Minggu, 14 November 2010

Humor Dalam Bingkai Psikologi

Kategori Kesehatan
Oleh : RR. Ardiningtiyas Pitaloka, M.Psi.
Jakarta, 24 April 2008

Anda pasti akan terbahak kalau pada tulisan ini saya mendefinisikan apa itu humor. Seperti kekurangan ide aja, mendefinisikan humor sementara hampir setiap detik kita tertawa mendengar gelitik canda dalam bus kota, kereta, mobil, ketika menonton televisi, bermain game komputer, membaca buku, singkatnya di manapun berada kita bisa guyon, humor, bahkan dalam alam pikir kita sendiri. Alam pikir? Ya, buktinya ketika tak ada seorang pun yang melontarkan cerita atau celetukan lucu, tetap saja terjadi seseorang tiba-tiba tersenyum bahkan terkikik sendiri. Artinya kita bisa menciptakan kelucuan dari sekitar dengan atau tanpa orang lain.

Lalu, apa itu lelucon, apa itu lucu? Ini tidak sekedar melucu, karena tidak sedikit penelitian psikologi yang menyelidiki humor, termasuk manfaatnya dalam dunia psikologi praktis.



Persepsi tentang Humor

Humor is a social instrument that provides an effective way to reduce psychological distress, communicate a range of feelings and ideas, and enhance relationships; also, humor protects social relationships when communicating negative information. (Baldwin,2007)

Humor provides a means to communicate ideas and feelings, convey criticism, and express hostility in a socially acceptable manner (Brownell & Gardner, 1988; Dixon, 1980; Haig, 1986; Martin, 2001 in Baldwin 2007).

Kemampuan mentertawakan kondisi sekitar, diri sendiri, pilihan sendiri, menjadi salah satu katup yang akan melancarkan kembali kemampatan hidup. Pernah tidak anda mengalami kejadian seperti ini; anda ingin membeli sebuah pesawat televisi, sepertinya begitu sederhana, namun ternyata pilihan yang hadir sangat beragam, tidak hanya itu, anda pun harus menyesuaikan dengan lembaran yang tersedia dalam kantong.

Anda melakukan studi produk dengan membaca informasi dari koran, internet, diskusi dengan teman, kakak, juga orangtua. Lalu, anda mulai melakukan survey ke pusat elektronik terlengkap di kota anda, hmm.. dijamin deh.. sesampai di sana anda bisa terbius oleh jajaran pesawat televisi beraneka rupa, ditambah rayuan orang-orang yang seakan tak pernah lelah mengobral keunggulan tiap produk dagangannya. Anda bisa terbius dan akhirnya menunjuk satu kotak ajaib itu, atau perputaran bintang di kepala mendorong anda untuk pulang tanpa satu kotak pilihan pun.

Mungkin anda memilih yang ke dua, karena anda termasuk orang yang tidak mau membeli sesuatu dalam kondisi ’tak sadar diri’. Sehari kemudian, ketika anda sedang berjalan ke arah mesin ATM dekat kompleks rumah, tiba-tiba mata anda tertuju pada satu toko kecil di samping ATM, toko elektronika. Anda pun memasuki toko itu dan melihat beberapa televisi yang tidak menyala dengan gemerlap seperti di beberapa pusat elektronika megah yang kemarin anda kunjungi. Namun, tidak sampai lima belas menit, anda sudah mengulurkan lembaran uang sebagai transaksi diiringi senyum puas.

Kisah sukses ini akan mendapat sambutan riuh sahabat anda, ”Huu... jauh-jauh kutemani ke pusat elektronika, belinya di samping rumah..”

Kalau ada yang tidak tertawa, atau terguling-guling sakit perut, mungkin kita perlu melihat juga reaksi apa yang terjadi dalam diri sewaktu mengkonsumsi humor.



Reaksi Kognitif & Afektif

Apresiasi terhadap humor tidak murni merupakan kerja kognitif tetapi diperlukan juga keterlibatan proses afektif di dalamnya. Elemen kognitif di sini mengacu pada pemahaman humor dengan kemampuan mengenali atau mendeteksi disparitas antara materi humor dan pengalaman yang pernah terjadi sebelumnya (humor comprehensive). Pada sisi lain, elemen afeksi mengacu pada pengalaman menyenangkan (respons emosional) terhadap materi humor tersebut (humor appreciation) .

