri dari: jarak intim, jarak personal, jarak social, dan jarak public.
1. Jarak Intim
Jarak dekat atau akrab. Jarak antara 0-18 inchi. Pada zona ini seseorang dapat merasakan kehadiran orang lain dengan jelas. Hal ini karena seseorang dengan jarak sedekat ini dapat merasakan panas tubuh, bau, suara sampai tarikan nafas. Sedangkan pada jarak 0-6 inchi atau sering disebut dengan fase dekat pada jarak intim, kontak fisik menjadi teramat penting. Misal saat seseorang sedang bercinta, atau bermain gulat atau sumo.
2. Jarak Pribadi
Memiliki jarak antara 1,5 – 4 kaki. Dan masih dibagi lagi menjadi dua fase. Yaitu fase dekat (1,5 – 2,5 kaki) dan fase jauh (2,5 – 4 kaki). Fase dekat memiliki kesamaan dengan jarak intim. Seseorang masih bisa mencium bau, sentuhan dan lain-lain. Namun tidak terjadi sepertinya halnya saat seseorang bercinta atau bergulat. Sedangkan fase jauh, jaraknya memanjang dimana saat seseorang saling mengulurkan tangan baru terjadi sentuhan. Namun komunikasi masih dapat dilakukan, karena masih dapat mengamati beberapa hal dari lawan bicara, seperti warna rambut, mimic muka, ekspresi dan lain sebagainya
3. Jarak social
Memiliki jarak 4 – 25 kaki dan merupakan jarak yang masih memungkinkan untuk melakukan kontak social maupun hubungan bisnis. Keras dan nyaring nya suara menjadi bagian yang penting dan dengan mudah dapat dideteksi, namun hal-hal seperti fase sebelumnya menjadi kurang penting.
4. Zona public
Berjarak 12 – 25 kaki. Jarak ini biasa terdapat dalam pembicaraan-pembicaraan formal. Seperti seminar, pidato dan lain sebagainya.

B. Ruang Personal dan Perbedaan Budaya
Sama halnya dengan kesesakan. Ruang personal juga memiliki perbedaan ditiap budaya dalam negara-negara yang ada di dunia. Seperti orang Jerman yang memiliki sensitifitas terhadap gangguan. Sedangkan orang-orang Inggris adalah orang yang pribadi atau private. Penelitian juga menemukan bahwa orang Arab memiliki jarak interpersonal lebih dekat disbanding dengan orang-orang Amerika yang memiliki jarak interpersonal yang lebih jauh lagi.


Sumber:
Prabowo.H. (1998). Arsitektur Psikologi dan Masyarakat Seri Diktat Kuliah. Depok. Penerbit Gunadarma.
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab5-ruang_personal_dan_teritorialias.pdf

Kesesakan

A. Pengertian Kesesakan
Kepadatan memiliki perbedaan dengan kesesakan, walaupun masih belum jelas benar dimana letak perbedaannya. Bahkan banyak dari masyarakat awam yang mendefinisakan antara kepadatan sama dengan kesesakan. Walaupun mungkin kesesakan memiliki level yang lebih tinggi dibanding dengan kepadatan.

Menurut Altman (1975) kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Kepadatan yang tinggi dapat menimbulkan kesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).

Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa suatu keadaan dimana kepadatan bisa dikatakan sebagai kesesakan bila memiliki empat faktor:
1. Karakteristik seting fisik
2. Karakteristik seting social
3. Karakteristik personal
4. Kemampuan beradaptasi
Adapun pendapat lain yang datang dari Kapoport (dalam Stokols dan Altman, 1987) yang mengungkapkan bahwa kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besarnya ruang tidak dirasa tidak mencukupi, sebagai kelanjutan dari persepsi langsung terhadap ruang yang tersedia. Namun kembali lagi, bahwa kesesakan adalah suatu persepsi. Sehingga kesesakan memiliki makna yang berbeda ditiap individu.

B. Teori- Teori Kesesakan
Teori-Teori kesesakan secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian: Kendala perilaku, teori ekologi, dan beban stimulus.
1. Teori Beban Stimulus
Teori ini muncul karena pandangan bahwa kesesakan akan terbentuk saat stimulus yang masuk kedalam diri individu melebihi kapasitas nya, sehingga timbul suatu kegagalan pemrosesan stimulus atau informasi dari lingkungannya. Berlebihnya informasi yang masuk dapat terjadi karena beberapa aspek, yaitu:
• Kondisi fisik yang tidak menyenangkan
• Jarak fisik antar individu terlalu dekat
• Suatu percakapan yang tidak diinginkan
• Terlalu banyak teman dalam berinteraksi
• Interaksi yang ada terlalu lama.
Namun layaknya proses kognitif, individu juga melakukan suatu penyaringan terhadap semua informasi yang masuk, sehingga informasi yang masuk ke diri individu hanya lah yang menurut individu tersebut penting atau essensial, sedangkan yang lainnya akan menghilang.

2. Teori Ekologi
Menurut Wicker (1976) mengemukakan teorinya tentang meaning. Menurutnya kesesakan muncul karena factor lingkungan dimana hal tersebut itu terjadi.
Analisa terhadap seting meliputi
1. Maintanence Minimum, Yaitu jumlah minimum manusia yang mendukung suatu seting agar suatu aktivitas dapat berlangsung.
2. Capacity, jumlah maksimum penghuni yang dapat ditampung oleh suatu lingkungan
3. Aplicant, jumlah penghuni yang mengambil bagian-bagian dalam suatu lingkungan
Ketiga analisa tersebut memiliki suatu hubunga yang saling berkesinambungan, seperti saat applicant lebih sedikit dari pada maintanence minimum, berarti jumlah warga yang dibutuhkan untuk terjadinya suatu aktifitas tidak mencukupi

3. Teori Kendala Perilaku
Teori ini berpendapat bahwa suatu keadaan dapat dikatakan sesak apabila suatu kondisi yang membatasi aktifitas individu tersebut dalam suatu seting. Menurut teori ini, bila timbul gangguan terhadap kebebasan berperilaku, maka akan menimbulkan semacam penolakan psikologis dari dalam diri individu tersebut. Kesesakan timbul karena adanya usaha-usaha yang terlalu banyak, yang membutuhkan energy fisik maupun psikis untuk mengatur tingkat enteraksi yang diinginkan. Energi fisik dipakai untuk menjaga ruang personal yang dimiliki, selain itu juga untuk mempertahankan teritori dari gangguan orang lain. Energy fisiologis timbul ketika individu berusaha mengatur interaksi dengan orang lain.

C. Faktor Pengaruh Kesesakan
1. Faktor Personal
Terdiri dari Kontrol pribadi atau locus of control, yang hal ini berkaitan dengan tingginya kepadatan yang dapat memberikan kontribusi terhadap munculnya kesesakan. Sedangakn budaya memiliki kaitan tentang persepsi masyarakat tentang kesesakan itu sendiri. Dan yang terakhir dalam factor personal adalah jenis kelamin, ditemukan penelitian bahwa pria memiliki pengalaman kesesakan lebih disbanding wanita karena lebih menunjukan sikap reaktif terhadap kondisi tersebut.
2. Faktor Sosial
Faktor-faktor ini berkaitan dengan kehadiran dan perilaku orang lain, formasi koalisi, kualitas hubungan yang berkaitan dengan bagaimana orang lain memiliki suatu cara berpikir yang sama sehingga kesesakan dapat berkurang, dan informasi yang tersedia, dalam artian kesiapan individu tersebut terhadap kesesakan yang akan terjadi. Jika individu tersebut memiliki informasi sebelumnya tentang kepadatan yang terjadi maka ia akan merasa lebihsiap disbanding dengan individu yang tidak memiliki info sama sekali.

D. Pengaruh Kesesakan terhadap Perilaku
• Menurunnya kualitas hidup (Freedman, 1973)
• Aktifitas seseorang akan terganggu oleh aktifitas orang lain.
• Disorganisasi keluarga, agresi, penarikan diri secara psikologi (psychological withdrawal)
• Gangguan terhadap norma tempat dapat meningkatkan gejolak dan ketidaknyamanan (Epstein, 1982)


Sumber:
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab4-kepadatan_dan_kesesakan.pdf
Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma.

Jumat, 04 Maret 2011

Mereka Bertahan di Gang Sempit


Permukiman padat penduduk di tepi rel kereta api di kawasan Petamburan, Jakarta, Jumat (7/1/2011)

KOMPAS.com — Sepintas melintas di Kelurahan Tanah Tinggi, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat, kondisinya seperti permukiman biasa. Namun, di antara rumah itu, terselip gang-gang. Sebagian selebar kurang dari 1 meter. Di kiri kanan gang itu berdiri rumah petak dengan penduduk yang tidak sedikit.

Walau gang sempit dan sanitasi pas-pasan, Carsinem bertahan di situ, di rumah petak bersama suami dan seorang anaknya. Rumah itu berada di RT 04 RW 05 Kelurahan Tanah Tinggi.

Di seberang rumahnya, tinggal Herlina—anak sulungnya—bersama keluarganya. Herlina juga tinggal di rumah petak.

Kehidupan Carsinem ditopang dari ketan-serundeng yang setiap hari dimasak olehnya. Lantaran rumah yang terlalu sempit, Carsinem memasak di depan rumah. Ketan yang sudah matang sebagian besar dijual Herlina. Ada pula tetangga yang turut mengambil ketan dan menjualkan ke pasar.

Herlina biasa membawa dagangan itu ke Pasar Gembrong yang tidak jauh dari rumah mereka. ”Selain ketan, saya juga menjual susu kedelai,” kata Herlina.

Dari hasil menjual ketan, Carsinem bisa mengantongi keuntungan Rp 50.000 per hari. Itu kalau semua dagangan habis terjual. Jika tidak, tentu hasilnya tidak sampai segitu.

Uang itulah yang digunakan Carsinem untuk mencukupi makan sehari-hari dan aneka kebutuhan. Kebutuhan harian yang dikeluarkannya, antara lain, untuk membayar uang pakai kakus sebesar Rp 500 sekali pakai.

Hal serupa terjadi di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Sebagai kecamatan kedua terpadat di DKI Jakarta, sejumlah gang di kecamatan ini juga ditumbuhi rumah petak yang rapat. Kondisinya mirip dengan Johar Baru, lengkap dengan gang sempit dan rumah sempit yang dihuni banyak orang.

Samin (70), salah seorang warga RT 02 RW 03 Kelurahan Jembatan Besi, Kecamatan Tambora, mengatakan, pertumbuhan penduduk diikuti dengan menjamurnya rumah di setiap jengkal lahan yang ada. Akibatnya, pemandangan di tempat itu hanya melulu rumah tinggal yang berimpitan, menjulang hingga dua atau tiga lantai, menutup semua pemandangan di luar perkampungan itu.

Kepadatan tidak hanya terjadi di luar rumah Samin. Di dalam rumahnya sendiri, kepadatan itu juga sangat terasa. Rumah ukuran 4 meter x 8 meter berlantai dua itu harus dihuni oleh 18 orang, yaitu Samin, istrinya, kedelapan anaknya, empat menantu, dan empat cucu. ”Semua tinggal di sini, makan di sini,” ujarnya.

Mereka menempati kamar-kamar kecil di lantai atas rumah yang terbuat dari papan dan kayu. Samin membuka warung makan kecil yang mengambil sebagian ruang tamu dan teras rumahnya.

Kepadatan di sekitar tempat tinggalnya, menurut Samin, sudah mulai terjadi sekitar 1980-an. Makin kemari, jumlah pendatang ke tempat itu makin tidak terkendali.

Gang-gang sempit antarrumah pun dimanfaatkan untuk memasak, mencuci, dan kegiatan rumah tangga lain. Di salah satu gang, Gang Venus, suasana terasa pengap dan gelap karena tidak mendapat sinar matahari. Langit tertutup bangunan yang menyatu di bagian atasnya.

Tidak hanya itu, kepadatan penduduk yang teramat sangat juga memudahkan terjadi pergesekan sosial antarwarga yang berujung pada berbagai kejadian, seperti tawuran. Di Johar Baru bahkan sedikitnya ada tiga titik lokasi tawuran. Di Tambora, menurut Cholil, Ketua RW 3 Jembatan Besi, tawuran antarpemuda bisa terjadi hampir setiap pekan.

Kohesi sosial

Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Fadhil Imran, dalam karya tulisnya berjudul ”Determinan Ekologi terhadap Kejahatan” menyebutkan, ada dua penyebab munculnya kejahatan di kawasan kumuh padat, yaitu kondisi fisik lingkungan yang kumuh dan miskin infrastruktur serta lingkungan sosial yang tidak bersahabat.

Dari dua penyebab itu, lingkungan sosial menjadi penentu utama. Lingkungan sosial ditentukan dua hal, yaitu tingkat kepadatan penduduk dan kohesi sosial.

”Semakin padat kawasan kumuh, kawasan tersebut akan semakin tertekan kemiskinan. Semakin kawasan tersebut tertekan kemiskinan, semakin lemah kohesi sosial di kawasan tersebut. Semakin lemah kohesi sosial, semakin tinggi tingkat kejahatan,” tuturnya saat ditemui di ruang kerjanya, kemarin.

Sistem dan struktur sosial pun kemudian berubah dan ditentukan tingkat pendapatan seseorang tanpa melihat lagi halal haramnya pendapatan. ”Yang terbentuk kemudian hubungan patron client dunia kejahatan jalanan di lingkungan tersebut,” ujar Fadhil.

”Solusi jangka pendeknya adalah mengurangi luas kawasan kumuh sampai pada titik minimal syarat sosial sebuah komunitas kawasan dipenuhi,” ucapnya.

Kepala Pusat Kesehatan Mental Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Rahmat Hidayat mengatakan, setiap orang membutuhkan minimal 10 meter persegi untuk ruang pribadi.

Padatnya penduduk di permukiman dan kemiskinan merupakan faktor risiko yang memengaruhi kesehatan jiwa seseorang. Setiap individu memiliki kapasitas atau kemampuan yang berbeda untuk beradaptasi dengan kondisi yang ada.

Untuk itu, pembangunan perkotaan perlu memerhatikan keberadaan ruang publik yang bisa digunakan masyarakat untuk melepas stres dan berinteraksi dengan sesama.

Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto berpendapat, lonjakan jumlah penduduk tanpa diimbangi pertambahan peluang ekonomi akan membuat kemiskinan yang dialami masyarakat makin meluas dan mendalam. Tekanan kemiskinan yang parah membuat masyarakat frustrasi dan dilampiaskan dalam berbagai perilaku negatif, mulai sikap anarki hingga bunuh diri.

Diperlukan langkah berani untuk menata kawasan itu. Pembangunan rumah susun sudah sangat mendesak, begitu pula dengan penertiban bangunan yang melanggar ketentuan, penindakan pemakaian listrik ilegal, serta pendataan dan pengawasan arus keluar masuk penduduk.
Kalau tidak, kawasan kumuh di Jakarta tidak akan pernah hilang. (MZW)

Sumber: http://megapolitan.kompas.com/read/2011/01/19/09312256/Mereka.Bertahan.di.Gang.Sempit

KEPADATAN

A. Pengertian Kepadatan
Kepadatan atau density ternyata mendapat perhatian yang serius dari para ahli psikologi lingkungan. Menurut Sundstrom, kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan (dalam Wringhtsman & Deaux, 1981). Atau sejumlah individu yang berada di suatu ruangan atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan,1982; Heimstra dan Mcfarling, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating,1978). Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwano,1992).
Penelitian tentang kepadatan pada manusia berawal dari penelitian terhadap hewan yang dilakukan oleh John Calhoun. Penelitian Calhoun ini bertujuan untuk mengetahui dampak negative kepadatan dengan menggunakan hewan percobaan tikus. Hasil penelitian ini menunjukan adanya perilaku kanibal pada hewan tikus seiring dengan bertambahnya jumlah tikus (dalam Worchel dan Cooper, 1983)
Pertama dalam jumlah yang tidak padat (kepadatan rendah), kondisi fisik dan perilaku tikus berjalan normal. Tikus-tikus tersebut dapat melaksanakan perkawinan, membuat sarang, melahirkan, dan membesarkan anaknya seperti halnya kehidupan alamiah.
Kedua, adalah kondisi kepadatan tinggi dengan pertumbuhan populasi yang tak terkendali, ternyata memberikan dampak negative terhadap tikus-tikus tersebut. Terjadi penurunan fisik padda ginjal, otak, hati, dan jaringan kelenjar, serta penyimpangan perilaku seperti hiperaktif, homoseksual, dan kanibal.
Penelitian terhadap manusia yang pernah dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi,1991) mencoba memerinci : bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yang terjadi; bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku social; dan bagaimana dampaknya terhadap task performance (kinerja Tugas)? Hasil nya memperlihatkan ternyata banyak hal yang negative akibat dari kepadatan.
Pertama ketidak nyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.
Kedua, peningkatan agresifitas pada anak-anak dan orang dewasa (Mengikuti kurva linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung) bila kepadatan tinggi sekali Hight spatial density). Juga kehilangan minat berkomunikas, kerjasama, dan tolong menolong sesama anggota kelompok.
Ketiga, terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menutut hasil kerja yang kompleks.