Mendengar lelucon, pacuan denyut jantung kita meningkat, kulit tubuh pun bereaksi, disusul segera oleh reaksi afektif yang positif dan kuat (Goldstein, Harman, McGhee, & Karasik, 1975; Katz, 1993; McGhee, 1983 dalam Berry 2004). Inilah yang menjelaskan mengapa badan kita terguncang-guncang, muka memerah, nafas terengah dan telapak tangan memegangi perut ketika mendengar cerita lucu. Semua merupakan kerjasama rapi dan detil dari reaksi kognitif mengenali lelucon yang menjelma dalam reaksi fisik, disertai afeksi menyenangkan.



Menertawakan Lelucon

Apa yang membuat satu kejadian mampu memancing tawa pada sekelompok orang namun tidak sama sekali pada orang lain?

Studi menunjukkan kemampuan membedakan antara lucu dan tidak lucunya stimuli visual terkait pada sederhana atau tidaknya peristiwa termasuk konsepnya. Selain itu, humor juga bisa kita lihat menjadi dua jenis yakni humor verbal dan non-verbal. Apresiasi keduanya tentu tidak sama, humor verbal terkait dengan kemampuan abstraksi dan fleksibilitas mental, sementara humor non-verbal terkait dengan atensi visual.

Lelucon yang kita dengar dalam suatu percakapan membutuhkan kemampuan membayangkan dan menghadirkan imagi visual untuk menghasilkan reaksi positif yaitu tawa atau perasaan geli. Pada humor non verbal, contohnya membaca komik atau menonton film kartun membutuhkan perhatian visual kita untuk menggelitik sensitivitas humor diri kita.

Masih ada hal lain, yaitu pola hubungan sosial yang ternyata berpengaruh untuk menerabas perbedaan stimuli humor verbal maupun non-verbal. Misalnya, sekelompok mahasiswa psikologi, kemungkinan besar telah akrab dengan berbagai istilah yang dengan renyah sering menjadi bahan canda, seperti ’proyeksi’, atau ’denial’.

Ketika seseorang dalam kelompok bercerita tentang mahasiswa yang dianggap begitu menyenangi dosen baru padahal di mata dia menyebalkan, kemudian ada celetukan”Proyeksi tuh, padahal wajah lu berbinar juga sekali setiap di kelas dosen ganteng itu... ,” disambut gelak tawa, namun dua mahasiswa Arsitek lain yang kebetulan berada di dekat mereka akan mengernyitkan dahi dan mencoba lebih keras memahami makna kata ‘proyeksi’. Apakah sama dengan proyeksi seperti pada gambar perspektif yang sering mereka buat?

Berlaku pula ketika mahasiswa psikologi terkikik melihat cipratan tinta yang secara spontan memancing humor ala test Rosarch, bukan merupakan humor bagi mahasiswa seni rupa misalnya. Maka konteks pun memegang peran di sini.



Humor dalam Konseling

Seperti bentuk interaksi lain dalam kehidupan manusia, sesi konseling pun salah satu bentuk interaksi. Komunikasi selalu memerlukan ’kesamaan bahasa’ untuk bisa terhubung. Kita mengenal sebuah istilah ice breaking, sebaai salah satu titik krusial dalam menjalin rapport di garis awal sesi ini. Humor telah menjadi pilihan spontan, tidak kecuali bagi konselor dan klien sendiri.

Konselor perlu melihat dan menentukan kondisi yang tepat ketika akan menyelipkan atau menggunakan humor dalam sesi konselingnya. Penggunaan humor ini menuntut pengukuran tingkat ketepatan dalam waktu dan sensitivitas. Humor yang tepat dan positif bukan tidak mungkin mampu menciptakan great insight bagi kehidupan dan dunia klien.

Sebagai pemecah kekakuan dan ketegangan yang mungkin tercipta di awal konseling, idealnya humor mampu meredakan ketegangan dan memberi kemajuan positif dalam interaksi selanjutnya. Studi telah menunjukkan bahwa humor memang instrumen yang ampuh dalam konseling. Interpretasi tepat terhadap atmosfer atau suasana klien (konseling) serta kepribadian klien, menjadi pertimbangan penting bagi konselor untuk mengeluarkan joke-joke segar sebagai pendukung kesuksesan konseling.