B. Kategori kepadatan.
Menurut Altman (1975), di dalam studi sosiologi sejak tahun 1920an, variasi indicator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku social. Variasi indicator kepadatan itu meliputi jumlah individu dalam sebuah kota, jumlah individu pada daerah sensus, jumlah individu pada unit tempat tinggal, jumlah ruangan pada unit tempat tinggal, jumlah bangunan pada lingkungan sekitar dan lain-lain. Sedangkan Jain (1987) berpendapat bahwa tingkat kepadatan penduduk akan di pengaruhi oleh unsur –unsur yaitu jumlah individu pada setiap ruang, jumlah ruang pada setiap unit ruamh tinggal, jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan jumlah struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Hal itu berarti bahwa setipa pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda tergantung dari kontribusi unsure-unsur tersebut.
Kepadatan dapat dibedakan kedalam bebrapa kategori Holahan (1982) mengggolongkan kepadatan kedalam dua kategori, yaitu kepadatan spasial (Spatial density) yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang, dan kepadatan sosoial (social density) yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat dalam (inside density) yaitu jumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepdatan didalam rumah, kamar, dan kepadatan luar (outside density) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim disuatu wilayah pemukiman.
C. Akibat-akibat kepadatan tinggi
Rumah dan lingkungan pemukiman akan member pengaruh psikologis pada individu yang menempatinya. Taylor (dalam Gilford,182) berpendapat bahwa lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalm mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal individu disuatu tempat tinggal. Rumah dan lingkungan pemukiman yang memiliki situasi dan kondisi yang baik dan nyaman seperti memiliki ruang yang cukup untuk kegiatan pribadi akan memberikan kepuasan psikis pada individu yang menempatinya. Schorr (dalam ittelson, 1974) mempercayai bahwa macam dan kualitas pemukiman dapat memberikan pengaruh penting terhadap persepsi diri penghuninya, stress dan kesehatan fisik, sehingga kondisi pemukiman ini tampaknya berpengaruh pada perilaku dan sikap-sikap orang yang tinggal disana (Ittelson, 1974). Penelitian Valins dan Baum ( dalam Heimstra dan McFarling,1978) menunjukan addanya hubungan yang erat antara kepdatan dengan interaksi social. Para mahasiswa yang bertempat tinggal diasrama yang padat sengaja mencari dan memilih tempat duduk yang jauh dari orang lain, tidak berbicara dengan orang lain yang berada di tempat yang sama. Dengan kata lain mahasiswa yang tinggal ditempat padat cenderung untuk menghindari kontak social dengan orang lain.
Penelitian terhadap kehidupan dalam penjara juga membuktikan tentang pengaruh kepadatan tempat tinggal. Penelitian D’Atri dan McCain (dalam Sears dkk, 1994) membuktiakn bahwa narapidana yang ditempatkan seorang diri di dalam sel ternyata memiliki tekanan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan narapidana yang tinggal dalam penjara tipe asrama.
Rumah dengan luas lantai yang sempit dan terbatas apabila oleh sejumlah individu umumnya menimbulkan pengaruh negative pada penghuninya (Jain,1987). Hal ini terjadi karena dalam rumah tinggal yang terbatas umumnya individu tidak memilki ruang atau tempat yang dapat dipakai untuk kegiatan pribadi. Keterbatasan ruang memungkinkan individu sering harus bertemu dan berhubungan dengan orang lain baik secara fisik maupun verbal, sehingga individu memperoleh masukan yang berlebihan. Keadaan tersebut dapat menyebabkan individu merasa tidak mampu mengolah dan mengatur masukan yang diterima. Individu menjadi terhambat untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Keadaan tersebut pada akhirnya menimbulkan perasaan sesak pada individu penghuni ruamh tinggal tersebut.
Kepadatan tinggi merupakan stressor lingkungan yang dapat menimbulkan kesesakan bagi individu yang berada didalamnya (Holahan,1982). Stressor lingkungan, menurut Stokols (dalam Brigham,1991), merupakan salah satu aspek lingkungan yang dapat menyebabkan stress, penyakit atau akibat-akibat negative pada perilaku masyarakat.
Akibat secara fisik yaitu reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain (Heimstra dan McFarling,1978). Akibat secara social antara lain adanya masalah social yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja (Heimstra dan Mc Farling, 1978;Gifford,1987).
Akibat secara psikis antara lain :
a. Stress, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan persaan negative, rasa cemas, stress (Jain,1987) dan perubahan suasana hati (Holahan,1982).
b. Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling,1978;Holahan ,1982;Gifford,1987).
c. Perilaku menolong (perilaku prososial), kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untuk menolong atau member bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan 1982;Fisher dkk,1984).
d. Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu (Holahan,1982).
e. Perilaku agresi, situasi padat yang di alami individu dapat menumbuhkan frustasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan,1982).
D. Kepadatan dan perbedaan Budaya
Menurut Koerta (dalam Budihardjo,1991) faktor-faktor seperti ras, kebiasaan, adat istiadat, pengalaman masa silam, struktur social, dan lain-lain, akan sangat menentukan apakah kepadatan tertentu dapat menimbulkan perasaan sesak atau tidak.
Epstein (dalam Sears dkk.,1994) menemukan bahwa pengaruh kepadatan tinggi tempat tinggal tidak akan terjadi apabila penghuni mempunyai sikap kooperatif dan tingkat pengendalian tertentu. Pada suatu keluarga tampaknya tidak akan banyak mengalami kesesakan, karena mereka umumnya mampu “mengendalikan” rumah mereka dan mempunyai pola interaksi yang dapat meminimalkan timbulnya masalah tempat tinggal yang memiliki kepadatan tinggi.
Hasil penelitian Anderson (dalam Budihardjo,1991) terungkap bahwa komunitas tradisional etnis china di Hongkong, Singapura, dan Penang sudah sejak dulu terbiasa dengan kepadatan tinggi, tanpa merasa sesak. Ideologi nenek moyang mereka yang mendorong setiap keluarga agar melestarikan kehidupan lima generasi sekaligus di bahwa satu atap yang sama, telah berhasil menangkal kesesakan itu. Suara-suara bising dari anak-anak cucu justru dinilai sangat tinggi dalam kehidupan. Selain itu, atas dasar pertimbangan ekonomi, keluarga dari Negara-negara timur tidak segan-segan untuk menyewakan kamar-kamar didalam rumahnya untuk disewakan kepada orang lain, demi memperoleh penghasilan ekstra. Jadi kepadatan bukanlah penyebab stress, melainkan justru mencegahnya. Karena selain memperoleh tambahan penghasilan, mereka juga dapat memperluas persaudaraan dan interaksi social.
Gambaran lain di ungkap oleh Setiadi (1991) bahwa bangsa amerika sudah dapat merasakan dampak negative yang luar biasa pada kepadatan sekitar 1500 orang/ha, dengan terjadinya banyak penyimpangan perilaku social, pembunuhan, perkosaan dan tindak criminal lainnya. Sementara itu, di jepang dan Hongkong dengan kepadatan 5000/ha pada bagian kota-kota tertentu, ternyata kejahatan/criminal disana masih lebih rendah.


Kepadatan dan Kesesakan
2 Ciri dari Kepadatan dan Kesesakan :
- Kesesakan adalah persepsi terhadap kepadatan dalam arti jumlah manusia, jadi tidak termasuk yang non-manusia.
o Contoh : Orang yang berada di hutan yang penuh pohon-pohon tidak merasa kesesakan, tetapi orang yang berada dalam kamar mandi/toilet umum yang padat pengunjungnya akan merasakan kesesakan.
- Karena kesesakan adalah persepsi maka sifatnya subyektif.
o Orang yang biasa naik bis yang padat penumpangnya, sudah tidak merasa sesak lagi (density tinggi – crowding rendah).
o Orang yang bisa mengendarai kendaraan pribadi, merasa sesak dalam bis yang setengah kosong ( density rendah – crowding tinggi).
Perbedaan kepadatan dan kesesakan :
a. Kepadatan (density) : kendala kekurangan (bersifat obyektif).
b. Kesesakan (crowding) : respon subyektif terhadap ruang yang sesak.
Kepadatan memang merupakan syarat yang diperlukan untuk timbulnya persepsi kesesakan, tetapi bukanlah syarat yang mutlak.
Manusia membedakan kepadatan di dalam rumahnya (Inside density) dan di luar rumahnya (Outside density).
Dari kombinasi 2 jenis kepadatan tersebut diperoleh 4 jenis kepadatan :
1. Kepadatan pedesaan
Kepadatan dalam rumah tinggi, tetapi kepadatan di luar rendah.

2. Kepadatan pinggiran kota (sub urban)
Kepadatan di dalam dan di luar rendah.

3. Kepadatan pemukiman kumuh di kota
Kepadatan di dalam dan di luar tinggi.

4. Kepadatan pemukiman mewah di kota besar
Kepadatan di dalam rumah rendah tetapi di luar tinggi.

Dampak kepadatan dan kesesakan pada manusia
Patologi Sosial
Meningkatnya,
- Kejahatan
- Bunuh diri
- Penyakit jiwa
- Kenakalan remaja
Tingkah laku sosial
- Agresi
- Menarik diri dari lingkungan sosial
- Berkurangnya tingkah laku menolong
- Kecenderungan menjelekkan orang lain
Kinerja
- Hasil dan prestasi kerja menurun
- Suasana hati (mood) cenderung lebih murung

Akibat Kepadatan Tinggi
Menurut Heimstra dan Mc Farling (1978) kepadatan memberikan akibat bagi manusia baik secara fisik,
sosial maupun psikis. Akibat secara fisik yaitu reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain (Heimstra dan McFarling, 1978).
Akibat secara sosial antara lain adanya masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja (Heimstra dan McFarling, 1978; Gifford, 1987).
Akibat secara psikis antara lain: stres, menarik diri, perilaku menolong (perilaku prososial), kemampuan mengerjakan tugas, perilaku agresi.

Sumber : Prabowo, H. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Seri Diktat Kuliah. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
Dharma, Agus.Teori Arsitektur 3.Jakarta:Gunadarma,1998.

KETIKA IKLAN MULAI DI BENCI

Artikel Psikologi Lingkungan

Data dari AC Nielsen menunjukkan bahwa tidak lebih 40% pemirsa televisi yang tertarik dengan iklan. Pembelian produk lebih banyak dipengaruhi oleh situasi terakhir di depan rak-rak toko. Fenomena yang semakin mengukuhkan peran media in store sebagai ujung tombak penjualan. Iklan dinilai tidak lagi membumi dan mengambil jarak yang terlampau jauh dengan keinginan konsumen. Konsumen yang pada awal perkembangan pasar dimaknai sebagai pihak yang pasif dan sangat tergantung pada produsen, pada gilirannya semakin otonom. Produsen tidak mampu mengedukasi pasar tanpa menanamkan keterlibatan konsumen dalam proses pemasaran yang tengah dijalankan.
Konsep tradisional marketing senanantiasa menempatkan media, khususnya televisi, sebagai sarana handal untuk membangun performa produk atau merek di mata konsumen. Prinsip tersebut mulai bergeser ketika pasar semakin kompetitif sehingga penempatan iklan dalam konteks above the line (media lini atas) maupun below the line (media lini bawah) dipandang tidak lagi relevan. Prinsip “radical marketing” cenderung berfikir “out of the box”, berfikir di luar kerangka yang sudah ada. Prinsip tradisional lebih terfokus pada produk dan benefit (produk as hero) yang ditawarkan, sedangkan konsep radical marketing lebih terfokus pada pelanggan (consumer) sebagai end user langsung. Jabaran konsep radical marketing tidak semata-mata menyajikan konsep pemasaran dengan pendekatan hard selling, tetapi lebih kepada penciptaan persepsi positif dan empati konsumen melalui berbagai lini yang saling terintegrasi.
Fenomena pemasaran yang beriringan dengan kejenuhan konsumen terhadap periklanan. Iklan yang terlampau banyak, utamanya pada media televisi, mulai diragukan efektivitasnya. Fenomena yang oleh Ries (2004) dinilai sebagai akhir dari kejayaan periklanan. Iklan telah mencapai titik terendah dalam kontribusinya untuk mendorong penjualan. Era yang oleh Ries disebut sebagai masa kematian periklanan dan kebangkitan peran public relation. Peran public relation dalam mendorong citra perusahaan atau citra merek dinilai lebih handal dibandingkan melalui kampaye periklanan. Kejayaan peran PR dalam kaca mata Ries lebih disebabkan peran komunikasi personal yang lebih baik dan berjalan secara simultan, sebuah kondisi yang sulit digantikan oleh bentuk periklanan konvensional
Fenomena pasar yang semakin kompetitif, konsumen yang semakin selektif dan ditunjang oleh semakin miskinnya peran iklan dalam mengangkat penjualan produk, melahirkan beberapa konsep periklanan baru dan prinsip-prinsip pemasaran yang elastis. Periklanan tidak lagi dimaknai sebagai lini yang mengambil jalan berbeda dengan kebijakan marketing secara umum. Marketing tidak lagi berbicara tentang jalur-jalur produksi dan distribusi semata-mata. Pemaduan konsep marketing mix dalam satu jalur yang saling terintegrasi pada gilirannya menempatkan konsumen sebagai target dan sekaligus pijakan awal dalam bentuk-bentuk komunikasi pemasarannya. Bentuk-bentuk periklanan dalam kerangka throght the line dan penggunaan ambient media merupakan salah satu upaya memodifikasi pemasaran yang menempatkan konsumen acuan.