Humor juga merupakan representasi komunikasi dan ekspresi klien. Klien memanfaatkan humor sebagai alat komunikasi untuk menanggapi berbagai aspek yang disajikan dalam proses konseling. Tidak jarang klien merasa grogi atau cemas ketika memasuki sesi konseling, maka humor menjadi barometer tingkat kenyamanan dan keamanan yang akan didapatkan dari interaksi dengan konselor. Kembali, humor berperan sebagai pemecah kekakuan dan ketegangan yang cukup sensitif.



Humor Memacu Kreativitas

Humor dan kesehatan telah banyak diperbincangkan dan dibuktikan, karena tertawa berarti melakukan peregangan otot-otot halus tidak hanya di sekitar wajah tapi seluruh tubuh sehingga kita menjadi santai. Humor juga berkhasiat memacu kreativitas, karenanya sangat dianjurkan dalam ruang kelas maupun ruang keluarga.

Pendekatan komunikasi dan interaksi antara orangtua dan anak, pengajar dan anak didik dapat mendorong kreativitas serta kemampuan berpikir, mengenalkan nilai-nilai, mengajarkan perilaku positif dan tanggung jawab pada lingkungan sekitar, menanamkan rasa percaya dan kepercayaan diri anak-anak dengan mengenalkan satu mekanisme untuk menghadapi kesedihan, kekecewaan atau perasaan duka (Lovorn,2008).

Mengapa? Karena mengapresiasi humor tidak sekedar terbahak, dibutuhkan sensitivitas sosial mencakup momen, siapa dan di mana kita saat itu. Mungkin kita sendiri akan langsung merasa geli menghadai satu kegagalan, tetapi kita perlu berpikir ulang ketika mendapati sahabat yang begitu terpukul pada satu kejadian, tidak serta merta humor bisa menjadi obat kekecewaan. Maka, mengenalkan dan membiasakan humor pada anak-anak, sekaligus melatih banyak aspek seperti terungkap dalam penelitian Lovorn di atas.

JK.Rowling dalam karyanya ”Harry Potter” pun menawarkan ’terapi’ humor pada pembacanya dengan menciptakan mantra ”Ridiculus” untuk melenyapkan boggart, makhluk non penyihir yang selalu berwujud beda-beda tergantung ketakutan yang dimiliki penyihir. Seperti Ron Weasley yang takut pada laba-laba, maka boggart akan menampakkan dirinya sebagai laba-laba raksasa, mengucapkan mantra Ridiculus dan membayangkan laba-laba (ketakutan) menjadi /melakukan sesuatu yang menggelikan, maka hilanglah ketakutan (Boggart) itu.

Menertawakan ketakutan diri sendiri, menjadi obat penawar yang ampuh, itulah yang ingin disampaikan. JJJ

sumber: www.e-psikologi.com

Kampus Bukan Hotel Singgah

Kategori Pendidikan
Oleh : RR. Ardiningtiyas Pitaloka, M.Psi.
Jakarta, 10 Agustus 2010

Dunia pendidikan sering mendapatkan tuduhan tidak menghadirkan realitas kehidupan, sehingga para lulusannya menjadi ‘mati gaya’ ketika saatnya turun gunung. Perguruan tinggi sering pula mendapatkan label ‘menara gading’. Kalimat ini menggambarkan jauhnya realitas di kampus dengan realitas kehidupan di luar kampus. Pengalaman sebagai pengajar di dua kampus swasta Jakarta memberi saya pemahaman yang sedikit ‘berbeda’ dan memperlihatkan hal lain dari label di atas. Label yang kemudian terasa menjadi ‘excuse’ masyarakat Indonesia, menguak isu kebiasaan kalau bukan disebut ‘budaya’ kita yang lebih krusial.

‘Apa ada yang kita pelajari di kelas yang digunakan sehari-hari?’ Apakah mempelajari filsafat ada manfaatnya di pekerjaan? Apakah dalam interview kerja akan ditanyakan pemikiran Socrates? Apakah teori dan jurnal sains itu dapat digunakan kelak ketika bernegosiasi dengan klien atau menarik konsumen? Masih banyak gurauan dan pernyataan sinis sekaligus miris yang akrab di percakapan sehari-hari. Kita bisa menemui di kantin kampus hingga perkantoran. Jawabannya tentu : TIDAK ADA.