PRINSIP “USANG” PERIKLANAN KONVENSIONAL
Periklanan secara konvensional dimaknai sebagai tindakan persuasif untuk mempengaruhi audiens. Audiens diposisikan sebagai pihak yang pasif dan tidak otonom, sehingga setiap keputusan pembelian merupakan akibat panjang dari bentuk-bentuk perlakuan ekternal. Posisi konsumen sebagai pihak yang berjarak dengan produk-produk sehingga tindakan promosi diperlukan untuk mempersempit jarak tersebut. Pemberian citra-citra terhadap produk, yang pada gilirannya akan merubah persepsi konsumen merupakan salah satu indikasi keberhasilan proses periklanan yang dilakukan.
Perkembanan perekonomian yang diiringin perkembangan oreintasi produk melahirkan teori-teori periklanan baru. Keberadaan produk tidak lagi dilihat sebagai bagian dari upaya pemenuhan kebutuhan fisik semata-mata, tetapi lebih kepada pemenuhan kebutuhan psikologis. Konsumen tidak lagi dinilai sebagai sosok yang hanya berbicara pada tataran rasionalitas, tetapi pada perkembangannya lebih mengedepankan sisi emosionalitas (Kartajaya: 2003). Pembelian terhadap produk tidak lepas dari pertimbangan emosionalitas. Dimensi emosionlitas terlepas relasi gender ataupun usia, persepsi yang dapat muncul pada konsumen laki-laki maupun perempuan, atau pada usia muda maupun tua.
Teori-teori periklanan baru dibangun untuk menjembatani perkembangan konsumen yang memiliki perubahan orientasi produk. Prinsip-prinsip periklanan konvensional yang cenderung berfikir statis dinilai tidak lagi relevan untuk menjawab kebutuhan konsumen. Jim Aitchison (2004:48) melihat 8 kesalahan periklanan konvensional yang tidak lagi relevan dengan perkembangan fenomena konsumen diabad ke 21. Beberapa teori periklanan konvensional yang dinilai tidak relevan dengan perkembangan persepsi konsumen adalah:
1) Setiap kampanye periklanan harus senantiasa menampilan USP (Unique Selling Proposition) dari produk yang diiklankan.
2) Iklan yang baik senantiasa mengedepankan rational benefit.
3) Iklan bertema humor tidak memiliki daya jual.
4) Setiap produk harus mengetengahkan slogan yang mudah diingat.
5) Paparan visual iklan harus menampilan logo produk.
6) Tampilan visual produk harus selalu ditampilkan.
7) Setiap bentuk kampanye iklan harus senantiasa memiliki persamaan satu dengan lainnya.
8) Iklan-iklan kreatif tidak memiliki daya jual.
Delapan hal tersebut yang dinilai tidak lagi relevan dengan perkembangan konsumen dewasa ini. Pendapat Aitchison tersebut pada prinsipnya lebih ditujukan untuk membangun preferensi terhadap merek. Contoh-contoh yang dikemukakan lebih banyak berkutat pada produk-produk yang telah memiliki preferensi kuat.
Aitchison melihat penggunaan USP (Unique Selling Proposition) tidak lagi populer mengingat konsep USP senantiasa berbicara bila produk tersebut memiliki 3 aspek yaitu genuine, tangible, dan differences. Bila ketiga aspek tersebut tidak terpenuhi maka sangat sulit menciptakan USP. USP telah tergantikan dengan konsep ESP (Emotional Selling Proposition). Konsep ESP lebih mengetengahkan pendekatan emosional, sisi USP dinilai tidak lagi relevan mengingat seorang konsumen memiliki keterbatasan ingatan terhadap fungsi-fungsi fisik semua produk. ESP membangun hubungan yang lebih customized dengan konsumen. Pembelian terhadap produk lebih disebabkan oleh ikatan emosional antara produk tersebut dengan konsumen. Fenomena penggunaan ESP dapat ditemui dalam iklan Suzuki Swift. ESP diungkapakan antara lain dengan slogan yang berbunyi It’s Boy Thing. Iklan tersebut tidak menawarkan kelebihan apa-apa, mengingat mobil jenis hatchback tidak hanya Swift, disegmen yang sama terdapat Toyota Yaris.
Pendekatan rational benefit sebagai tema kampanye periklanan dinilai tidak lagi relevan dengan fenomena konsumen yang semakin tidak rasional. Atchitson (2004:54) melihat bahwa 90% otak manusia dipenuhi oleh hal-hal yang irrasional, fakta yang memperkuat peran irrational benefit sebagai tema kampanye periklanan. Differensiasi merek hanya dapat diciptakan melalui pembentukan karisma merek. Kharisma merek hanya mampu diciptakan dengan spritual value, yang didalamnya merangkum tidak hanya functional value tetapi juga emotional dan intellectual value (Kartajaya, 2003:72). Spiritual value merupakan salah satu bentuk dari hal-hal yang bersifat irasional.
Mahbubani (1997) mencatat ada banyak perbedaan cara berfikir antara Eropa dan Asia. Orang-orang Asia masih menaroh pendekatan spiritual dalam pola fikirnya (Batey, 2002:35). Hal yang sama terkait dalam persoalan humor. Humor merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam cara berfikir di Asia. Humor merupakan salah satu kekuatan yang dinilai mampu menjadi daya tarik penjualan. Fenomena humor mulai menjadi perhatian yang serius dalam konsep periklanan modern. Kenneth Roman (2005:117) mencatat bahwa diantara 30 iklan yang menang dalam festival iklan dalam 10 tahun terakhir, dua pertiga dari iklan tersebut menggunakan humor sebagai daya tariknya. Beberapa iklan dalam konteks through the line banyak mengetengahkan humor sebagai daya tariknya. Periklanan tidak lagi berpijak pada konsep produk as hero, tetapi dibingkai sebagai bentuk differensiasi, yang disalurkan dalam bentuk yang fun.
Timoty Foster (2006) menyebut 10 benchmarks (patokan) yang berkaitan dengan slogan yaitu memorable, recall the name, mengandung key benefit, differentiate, mencerminkan brand personality, believable, strategic, competitive, original, dan menimbulkan positive feeling. Konsep Foster tentang slogan dinilai tidak relevan untuk produk-produk yang telah memIliki brand awareness tinggi. Slogan yang memorable tidak selalu mampu meningkatkan persepsi terhadap merek. Tindakan yang mungkin dilakukan adalah menciptakan sisi emotional benefit.

Iklan-iklan yang mengedepankan sisi emosional benefit, lebih banyak berbicara secara visual. Elemen logo dalam visualisasi iklan tidak lagi menjadi suatu keharusan. Karakteristik produk dapat dibangun dengan elemen warna yang khas, penggunaan tipografi yang spesifik, komposisi yang unik atau melalui gaya bahasa yang khas. Komposisi warna, tipografi ataupun gaya bahasa, dinilai mampu menggantikan kehadiran logo. Bentuk periklanan yang semakin customized, sehingga tidak mampu diterjemahkan oleh setiap audiens yang melihat.
Produk yang berbicara pada sisi emosionalitas tidak memerlukan paparan visual yang berkesan menggurui. Paparan visual yang sederhana tanpa menampilkan produk yang bersangkutan menjadi suatu yang lazim. Iklan-iklan berbicara melalui visualisasi simbolis dengan mengetengahkan teks yang sangat minimal.
Prinsip similaritas dalam setiap kampanye periklanan dinilai tidak relevan dengan perkembangan pemahaman konsumen. Prinsip similaritas tidak lagi diwujudkan dalam tampilan visual, tetapi lebih pada ketaatan terhadap persepsi dan citra produk yang bersangkutan. Kondisi tersebut diciptakan dengan menampilkan citra produk secara taat pada beberapa media yang berbeda. Fenomena yang lebih menekankan pada prinsip emotional branding.
Prinsip periklanan dengan konsep hard selling, tidak berbicara pada tataran kreatifitas, tetapi lebih berpedoman pada fluktuasi penjualan sesaat. Konsep periklanan yang mengabaikan kreativiats sebagai salah satu elemen penunjang citra produk. Konsekwensi dari hal tersebut adalah keberadaan iklan-iklan kreatif dianggap tidak mampu memberikan dampak marketing yang serius. Perkembangan konsep periklanan yang terintegrasi menunjukkan bahwa iklan-iklan kreatif mampu mendongkrak penjualan secara signifikan. Kreativitas periklanan, baik yang disampaikan dengan visualisasi yang tidak lazim ataupun dengan muatan humor yang kental, pada beberapa kasus mampu menimbulkan impact yang positif terhadap produk.

FENOMENA PERIKLANAN KREATIF DALAM KONTEKS THROUGH THE LINE DAN AMBIENT MEDIA
Konsep through the line pada mulanya merupakan upaya untuk membangun bentuk periklanan yang terintegrasi antara media lini atas dan media lini bawah. Media lini atas (above the line) dan media lini bawah (bellow the line) dinilai tidak mampu memenuhi fungsinya secara optimal. Through the line (pada lini) merupakan bentuk pendekatan holistik dan disinyalir merupakan bentuk masa depan periklanan (Lwin, 2002:93). Para praktisi iklan tidak hanya mengandalkan media massa sebagai media penyampai pesan yang efektif.



Ambient media (media lingkungan) merupakan bentuk periklanan yang memanfaatkan lingkungan sekitar media iklan sebagai bagian dalam kegiatan periklanan yang dilakukan. Ambient media selalu berpijak pada unsur kejutan sebagai konsepnya. Konsumen diharapkan memperoleh hal-hal yang baru yang dapat memberikan impact langsung terhadap produk atau merek yang tengah diiklankan.

Merek Nike (atas) memasang setiap logonya pada setiap tempat sampah, sehingga menyerupai keranjang basket ball. Sedangkan pada bagian bawah HSBC membuat sebuah cermin yang ditempeli foto sebuah mobil dengan ukuran yang sebenarnya dan disertai slogan “stop dreaming, start driving.” .
Fenomena through the line dan ambient media merupakan salah satu upaya pengiklan untuk mengurangi kejenuhan terhadap periklanan konvensional. Periklanan konvensional senantisa berada dalam pada dua lini dan terikat pada tempat dan konteks yang “kaku”. Through the line dan ambient media berupaya menguraikan kekakuan pembagian media dan keterikatan pada konteks dengan menciptakan ruang beriklan yang bebas dan kreatif.
Prinsip through the line dan ambient media adalah membangun hubungan relasional dengan audiens dengan jalan yang tidak terduga. Unsur impact dan “kejutan” yang muncul merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur keberhasilan periklanan yang dilakukan. Iklan yang disuguhkan diharapkan memberikan pengalaman baru. Pengalaman yang terbentuk tidak semata-mata berperan sebagai entertainment, tetapi juga mampu meningkatan preferensi merek. Media periklanan yang tidak terikat pada lini, menyebabkan eksplorasi media harus senantiasa dilakukan. Keberhasilan through the line dan ambient media tidak semata-mata tergantung pada eksekusi visual, tetapi juga ditujang oleh respon audien dan lingkungan sekitar iklan. Konsep media, lingkungan visual, dan keberadaan audiens aktif menjadi satu kesatuan yang menentukan keberhasilan proses periklanan yang dilakukan.
Media komunikasi periklanan berdasarkan tingkat kedekatan dengan konsumen dapat dikategorikan dalam 3 hal, yaitu media in home, ini life experience, dan in retail. Periklanan medern tidak bekerja pada satu aspek media semata-mata. Konsep periklanan yang terintegrasi berupaya mengedukasi konsumen pada setiap kesempatan. Edukasi terhadap sebuah merek tidak melulu dilakukan di rumah (in home), tetapi juga dilakukan pada kegiatan yang sering mereka lakukan (in life experience), dan juga pada saat pembelian (in store).
Konsep through the line dan ambient media dapat dilihat sebagai upaya penciptaan experience yang unik bagi pelanggan. Penanaman brand awareness disalurkan melalui pemupukan kedekatan emosional yang customized. Through the line dan ambient media merupakan bentuk periklanan yang tidak bersifat massal. Perilaku konsumen dilihat secara indiviual, sehingga setiap produk diasumsikan memiliki karakter konsumen yang unik yang khas. Pada prinsipnya segmentasi produk yang jelas menjadi penentu utama keberhasilan kampanye iklan yang dijalankan. Pemahaman terhadap sisi psikografik dan behavioristik konsumen merupakan salah satu elemen yang harus dipahami oleh pengiklan. Inti dari through the line dan ambient media adalah penciptaan experience. Penciptaan experience hanya mungkin dilakukan bila produk telah memiliki segmen yang spesifik (segmented) dan pemasar telah memahami karakter konsumen secara menyeluruh.
Penciptaan experience dalam konteks marketing dapat dicapai dengan dua tindakan, yaitu brand experience dan costumer interface. Brand experience disalurkan dalam bentuk pencitraan terhadap produk yang bersangkutan, misalnya dalam paparan visualisasi logo, kemasan, interior ruang, style produk dan hal-hal yang sifatnya visual. Costumer interface lebih banyak dilakukan oleh oleh perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa. Inti tidakan costumer interface adalah interaksi langsung dengan pelanggan, menggunakan berbagai media dan dilakukan dalam berbagai kesempatan.
Through the line dan ambient media sebagai sebuah wilayah periklanan baru keberadaannya sejalan dengan konsep Costumer Experience Strategi (CES) dalam marketing. Konsep Costumer Experience Strategi meyakini keberhasilan pemasaran melalui penciptaan experience (Experiental marketing) bagi pelanggan. Konsep CES bergerak pada 5 komponen yaitu konsep sense, feel, think, act, dan relate (Schmitt, 2006). Inti dari CES adalah melihat konsumen secara indivual sehingga setiap konsumen dimaknai memiliki sikap dan tindakan yang khas. Antisipasi terhadap sikap dan tidakan tersebut, yang dikemas dalam bentuk pengalaman ketika memperoleh atau mengkonsumsi produk, akan menimbulkan experience terhadap produk yang dipasarkan. Fenomena tersebut pada gilirannya diharapkan menumbuhkan persepsi positif terhadap produk atau layanan jasa yang diberikan produsen.
Periklanan dan tindakan marketing lainnya berjalan secara terintegrasi. Penciptaan pengalaman tidak melulu urusan marketing tetapi juga menjadi bagian dalam program periklanan yang dijalankan. Konsep pemasaran terpadu (Integrated Marketing Communication) merupakan salah satu bentuk reaksi terhadap kejenuhan pasar dan tanggapan negatif terhadap iklan. Iklan yang “tidak biasa” diharapkan mampu mencuri perhatian diatara “hiruk pikuk” iklan yang ada. Pengalaman yang unik terhadap produk dan bentuk periklanan kreatif pada gilirannya akan meningkatkan citra produk secara lebih baik.

D. SEKILAS THROUGH THE LINE DAN AMBIENT MEDIA DI INDONESIA
Penggunaan konsep pada lini (through the line) dan media lingkungan (ambient media) di Indonesia belum banyak dijumpai. Salah satu contoh penggunaan ambient media di Indonesia dapat dijumpai pada iklan susu bendera (gambar 4). Iklan yang dikemas sangat kreatif, dengan mamadukan unsur bellow the line (poster) dengan properti real. Keberadaan endorser produk, yaitu Anton Taminsyah sebagai juara catur dunia antar sekolah tahun 2005 dan Diandra, best power forward Kejurnas Libala 2004 divisualisasikan dalam bentuk poster dalam ukuran yang sebenarnya, sedangkan properti lainnya merupakan properti yang real dalam bentuk dan ukuran yang sebenarnya.

Ide-ide kreatif dalam periklanan di Indonesia tidak selalu kalah dengan kreativitas periklanan manca negara. Pada beberapa kasus dapat dijumpai model-model iklan dan teknik marketing kreatif dengan menggukan media yang tidak biasa. Beberapa iklan keratif di Indonesia diantaranya iklan Mezzo, yang menggunakan media balon udara, gerai Eiger dengan display lingkungan petualang, Softek yang meluncurkan tagline repostioning bersama ADA Band atau JnA Donuts yang menampilkan pesona dapur dalam toko donatnya.

Fenomena through the line dan ambient media merupakan hal baru di Indonesia, tetapi bentuk-bentuk kerativitas periklanan sudah mulai lama dijalankan. Persoalan yang sering timbul adalah persepsi masyarakat Indonesia yang beragam, sedangkan keberadaan through the line dan ambient media hanya mungkin dilakukan bila kelas-kelas masyarakat telah memiliki preferesi yang cenderung homogen. Homogenitas perseptual merupakan salah satu faktor yang mampu mendorong kreativitas periklanan. Pada prinsipnya media periklanan keratif bertujuan menciptakan clarity, consistency, dan maximum communications impact.

Kesimpulan dari atas= Fenomena Through the line dan ambient media hadir untuk menjawab kejenuhan periklanan, sehingga iklan diharapkan mampu tampil secara tidak biasa sehingga mampu menarik perhatian lebih. Impact dan kejutan yang timbul pada gilirannya diharpkan mampu mengangkat persepsi dan citra produk yang diiklankan. Through the line dan ambient media dapat berjalan bila terdapat kerjasama yang ideal antara visualisasi iklan, lingkungan sekitar, dan audiens yang responsif. Keberadaan through the line dan ambient media dapat berjalan dengan baik bila terdapat persepsi positif terhadap karya-karya periklanan kreatif, mengingat iklan-iklan kreatif memiliki potensi mengundang kontroversi.

DAFTAR PUSTAKA
Aitchison, Jim. 2004. Cutting Edge Advertising How To Create The World’s Best Print for Brand in The 21st Century. Singapore: Pearson Pretice Hall.
Batey, Ian. 2003. Asian Branding A Great Way to Fly. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Kartajaya, Hermawan. 2003. Marketing in Venus. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lwin, May dan Jim Aitchison. 2005. Clueless In Advertising. Jakarta: BIP.
Roman, Kenneth. 2005. How to Advertise- Membangun Merek dan Bisnis Dalam Dunia Pemasaran Baru. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Sumber: http://rudiirawanto.wordpress.com/2010/10/

Ambient condition & Architectural Features

A. Definisi Ambient condition
Ambient condition yaitu kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu seperti sound, cahaya/ penerangan, warna, kualitas udara, temperature, dan kelembaban.

B. Definisi Architectural Features
Architectural features yang tercangkup di dalamnya adalah seting-seting yang bersifat permanent, misalnya di dalam ruangan, yang termasuk didalamnya antara lain konfigurasi dinding, lantai, atap, serta pengaturan perabot dan dekorasi. Dalam suatu gedung architectural features meliputi layout tiap lantai, desain, dan perlakuan ruang dalam dan sebagainya.

Sumber: www.elearning.gunadarma.ac.id

Teori-Teori tentang hubungan antara tingkah laku dengan lingkungan

Teori-Teori tentang hubungan antara tingkah laku dengan lingkungan

Sebagaimana cabang dari suatu ilmu pengatahuan, psikologi lingkungan pun memerlukan teori-teori. Teori-teori ini diperlukan untuk menata berbagai data dan informasi yang jumlahnya besar dan sangat bervariasi sedemikian rupa sehingga para peneliti bisa memahaminya. Atas dasar itulah dapat dibuat berbagai kesimpulan, peramalan, generalisasi, pengembangan riset, atau melaksanakan usaha-usaha operasional.
Sebagai ilmu yang baru berkembang, belum banyak teori yang telah disusun oleh pakar-pakar psikologi lingkungan apalagi jika di pertimbangkan bahwa cabang ini belum mendapatkan bentuknya yang mapan. Konsep-konsep yang ada belum bisa didefeniskan dengan jelas dan hubungan antara variable-variabel belum dapat diterangkan dengan tuntas. Walaupun demikian, teori-teori yang sudah sempat tumbuh dan berkembang setidak-tidaknya dapat memberikan jawaban terhadap sebagian permasalahan yang timbul dalam psikologi lingkungan.