Kampus adalah realitas
Lebih dari sekali – dua kali saya mendapatkan pertanyaan dengan wajah ‘memelas’, “Haruskah menggunakan textbook?” Mereka nampak kecewa mengetahui ‘pelarangan’ Om Google sebagai ‘handbook’ mata kuliah. Banyak mahasiswa juga yang masih keliru menganggap mesin pencari ini sebagai ‘referensi’. Padahal telah banyak penerbit Indonesia yang menerjemahkan textbook sehingga jauh lebih terjangkau dan lebih mudah ditemukan dibandingkan sepuluh tahun yang lalu.

Menggunakan di sini juga bermakna variatif, mulai dari membeli, mengkopi beberapa bagian hingga meminjam di perpustakaan atau teman (kakak tingkat). Hingga saya pernah mengajak mahasiswa untuk mengingat scene-scene dalam film Hollywood yang terkesan ‘hura-hura’. Dalam adegan sekolah atau kampus, mahasiswa atau siswa dengan warna-warni penampilan (dari funky – sexy) tetap menenteng bertumpuk buku di tangannya.

Jika melukiskan ekspresi mahasiswa dengan kartun, ada satu bubble sama di atas kepala mereka, “Kuliah tidak sama dengan kerja kelak”; “Ini hanya teori”, dsb. Citra ini yang sedikit banyak menjadi dorongan negatif untuk kurang atau tidak bersungguh-sungguh menjalani kehidupan kampus. Padahal, kampus bagi mahasiswa adalah dunia riil, sangat riil yang bisa menempati porsi utama pada masa perkembangan kognitif mereka saat itu.

Kampus adalah miniatur kehidupan yang memberikan kesempatan mahasiswa untuk mengasah ketrampilan akademik, interaksi sosial bahkan entrepreneurship. Soft skill utama seorang lulusan perguruan tinggi adalah ketrampilan menganalisa, menyusun logika, komunikasi aktif, kerjasama, bahkan kepemimpinan. ‘Berdialog’ dengan para ilmuan dari penjuru dunia melalui teori-teori mereka adalah salah satu media mengasah mind. Membaca textbook, membahas isu praktis dengan analisa teoretik adalah hal riil untuk membentuk ketrampilan analisa logika.

Apresiasi terhadap nilai tinggi adalah apresiasi pada usaha selama kehidupan riil di tahap tersebut, yakni belajar. Dalam proses seleksi seperti metode assessment center, pewawancara akan melakukan pendalaman konfirmatif – klarifikatif terhadap nilai-nilai tersebut. Bagian ini yang sering luput dari pelamar kerja fresh-graduate sehingga tidak sedikit yang terkaget apalagi mereka yang sebenarnya tidak terlalu sungguh-sungguh menjalani pendidikan. Sebagian besar masyarakat (mahasiswa yang lulus beserta keluarganya) dengan cepat menyimpulkan untuk ucap ‘perpisahan’ tegas dengan dunia pendidikan. Layaknya memutus jembatan di belakang dan menatap kehidupan baru yang sama sekali tidak ada hubungannya.

Mindset Pendidik & Kampus
Ada excuse lain yang saya tangkap baik kampus secara institusi maupun para pendidik. Beberapa pemakluman yang sepertinya tampak ‘baik’ untuk mahasiswa yang secara implisit terkandung dalam pandangan; “Mahasiswa semester awal, yah.. masih seperti SMA lah, maunya disuapi, masih susah untuk membaca, terlebih textbook.” Atau, “Ini kan bukan mahasiswa psikologi (untuk mahasiswa non-psikologi), jadi tidak wajib memiliki textbook lah..” Saya yakin, hal ini juga ditemui oleh dosen lain ketika mengajar di kelas non disiplin utamanya.

Pandangan ini sebenarnya konsisten dengan keluhan rendahnya kemampuan membaca di Indonesia. Sebagian pendidik pun memperlakukan sumber ilmu secara praktis, hanya karena bukan disiplin utamanya, maka tidak perlu membaca handbook-nya. Pada sisi lain, mahasiswa menjadi melihat ‘kurang signifikannya’ sumber bacaan dalam mata kuliah tersebut. Makna lainnya, adalah dosen masih diminta untuk menjadi audiobook. Pada saat yang sama, pembelajaran mandiri sedang digalakkan di mana posisi dosen lebih untuk pengantar dan berdiskusi. Seharusnya pendidik memberikan kepercayaan pada mahasiswa tingkat bawah untuk membedah isi buku dan berdiskusi lebih lanjut di kelas maupun luar kelas. Implementasi dari memberi kepercayaan di sini adalah ‘mendorong’ bahkan ‘memaksa’ mereka untuk mempelajari buku-buku utama, bukan sekedar copy-paste untuk tugas essay.