1. Teori stress lingkungan. Menurut teori ini, ada dua elemen dasar yang menyebabkan manusia bertingkahlaku terhadap lingkungannya. Elemen pertama adalah stressor dan elemen kedua adalah stress itu sendiri. Stressor adalah elemen lingkungan (stimuli) yang merangsang individu seperti kebisingan, suhu udara, dan kepadatan. Stress (ketegangan, tekanan jiwa) adalah hubungan antara stressor dengan reaksi yang ditimbulkan dalam diri individu.
Dalam rangka teori stress lingkungan ini ada dua pendapat mengenai stress itu. Menurut Selye (1956, dalam Bell et al, 1978:68) stress diawali dengan reaksi waspada (alarm reaction) terhadap adanya ancaman yang ditandai oleh proses tubuh secara otomatis seperti meningkatnya produksi adrenalin. Keadaan ini segera disusul yang menggigil di udara dingin atau berkeringat di udara panas.
Namun, menurut Lazarus (1966 dalam Bell et al, 1978:69) stress bukan hanya mengandung factor faal, melainkan juga melibatkan kesadaran (kognisi), khususnya dalam tingkah laku coping. Ketika individu hendak bereaksi terhadap stressor ia harus menentukan strategi dengan memilih tingkah laku, yaitu menghindar, menyerang secara fisik atau dengan kata-kata saja, dan mencari kompromi. Penetuan pilihan itu dilakukan di dalam kognisi.

2. Teori pembangkitan (arousal approach). Inti dari teori ini adalah meningkatnya (bangun, bangkit) atau berkurangnya kegiatan di otak sebagai suatu akibat dari proses faal tertentu (Hebb, 1972 dalam fisher et al, 1984:663-665). Perubahan kegiatan otak ini merupakan variable perantara (Intervening variable) antara rangsang yang datang dari lingkungan dengan tingkah lakuyang terjadi. Misalnya, seseorang datang dari desa dengan kereta api. Ketika turun di stasiun ia menghadapi berbagai stimuli seperti keramain, kebisingan, udara yang panas, dan polusi udara. Sebagai indicator bahwa pada diri orang desa itu terjadi peningkatan kegiatan pada syaraf otonom seperti bertambah cepatnya detak jantung, naiknya tekanan darah, dan produksi adrenalin yang lebih cepat.
Setelah ada tanda-tanda peningkatan kegiatan di otak itu maka dapat kita ramalkan akan terjadi perilaku tertentu seperti bertambah waspada, segera melakukan sesuatu, misalnya mencari kendaraan umum, atau menjadi agresif (marah-marah). Selanjutnya dikatakan oleh teori ini bahwa arousal yang rendahakan menghasilkan pekerjaan (performance) yang rendah pula. Makin tinggi arousalnya, makin tinggi hasil pekerjaan itu. Pada tugas-tugas yang mudah, hasilnya akan terus meningkat dengan meningkatnya arousal, tetapi pada pekerjaan-pekerjaan yang sulit, hasil pekerjaan justru akan menurun jika arousal sudah melebihi batas tertentu. Dalam psikologi lingkungan, dalam hubungan antara arousal dan performance ini dinamakan hokum Yerkes dan Dodson.
Hukum Yerkes-dodson. Pembangkitan penginderaan (arousal) melalui peningkatan rangsang, dapat meningkatan hasil kerja pada tugas-tugas yang sederhana, tetapi justru akan menggangu dan menurunkan prestasi kerja dalam tugas-tugas yang rumit. Misalnya, suara music didalam mobil bisa merangsang semangat pengemudi, tetapi suara music yang sama dapat mengganggu konsentrasi orang yang sedang memecahkan persoalan matematika. Hokum ini paling nyata efeknya jika berhubungan dengan rangsang suhu udara, kepadatan penduduk, dan suara bising (Bell et al, 1978:73). Misalnya kalau seorang sedang santai menggambar atau mencuci mobil maka bunyi radio yang memperdengarkan music rock, akan menambah semangat kerja orang itu. Makin keras musiknya, dia makin senang. Namun jika ia sedang serius membuat pekerjaan rumahnya dan kebetulan ada soal yang sulit maka setelah melalui titik tertentu, kebisingan itu dianggap menggangu dan sudah tidak menyenangkan lagi.

3. Teori kelebihan beban (environmental load theory). Teori ini dikemukakan oleh cohen (1977) dan milgram (1970) (dalam fisher et al, 1984:65-66). Prinsip dasar teori ini adalah manusia mempunyai keterbatasan dalam mengolah stimulus dari lingkungannya. Jika stimulus lebih besar dari pada kapasitas pengolahan informasi maka terjadilah kelebihan beban (overload) yang mengakibatkan sejumlah stimuli harus dia abaikan agar individu dapat memusatkan perhatiannya pada stimuli tertentu saja. Strategi pemilihan tingkah laku coping untuk memilih stimuli mana yang mau diprioritaskan atau diabaikan pada suatu waktu tertentu inilah yang menetukan reaksi positif atau negative dari individu itu terhadap lingkungannya.

4. Teori kekurangan beban (understimulation theory). Teori ini kebalikan dari teori kelebihan beban yang justru menyatakan bahwa manusia tidak akan senang jika ia tidak mendapat cukup rangsang dari lingkungannya. Zubek (69, dalam Bell et al, 1978;76) mengatakan bahwa kurangnya rangsang terhadap indera manusia menyebabkan timbulnya rasa kosong, sepi, dan cemas. Akibatnya juga bisa timbul kebosanan dan kejenuhan.

5. Teori tingkat adaptasi (adaptation level theory). Seperti sudah diuraikan diatas, manusia menyesuaikan responsnya terhadap rangsang yang datang dari luar, sedangkan stimulus pun dapat diubah sesuai dengan keperluan manusia . Wohlwill (1974, dalam Bell et al,78:78) menamankan penyesuian respons terhdap stimulus sebagai adaptasi, sedngkan penyesuian stimulus pada keadaan individu sebagai adjustment. Dalam hubungan ini dikatakan oleh Wohlwill bahwa setiap orang mempunyai tingkat adaptasi (adaptation level) tertentu terhadap rangsang atau kondisi lingkungan tertentu. Misalnya, orang Tibet mempunyai tingkat adaptasi yang sangat tinggi terhadap kadar oksigen dalam udara karena mereka biasa hidup di pegunungan yang sangat tinggi diatas permukaan laut. Untuk orang-orang biasa, berada ditempat yang kadar oksigennya rendah seperti itu tentu akan menimbulkan masalah. Dengan demikian jelaslah bahwa reaksi orang terhadap lingkungannya bergangtung pada tingkat adapts orang yang bersangkutan pada lingkungan itu. Makin jauh perbedaan antara keadaan lingkungan dengan tingkat adaptasi, makin kuat pula reaksi orang itu.
Kondisi lingkungan yang dekat atau sama dengan tingkat adaptasi adalah kondisi optimal. Orang cenderung selalu mempertahankan kondisi optimal ini, dalam skema Bell dinamakan Kondisi homeostatis. Ada tiga kategori stimulus yang dijadikan tolak ukur dalam hubungan lingkungan dan tingkah laku, yaitu stimulus fisik yang merangsang indera (suara, cahaya, suhu udara), stimulus social, dan gerakan. Untuk ketiga stimulus itu masing-masing mengandungtiga dimensi lagi, yaitu intensitas, diversitas dan pola.

6. Teori kendala tingkah laku (the behavior constraint theory). Seperti pernah diuraikan diatas, manusia pada hakikatnya ingin mempunyai kebebasan untuk menetukan sendiri tingkah lakunya. Dikatakan oleh J.Bhrem (Bell et al, 1978: 82-83) bahwa jika individu mendapat hambatan terhadap kebebasannya untuk melakukan sesuatu ia akan berusaha untuk memperoleh kebebasannya itu kembali. Reaksi untuk mendapatkan kembali kebebasan itu dinamakan Psychology reactance yang tidak selalu perlu terjadi hanya setelah individu langsung mengalami sendiri suatu situasi, tetapi juga dimungkinkan timbulnya psychological reactance berdasarkan antisipasi kemasa depan.

7. Teori psikologi ekologi. Teori ini dikemukakan oleh Barker (1968,dalam Bell et al, 1978:83-85). Kekhususannya adalah teori ini mempelajari hubungan timabl balik antara lingkungan dan tingkah laku, sedangkan teori-teori sebelumnya pada umumnya hanya memberikan perhatian pada pengaruh lingkungan terhadap tingkah laku saja. Suatu hal yang unik pada teori ini adalah adanya set tingkah laku (Behavioral setting) yang dipandang sebagai factor tersendiri. Set tingkah laku adalah pola tingkah laku kelompok (bukan tingkah laku individu) yang terjadi sebagai akibat kondisi lingkungan tertentu (phsycal milleu).

8. Teori cara berpikir. Berbeda dari teori-teori sebelumnya, teori ini justru mengkhususkan diri pada pengaruh tingkah laku pada lingkungan. H.L. Leff (1978:10-11) menyatakan bahwa ada dua macam cara orang berpikir dalam menanggapi rangsang dari lingkungan. Pertama adalah cara berpikir linier dan kedua adalah cara berpikir system. Perbedaan cara berpikir ini menyebabkan perbedaan dalam reaksi terhadpa lingkungan.

Metode penelitian Psikologi Lingkungan

Pada umumnya psikologi lingkungan menggunakan juga metode-metode yang digunakan dalam psikologi umum dan cabang-cabang psikologi lainnya. Secara garis besar ada tiga macam rancangan penelitian yang biasa digunakan dalam psikologi, yaitu rancangan eksperimental, rancangan korelasional, dan rancangan deskriptif.
Rancangan eksprimental adalah yang paling sulit diterapkan dalam psikologi lingkungan karena dalam pelakasanaannya rancangan ini mempersyaratkan agar semua variabel (faktor) di luar variabel yang sedang diteliti, dapat dikontrol oleh peneliti. Selain itu, biasanya penelitian eksperimental dilakukan dalam laboratorium. Padahal kejadian-kejadian dan gejala-gejala dalam alam seperti bencana alam, pemandangan alam, atau urbanisasi, sulit sekali dikontrol, apalagi dibawa kedalam laboratorium. Oleh karena itu, rancangan penelitian eksperimental ini hanya dapat dilakukan dalam topik-topik yang sangat terbatas saja dalam psikologi lingkungan, misalnya tentang pengaruh bising, kadar oksigen, pencahayaan, altitude (ketinggian dari permukaan laut), dan variabel-variabel lain yang bisa disimulasikan dalam laboratorium terhadap konsentrasi kerja atau daya pikir seseorang.
Rancangan kedua yang lebih banyak dilakukan dalam penelitian psikologi lingkungan adalah rancangan korelasional. Dengan rancangan ini peneliti berusaha mencari bagaimana hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya. Misalnya, hubungan antara musim tanam atau musim panen di pedesaan dengan mobilitas penduduk desa-kota. Atau hubungan antara kesuburan tanah di lokasi transmigrasi dengan frekuensi transmigran yang melarikan diri dari lokasi tersebut.
Rancangan ini lebih mudah dilakukan karena bisa dilakukan dengan langsung mengadakan pengamatan atau pengumpulan data di lapangan. Akan tetapi, kelemahannya adalah kadang-kadang tidak bisa diketahui dalam hubungan itu variabel mana yang merupakan penyebab dan mana yang merupakan akibat. Rancangan yang terbanyak dipakai adalah rancangan deskriptif, yaitu rancangan penelitian yang tujuannya hanya untuk menggambarkan keadaan manusia dalam suatu lingkungan tertentu dan bagaimana melakukan rekayasa atau campur tangan sehingga hubungan yang ada mengoptimalkan kondisi manusia maupunlingkungannya. Persyaratan dari rancang deskriptif ini hanyalah alat-alat pengumpul data yang valid dan reliable. Rancangan ini tidak terbatas pada laboratorium maupun waktu.