Ada hal lain yang masih perlu dikaji, namun memberikan satu pertanyaan di benak saya tentang hebohnya ujian nasional di negeri ini. Selain ketrampilan membaca di atas, ada strategi belajar lain yang nampaknya masih asing bagi mahasiswa yakni teamwork. Ketika diminta membentuk kelompok-kelompok kecil di kelas untuk menjawab sekian soal menggunakan textbook, sebagian besar nampak panik melihat banyaknya soal dan waktu yang tersedia. Tugas ini menjadi sangat menekan dan tidak realistis. Pada akhirnya mereka perlu diingatkan bahwa mereka adalah tim yang terdiri dari beberapa orang. Pola kerjasama satu soal dikeroyok lima orang tentu akan memakan waktu satu hari untuk menyelesaikan lima soal, bukan 25 menit. Kecuali mereka semua telah membaca materi kuliah sebelum masuk kelas.

Pola kerjasama tim dengan pembagian tugas dan delegasi yang tampaknya ‘asing’ ini menjadi paradoks dengan budaya kolektif kita. Tidak heran jika siswa dan sekolah menjadi sangat tertekan dengan materi ujian nasional, jika strategi belajarnya masih konvensional. Saya tidak berani menggeneralisir semua sekolah di Indonesia, namun kecurigaan ini yang perlu dikaji kembali. Pertanyaan yang lebih dalam, apa pemahaman kerja tim di kalangan siswa – mahasiswa kita? Apakah satu pemimpin dan sisanya pengikut pasif? Apakah ini yang membuat mahasiswa enggan menjadi pemimpin atau koordinator kelas karena ia lah yang harus bekerja keras, sementara yang lain tinggal terima beres?

Pendelegasian materi untuk kemudian masing-masing memberikan presentasi menjadi salah satu alternatif belajar yang efektif. Salah satu kompetensi dasar dalam seleksi kerja pada freshgraduate adalah problem solving dan planning organizing. Bagaimana individu mampu mengidentifikasi masalah, membuat prioritas dan mengoptimalkan sumber daya yang ada (rekan kerja – materi kerja). Ini seharusnya menjadi kompetensi dasar yang dimiliki mereka yang menyandang title sarjana.

Ketrampilan lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah menulis dan presentasi. Hampir semua pekerjaan menuntut adanya laporan tertulis, komunikasi tertulis baik yang terkonsep atau langsung seperti membalas e-mail rekanan/ klien dalam kerjasama proyek yang intensif. Hanya penguasaan materi lah yang membuat seorang mahasiswa bisa lebih mengembangkan ketrampilan presentasinya di kelas. Materi kuliah adalah realitas, se-realitas- proposal kerjasama sebuah perusahaan kelak di dunia kerja.

Berbagai mozaik ini seluruhnya berseru “Kampus adalah realitas, bukan mimpi atau hotel singgah.”

sumber: www.e-psikologi.com

Cara-cara Memelihara Persahabatan

Kategori Sosial
Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 07 Juli 2008

Terbentuknya Persahabatan
Kita semua tentu punya alasan sendiri kenapa memilih untuk membangun persahabatan. Pada umumnya, hubungan itu timbul karena perasaan yang merasa ada keterikatan (attachment): senasib sepenanggungan, sevisi, seminat, dan seterusnya dan seterusnya. Atau ada juga yang karena kesaling-bergantungan (interdependence): membutuhkan bantuan, dukungan, dan lain-lain.

Dalam prakteknya, persahabatan itu kita bedakan dengan pertemanan. Perbedaan yang paling menonjol terletak pada intensitas keterlibatan emosi dan komitmen. Karena itu, terkadang tidak cukup kita mengatakan "friend" untuk menyebut seorang sahabat, tetapi masih kita tambah dengan kata sifat "close friend". Kalau mengacu ke teori hubungan antar pribadi menurut Verderber & Verderber (Hanna Djumhana Bastaman, M.Psi, 1996) persahabatan itu mungkin istilahnya adalah Deep Friendship. Berdasarkan skala intimasi dan komitmen yang muncul, hubungan antar pribadi itu dikelompokkan menjadi seperti berikut ini:

1. Aquintance Relationship (perkenalan biasa)
2. Friendship Relationship (pertemanan karena kesamaan minat, sifat, dan kepentingan).
3. Role Relationship (hubungan berdasarkan peranan atau kepentingan)
4. Deep Friendship or Intimate Relationships (Hubungan yang sudah melibatkan emosi dan komitmen)

Dari bukti-bukti di lapangan ditemukan bahwa persahabatan yang bagus itu punya banyak manfaat. Salah satunya adalah bisa mencegah hipertensi (Reardom, Interpersonal Communication: Where Minds Meet, 1987). Secara kesehatan dijelaskan bahwa hipertensi adalah tekanan darah atau denyut jantung yang lebih tinggi dari yang normal karena ada penyempitan pembuluh darah atau karena sebab lain. Bisa juga berguna untuk menurunkan dan mengurangi potensi stress atau depresi.

Misalnya saja Anda saat ini sedang belajar di lembaga pendidikan yang menerapkan disiplin tegas. Namanya disiplin, pasti maksudnya baik. Cuma, dalam eksekusi di lapangannya, pasti juga ada kemungkinan munculnya penyimpangan prosedur oleh individu yang tak jarang menimbulkan tekanan, ketegangan, atau himpitan. Dengan memiliki cantolan klub, forum, atau kelompok yang tingkat persahabatannya bagus, itu akan bisa membuat kita lebih sabar dan terhibur.

Kalau melihat temuan Maslow, ternyata salah satu karakteristik self-actualized person itu adalah punya sahabat atau kenalan yang jumlahnya sedikit namun berbobot intimasi dan kualitasnya (Human Development, Vander Zender, 1989). Ini mungkin bisa kita tafsirkan bahwa mereka itu punya sahabat atau orang dekat. Tafsiran ini memang seringkali sinkron dengan realitas yang kerap kita temui di lapangan. Banyak 'kan kita mengenal sejumlah tokoh atau orang-orang tertentu yang berprestasi di bidangnya (di semua level) yang ternyata dulu mereka bersahabat dengan orang-orang tertentu dan persahabatan itu berlangsung sampai sekarang.

Bahkan, kata orang, Tuhan itu kalau mengangkat derajat seseorang jarang secara individu. Tuhan itu mengangkat derajat seseorang sekaligus dengan kelompoknya. Ini tentu refleksi personal yang subyektif. Tapi memang secara rasional, ungkapan itu ada rujukannya. Karena mereka yang bersahabat itu membangun kedekatan lahir dan batin, sudah barang tentu mereka punya mindset yang sama, kultur hidup yang sama, atau karakter yang sama. Logikanya, ketika orang sudah dibentuk oleh prinsip-prinsip yang sama, maka sangat mungkin mereka mendapatkan nasib yang sama.

"Isi pikiranmu membentuk tindakanmu, tindakanmu membentuk kebiasaanmu, kebiasaanmu membentuk karaktermu, karaktermu membentuk nasibmu."
(Aristotle)

Jadi, yang menyebabkan mereka punya kesamaan nasib, bukan kesamaan kelompoknya, melainkan kesamaan isi pikiran, tindaan, kebiasaan, dan karakter.


Kapan Kendor & Kapan Pecah
Dalam prakteknya, persahabatan itu bisa kendor dan bisa pula pecah. Secara umum, kendornya intimasi persahabatan itu mulai muncul ketika masing-masing atau salah seorangnya sudah punya kepentingan dan kebutuhan yang ditandai dengan berubahnya status. Misalnya saja dari mahasiswa ke pekerja atau dari bujangan ke ber-rumahtangga, dari orang biasa ke orang penting.

Kalau menurut ucapannya Sigmund Freud, orang dewasa itu isi pikirannya yang paling dominan hanya dua: to love and to work. Mereka berkonsentrasi pada keluarga (to love) dan kerjaannya (to work). Kohesi persahabatan yang terjadi pada kehidupan orang dewasa biasanya adalah lanjutan dari persahabatan sebelumnya atau karena kepentingan dan kondisi yang dirasakan sangat spesifik (benar-benar senasib).

Ini kerap terjadi pada tenaga kerja atau pelajar di luar negeri. Karena sama-sama senasib, sama-sama dari Indonesia, sama-sama punya kepentingan yang sama, dan merasakan keadaan yang relatif sama, maka persahabatan terbentuk. Tapi, menurut kebiasaan, persahabatan yang terbentuk ketika usia seseorang sudah banyak kepentingan, memang rasanya beda dengan ketika seseorang masih di usia remaja atau dewasa muda.