Sumber: Sarwono, SW. 1992. Psikologi Lingkungan. Jakarta: Grasindo.

Pengantar Psi.Lingkungan

A. Latar Belakang Sejarah Psikologi Lingkungan
Kurt Lewin yang pertama kali memperkenalkan Field Theory (Teori Medan) yang merupakan salah satu langkah awal dari teori yang mempertimbangkan interaksi antara lingkungan dengan manusia. Lewin juga menhgatakan bahwa tingkah laku adalah fungsi dari kepribadian dan lingkungan, sehingga dapat diformulasikan menjadi :
T L= f(P.L)
TL = tingkah laku
f = fungsi
P = pribadi
L = lingkungan
Berdasarkan rumusan tersebut, Lewin mengajukan adanya kekuatan-kekuatan yang terjadi selama interaksi antara manusia dan lingkungan. Masing-masing komponen tersebut bergerak suatu kekuatan-kekuatan yang terjadi pada medan interaksi, yaitu daya tarik dan daya mendekat dan daya tolak dan daya menjauh.
Sebelum kita kenal istilah psikologi lingkungan yang sudah baku, semula Lewin memberikan istilah ekologi psikologi. Lalu pada tahun 1947, Roger Barker dan Herbert Wright memperkenalkan istilah setting perilaku untuk suatu unit ekologi kecil yang melingkupi perilaku manusia sehari-hari. Istilah psikologi arsitektur pertama kali diperkenalkan ketika diadakan konferensi pertama di Utah dan jurnal profesional pertama yang diterbitkan pada akhir tahun 1960-an banyak menggunakan istilah lingkungan dan perilaku. Baru pada tahun 1968, Harold Proshansky dan William Ittelson memperkenalkan program tingkat doktoral yang pertama dalam bidan psikologi lingkungan di CNUY (City University of New York) (Gifford, 1987

B. Definisi Psikologi Lingkungan
Dalam mengupayakan keinginannya ini manusia bisa melakukan hal-hal yang dalam jangka panjang atau pada akhirnya bisa merugikan dirinya sendiri. Oleh karena itu, dalam psikologi berkembang keperluan untuk mempelajari secara lebih khusus kaitan anatara tingkah laku manusia dengan lingkungannya. Cabang psikologi yang dimaksud adalah psikologi lingkungan

C. Lingkup Psikologi Lingkungan
Berdasarkan objek yang dipelajarinya, psikologi dapat dibedakan atas:
٭ Psikologi yang mempelajari manusia
٭ Psikologi yang mempelajari hewan.
Psikologi Manusia
Cakupan yang cukup luas, menyebabkan dilakukannya pengelompokkan dalam psikologi manusia.
Atas dasar tujuannya, dibedakan atas:
* Psikologi Teoritis
* Psikologi Praktis
Atas dasar objek yang dipelajarinya, dibedakan atas:
* Psikologi Umum
* Psikologi Khusus


Sumber: images.nunukmulandari.multiply.multiplycontent.com/Ruang%20Lingkup%20Psikologi%20(Pertemuan%202).ppt
www.elearning.gunadarma.ac.id

Jumat, 25 Februari 2011

Kepadatan

Menurut Sarwono, suatu keadaan akan dinyatakan semakin padat apabila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin padat pula bila disbanding dengan luas ruangan. Di tempat dimana penulis tinggal hal ini terjadi Karena tempat tersebut di nilai oleh sebagian orang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi.
Antara kepadatan dan kesesakan sangatlah berhubungan erat adanya.makin banyak jumlah manusia yang berada pada suatu wilayah maka semakin sesak pula keadaannya. Hubungan antara kepadatan dan kesesakan mempunyai dua cirri yaitu : cirri yang pertama, kesesakan adalah persepsi terhadap kepadatan dalam arti disini adalah jumlah manusianya. Cirri yang kedua, karena kesesakan adalah persepsi maka sifatnya adalah subjektif. Orang yang sudah terbiasa dengan kondisi naik kereta api yang padat penumpang , mungkin tidak akn merasa sesak lagi (density tinggi tetapi crowding rendah) sangat berbanding terbalik dengan orang yang tidak terbiasa bengan hal tersebut.
Stokols menyatakan bahwa density adalah kendala ruang (spatial constraint), sedangkan crowding adalah respon yang subjektif terhadap keadaan yang sesak. Kepadatan memang merupahan syarat mutlak untuk terjadinya sebuah kesesakan, tetapi untuk sebuah kesesakan bukan berarti adanya ssuatu kepadatan.

Menurut Altman, variasi indicator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku social yaitu:
1.jumlah individu dalam sebuah kota.
2.jumlah individu pada daerah sensus.
3.jumlah individu pada unit tempat tinggal
4.jumlah ruang pada unit tempat tinggal.
5.jumlah bangunan pada lingkungan sekitar.

Sedangkan kategori kepadatan menurut Altman yaitu :
1.kepadatan dalam ( inside density)
jumlah individu yang terdapat pada suatu ruang atau tempat tinggal.
2.kepadatan luar (outside density)
jumlah individu yang berada dalam wilayah tertentu.

Kategori kepadatan menurut Holahan yaitu :
1.kepadatan spatial
yang terjadi bila luas ruangan diubah menjadi lebuh kecil tetapi jumlah individu tetap. Yang terjadi kepadatan meningkat sejalannya menurunnya luas ruangan yang ada.
2.kepadatan social
terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi oleh penambahan luas ruang. Hal yang terjadi adalah kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu.

Akibat dari kepadatan yang tinggi menurut Hamistra dan Mc. Farling yaitu :
1.Fisik, seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah yang meningkat, dan lain sebagainya.
2.Akibat social, menyebabkan kenakalan dan tingkat kriminalitas yang tinggi.
Manusiapun menampakan tingkah laku yang menyerupai behavioral sink sebagai akibat dari kepadatan dan kesesakan. Holahan mencatat beberapa gejala sebagai berikut :
a.Dampak pada penyakit dan patologi social
1.reaksi fisiologik, misalya meningkatkan tekanan darah.
2.penyakit fisik, seperti psikosomatik dan meningkatnya angka kematian.
3.patologi social, misalnya meningkatnya kejahatan, bunuh diri, penyakit jiwa, dan tingkat kenakalan pada remaja.

b.Dampak pada tingkah laku social
1.Agresi
2.menarik diri dari lingkungan social
3.berkurangnya tingkah laku menolong
4.cenderung lebih banyak melihat sisi buruk dari orang lain jika terlalu lama tinggal bersama orang lainitu jika berada dalam tempat yang padat dan sesak.

c.Dampak pada hasil usaha dan suasana hati
1.hasil usaha dan prestasi kerja menurun
2.suasana hati cenderung lebih murung.

Menurut Holahan, polusi udara dan suhu yang tinggi dapat menimbulkan menurunnya kesehatan seperti timbulnya penyakit pernafasan dan infeksi saluran pernafasan. Juga dapat menimbulkan efek perilaku yaitu seseorang dalam temperature yang tinggi memiliki penilaian yang tidak jelas. Ada tiga faktor yang menyebabkan suara secara psikologis dianggap bising yaitu :
3.Volume, suara yang semakin keras dirasa akan semakin mengganggu.
4.Perkiraan, jika kebisingan dapat diperkirakan datangnya bunyi teratur maka kesan gangguan yang timbul akan lebih kecil dibanding suara yang datangnya tiba-tiba.
5.Pengendalian, bising atau tidak terganggu dari bagaimana kita mengaturnya.

Dampak akibat kebisingan yang di kemukakan oleh Holahan, yaitu:
1.Efek fisiologis
Penyebab reaksi fisiologis sistemik menyebabkan stress. Reaksi cenderungmeningkat ketika kebisingan intens, periodic, dan tidak terkontrol. Reaksi fisiologis seperti sekresi adrenal dan tekanan darah meningkat.
2.Efek kesehatan
Efek dari kebisingan dalam intensitas yang tinggi dapat menyebabkan kehilangan pendengaran. Selain itu dapat mengakibatkan sakit kepala, gelisah, dan insomnia.
3.Efek perilaku
Efek perilaku dari kebisingan adalah mempengaruhi hilangnya beberapa aspek perilaku social.
4.Dampak psikologis (Munandar)
Kebisingan dapat mengganggu kesejahteraan emosional. Pada lingkungan yang ekstrim penduduk bisa bersikap agresif, penuh dengan curiga, dan cepat merasa jengkel.

Sumber: http://maiasalam.blogspot.com/2009/11/psikologi-lingkungan.html

Ambient Condition dan Architectural Features

Ambient Condition dan Architectural Features

Dalam hubungannya dengan lingkungan fisik Wrighstman dan Deaux 1981 membedakan dua bentuk kualitas lingkungan:

1. Ambient Condition: Kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu seperti sound, cahaya, warna, dan temperature.
2. Architectural Features: Yang bersifat permanent, misalnya dalam suatu ruangan yang termasuk didalamnya antara lain konfigurasi dinding, lantai atap serta pengaturan perabot dan dekorasi.dsb.