Nah, lalu kapan persahabatan akan terancam bubar? Masalah yang melatarbelakangi bubarnya persahabatan itu pasti bermacam-macam. Menurut Duck (1985), biasanya fase-fase bubarnya hubungan (disolusi) itu diawali dari proses di bawah ini:

1. Ketidakpuasan dari hubungan itu. Misalnya saja kita menerima perlakuan yang tidak fair, atau persahabatan yang ada tidak membuahkan hasil-hasil tertentu seperti yang semula dibayangkan. Misalnya saja persahabatan karena narkoba.
2. Upaya menarik diri. Kita sudah merasa tidak cocok lagi atau ada keinginan untuk menentang atau juga kita menarik diri. Bisa juga setelah kita menghitung untung-rugi, manfaat-keuntungan.
3. Mempraktekkan keputusan unuk menghindar atau menjauh

Bisa juga disolusi itu terjadi sesuai dengan urutan yang ditemukan Hawk Williams (The essence of managing group & teams, 1996) berikut ini:

1. Ada problem yang kita jumpai (menurut versi kita) pada dia
2. Kita membiarkan / tidak menunjukkan problem itu kepada orang yang kita anggap punya masalah dengan kita
3. Problem itu tetap muncul atau terus bertambah
4. Perasaan negatif terus menggunung / mengakumulasi
5. Kita kehilangan perspektif tentang orang itu.

Dalam organisasi kepemudaan yang rata-rata kita lihat mereka bersahabat, urutan di atas kerap terjadi. Si A dipandang telah sering melakukan tindakan yang melanggar prinsip dasar organisasi. Karena bersahabat, mereka tidak langsung menegur atau mengingatkan secara terang-terangan. Si A sendiri tidak sensitif menangkap gelagat ketidaksetujuan para sahabatnya. Proses ini terus berlanjut dan masing-masing pihak menyimpan bara api ketidaksetujuan dan ketidakpedulian di dadanya. Hingga pada puncaknya, Si A dipecat dari organisasi itu. Jika Si A tidak terima, terjadilah upaya saling menjatuhkan dimana masing-masing orang kehilangan perspektif persahabatannya.

"Hindarilah bersahabat dengan orang yang membohongimu,
hindarilah bersahabat dengan orang yang memanfaatkanmu,
dan hindarilah bersahabat dengan orang menjerumuskanmu"
(Ali bin Abu Thalib)


Beberapa Cara Mempertahankan Persahabatan
Untuk persahabatan yang tengah kendor intimasinya karena ada perbedaan dan perubahan, hal-hal yang bisa kita lakukan adalah:

Pertama, menjaga ritme dan frekuensi hubungan. Jangan terlalu sering atau jangan sama sekali putus hubungan. Aturlah ritme dan frekuensinya. Kenapa? Jika Anda terlalu sering, padahal status dan peranan sahabat Anda itu sudah tidak seperti dulu lagi, akan lain tafsirannya. Tapi jika hubungan itu terputus sama sekali, ini juga tidak tepat.

Jika kebetulan nasib kita ternyata lebih di atas, akan lebih bagus kalau kita yang berinisiatif memulai memelihara persahabatan itu. Kalau memungkinkan dan itu dibutuhkan, yang perlu kita lakukan bukan semata 'say hello' atau sekedar bernostalgia, melainkan juga perlu merambah ke gagasan-gagasan pemberdayaan, entah untuk sahabat kita yang lain atau untuk orang lain.

Kedua, hormati privasinya. Dengan peranan dan status yang sudah tidak seperti dulu lagi, tentu sahabat kita ini memiliki aturan hidup yang baru, entah itu terkait dengan keluarganya atau pekerjaannya. Agar persahabatan tetap terjaga, yang perlu kita lakukan adalah menghormati privasinya. Bahkan juga tidak saja perlu menghormati dia semata, tetapi juga orang-orang penting di sekitarnya, misalnya saja suami-istri, atasan-bawahan, dan lain-lain.

Apabila kita berada di posisi yang sebaliknya (orang yang dicari), yang perlu kita hindari adalah curiga duluan kalau sahabat kita ini pasti membawa masalah atau mau minta bantuan, hanya memberi nasehat dengan cara merendahkan, hanya memamerkan kekayaan (unjuk-diri), atau memperlakukannya terlalu formal dan menunjukkan kesan terlalu menjaga wibawa.