Sumber: http://elearning.faqih.net/

Pengantar Psikologi Lingkungan

Latar Belakang
Field Theory (teori medan) merupakan yang pertama kali diperkenalkan oleh Kurt Lewin, dimana merupakan salah satu langkah awal dari teori yang mempertimbangkan interaksi antara lingkungan dengan manusia. Dimana sebelumnya kita mengenal dengan istilah psikologi lingkungan.

Lingkup Psikologi Lingkungan
Ruang lingkup psikologi lingkungan lebih membahas rancangan, organisasi dan pemaknaan, serta lingkup lain yang bervariasi. (Proshansky, 1974)

Sosiologi yang muncul pada tahun 1970 merupakan cabang yang amat dekat dengan psikologi lingkungan. Jenis-jenis lingkungan di dalam psikologi lingkungan (Sarwono, 1992) adalah:

1. Lingkungan alamiah (lautan, hutan)
2. Lingkungan buatan/binaan ( jalan raya, perumahan)
3. Lingkungan social
4. Lingkungan yang dimodifikasi

Sumber: http://elearning.faqih.net/

Pendekatan Teori dan Metode Penelitian Psikologi Lingkungan

PENDEKATAN TEORI
A. LATAR BELAKANG SEJARAH
Membahas perihal teori-teori yang dikemukakan para ahli psikologi lingkungan, maka yang terlibat adalah teori-teori, baik di dalam maupun di luar disiplin psikologi. Beberapa teori tersebut amat luas jangkauannya dan beberapa lagi yang lain lebih terfokus, beberapa amat lemah dalam data empiris dan beberapa yang lain amat kuat. Dalam kaitan antara lingkungan dengan perilaku manusia, maka kita dapat menyebut sejumlah teori dimana dalam perspektif ini, yang terlibat di dalamnya antara lain adalah geografi, biologi ekologi, behaviorisme, dan psikologi Gestalt (Veitch & Arkkelin, 1995).

Geografi. Beberapa ahli sejarah dan geografi telah mencoba menerangkan jatuh-bangunnya peradaban yang disebabkan oleh karakteristik lingkungan. Sebagai contoh, Toynbee (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) mengembangkan teori bahwa lingkungan (atau secara lebih spesifik topografi, iklim, vegetasi, ketersediaan air, dan sebagainya) adalah tantangan bagi penduduk yang tinggal di lingkungan tersebut. Tantangan lingkungan yang ekstrim akan merusak peradaban, sementara tantangan yang terlalu kecil akan mengakibatkan stagnasi kebudayaan. Lebih lanjut Toynbee mengusulkan bahwa tantangan lingkungan pada tingkat menengah juga dapat mempengaruhi perkembangan peradaban. Pada tingkat yang makin berkurang atau sebaliknya makin berlebihan hasilnya justru akan memperlemah pengaruhnya.
Gagasan mengenai tantangan lingkungan dan respon-respon perilakunya meski didasari oleh para penganut geographical determinism, ternyata seringkali merupakan bentuk-bentuk atau variasi-variasi teori yang diterapkan dalam psikologi lingkungan.
Sebagai contoh Barry, Child dan Bacon (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) mengusulkan
bahwa kebudayaan masyarakat pertanian (yang tidak nomaden) ternyata menekankan pola
asuh pada generasinya berupa: tanggungjawab, ketaatan, dan kepatuhan. Sebaliknya pada
kebudayaan nomaden pola asuh yang ditekankan adalah pada kemandirian dan akal.
Perbedaan ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada kebudayaan pertanian, orang tinggal dan bekerja bersama-sama dalam suatu komunitas yang tanpa mobilitas yang tinggi, sehingga yang dihasilkan adalah organisasi yang teratur. Hal tersebut tentunya akan lebih menekankan pola asuh kepada ketaatan dan kepatuhan. Lain halnya dengan orang nomaden yang lebih menyiapkan generasi mudanya untuk terbiasa dalam menghadapi situasi alam yang berubah dan tidak dapat diramalkan pada saat menjelajahi alam, sehingga yang lebih dibutuhkan adalah kemandirian dan akal. Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa suatu seting lingkungan tertentu memberi peluang yang terbaik bagi masyarakat penghuninya untuk mempertahankan diri.

Biologi Ekologi. Perkembangan teori-teori ekologi menunjukkan adanya perhatian terhadap adanya ketergantungan biologi dan sosiologi dalam kaitan hubungan antara manusia dengan lingkungannya, dimana hal itu secara signifikan mempengaruhi pemikiran-pemikiran psikologi lingkungan. Dengan perkembangan ilmu ekologi, seseorang tidak dianggap terpisah dari lingkungannya, melainkan merupakan bagian yang integral dari lingkungan. Pendapat mengenai hubungan yang saling tergantung antara manusia dengan lingkungannya pada saat ini akan tampak pada teori-teori yang dikembangkan pada disiplin psikologi lingkungan.
Lingkungan dan penghuninya masih sering dikaji sebagai komponen yang terpisah, meskipun tidak ada keraguan lagi adanya hubungan yang saling tergantung di antara mereka.
Behaviorisme. Pengaruh penting lain yang merupakan pemikiran yang datang dari cabang
disiplin psikologi sendiri adalah behaviorisme. Pemikiran kalangan behavioris muncul
sebagai reaksi atas kegagalan teori-teori kepribadian untuk menerangkan perilaku manusia.

Pada saat ini secara umum dapat diterima bahwa dua hal penting yang menjadi pertimbangan adalah konteks lingkungan dimana suatu perilaku muncul dan variabel-variabel personal(seperti kepribadian atau sikap). Dengan mempertimbangkan kedua hal ini maka akan lebih dapatdiramalkan suatu fenomena manusiadan lingkungannya daripadajika dibuat pengukuran sendiri-sendiri.
Psikologi Gestalt. Psikologi Gestalt berekembang pada saat yang berbarengan dengan
behaviorisme dan lebih menekankan perhatian kepada persepsi dan kognisi sebagai perilaku yang tampak (overt behavior). Prinsip terpenting dari cara kerja kalangan Gestalt ini adalah bahwa objek-objek, orang-orang, dan seting-seting dipersepsi sebagai suatu keseluruhan, dimana hal itu lebih dari sekedar penjumlahan bagian-bagian. Dari pandangan Gestalt, suatu perilaku didasarkan pada proses kognitif, yang bukan dipengaruhi oleh proses stimulus tetapi dari persepsi terhadap stimulus tersebut. Pengaruh Gestalt pada psikologi lingkungan dapat dilihat antara lain pada kognisi lingkungan, misalnya untuk menjelaskan persepsi, berpikir, dan pemrosesan informasi lingkungan.

Dari beberapa perspektif di atas, Veitch & Arkkelin (1995) menekanlan adanya dua hal
yang perlu diketahui. Pertama, sebagaimanayang sudah disebutkan di atas bahwa pendekatan yang dipakai pada perspektf-perspektif di atas ada yang amat lebar dalam cakupan dan ada pula yang lemah dalam data empiris. Kedua, tidak ada grand theory dalam psikologi lingkungan, karena tidak ada pendekatan atau perspektif tunggal yang dapat menerangkan hubungan antara perilaku manusia dengan lingkungannya secara memuaskan. Hal ini paling tidak disebabkan oleh empat hal:
(a) Tidak ada data yang cukup tersedia dalam kaitan hubungan manusia dengan
lingkungannya, sehingga dapat dipercaya untuk menyatukan teori
(b) Hubungan-hubungan yang dikaji para peneliti amaat sangat beragam
(c) Metode yang digunakan tidak konsisten
(d) Cara pengukuran variabel tidak selalu kompatibel dari suatu seting penelitian ke
penelitian berikutnya.


B. BEBERAPA TEORI
Beberapa pendekatan teori dalam psikologi lingkungan antara lain adalah: Teori Arousal,
Teori Stimulus Berlebihan, Teori Kendala Perilaku, Teori Tingkat Adaptasi, Teori Stres
Lingkungan, dan Teori Ekologi.
1. Teori Arousal (Arousal Theory)
Arousal (Pembangkit). Ketika kita emosional, kita sering merasa bergairah. Beberapa teori
telah berpendapat bahwa semua emosi adalah hanya tingkat dimana seseorang atau binatang
dihasut. Meski tidak semua orang setuju dengan gagasan ini, tingkat keterbangkitan adalah
bagian penting dari emosi. Contohnya, tingkat yang tinggi dalam keterbangkitan adalah
dalam kemarahan, ketakutan dan kenikmatan, sedangkan tingkat keterbangkitan yang rendah
adalah kesedihan dan depresi (Dwi Riyanti & Prabowo, 1997).
Mandler (dalam Hardy dan Hayes, 1985) menjelaskan bahwa emosi terjadi pada saat
sesuatu yang tidak diharapkan atau pada saat kita mendapat rintangan dalam mencapai suatu
tujuan tertentu. Mandler menamakan teorinya sebagai teori interupsi. Interupsi pada masalah
seperti dikemukakan tadi yang menyebabkan kebangkitan (arousal) dan menimbulkan
pengalaman emosional. Suatu hal yang dapat kita petik dari teori ini adalah bahwa orang
dapat memperlihatkan perubahan emosi secara ekstrim, misalnya bergembira atau bergairah
pada suatu saat, dan mengalami perasaan dukacita atau amarah pada saat yang lain.
Arousal dipengaruhi oleh tingkat umum dari rangsangan yang mengelilingi kita. Kita
dapat saja menjadi bosan atau tertidur, jika yang kita hadapi adalah hal-hal yang "tidak ada
apa-apanya". Suatu materi pelajaran yang tidak menarik dan sedikit sekali memberi manfaat
pada yang mendengarkan, membuat hampir semua yang mendengarkannya tidak bertahan
lama mengikutinya. Menurut Mandler, manusia memiliki motivasi untuk mencapai apa yang
disebut sebagai"dorongan-itemg//um0to/j0/m^^
arousal sehingga kita dapat berubah-ubah dari aktivitas satu ke aktivitas lainnya. Hampir
semua orang yang memiliki motivasi ini dalam berinteraksi sehari-hari, namun ada beberapa
orang yang tidak responsif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di sekelilingnya,
sehingga hanya dapat dimunculkan arousal-nya jika benar-benar dalam keadaan yang amat
membahayakan.

Sumber: Sabtu, 19 Desember 2009
http://elearning.faqih.net/2009/12/pendekatan-teori-dan-metode-penelitian.html