Ketiga, hindari meminta bantuan dengan nada dan gaya menuntut (demanding) kecuali memang ada suasana psikologis yang mendukung dan itu tidak melibatkan orang lain selain sahabat Anda. Lebih-lebih, karena tuntutan kita tak terpenuhi, kita kemudian menyebarkan gosip tak sedap, misalnya sahabat kita ini sekarang orangnya sudah lain, makin sombong, angkuh, tak peduli, dan lain-lain. Akan lebih sip kalau kita menempuh cara-cara profesional yang tetap mengedepankan etika dan strategi.

Bila kita berada di posisi sebaliknya, hindari mengeluarkan pernyataan semacam tidak bisa, itu sulit, atau itu tidak mungkin dan semisalnya dengan nada untuk menutup berbagai kemungkinan. Kalau kita tidak bisa membantu langsung, kita bisa membantu secara tidak langsung. Kalau kita tidak bisa membantu keinginannya, kita bisa membantu kebutuhannya. Intinya, munculkan semangat untuk membantu.

Itu semua bisa kita lakukan ketika persahabatan kita dulu adalah persahabatan dalam hal-hal yang positif. Untuk persahabatan yang negatif, tinggalkanlah dengan cara yang baik. Misalnya dulu kita punya geng yang suka narkoba. Karena kita sudah tobat, kita perlu memutus hubungan dengan sahabat-sahabat yang masih terlibat. Tujuannya adalah agar kita tidak terlibat lagi.

Adapun untuk kita yang masih dalam tahap sedang asyik-asyiknya menjalani hidup dengan persahabatan, beberapa hal yang perlu kita ingat adalah:

1. Nikmatilah persahabatan yang ada tetapi jangan sampai menghilangkan diri Anda. Jadikan persahabatan saat ini sebagai lahan untuk aktualisasi-diri dengan bertukar pengalaman, pengetahuan, informasi, berbagi perasaan, dan lain-lain. Termasuk juga jangan sampai persahabatan ini merenggangkan hubungan dengan orang-orang inti: orangtua dan keluarga. Anda tetap bisa bersahabat tanpa harus memunculkan ketegangan dengan orangtua atau keluarga
2. Inisiatifkan untuk memunculkan gagasan-gagasan positif, entah itu yang berkaitan dengan akademik atau non-akademik. Sebagai acuan, buatlah learning group (kajian akademik, dst), problem solving group (bantuan sosial, dst), atau growth group (pengasahan bakat, dst). Ini sangat bermanfaat bagi kemajuan Anda di masa mendatang.
3. Jagalah jangan sampai punya kepentingan yang bertabrakan dengan kepentingan sahabat. Bila itu terjadi, buatlah kesepakatan sefair mungkin dengan melibatkan sahabat lain.
4. Hormatilah dan jangan "memanfaatkan". Misalnya kita bersahabat dengan si anu karena orangtuanya kaya, terpandang, atau ada agenda politis yang kita sembunyikan untuk memanfaatkan sahabat kita. Bersahabatlah karena kecocokan jiwa.
5. Mendukung dan membantu. Banyak orang yang bisa membantu sahabatnya ketika sedang kesusahan tetapi tidak bisa mendukung sahabatnya yang sedang meraih kemajuan. Lawanlah iri dengki di dada dengan cara mendukung dan membantu.
6. Kembangkan perspektif yang fair. Biarpun itu sahabatmu, jangan sampai kehilangan perspektif yang fair. Sebab, pasti ada yang positif dan pasti ada yang negatif. Temukan positifnya sebanyak mungkin.
7. Biasakan saling memberi nasehat dengan cara yang bersahabat, bukan dengan cara menilai, mengoreksi, lebih-lebih membicarakannya di belakang.

"Sahabatmu adalah orang yang sudah tahu banyak tentang dirimu
dan tetap bersahabat denganmu"

sumber: www.e-psikologi.com

Insomnia

Kategori Klinis
Oleh : Pudji Susilowati, S.Psi
Jakarta, 24 Maret 2008


Ny T mengalami kesulitan memulai tidur dan hanya tidur kurang lebih tiga jam dalam satu malam tetapi setiap satu jam sekali selalu terbangun. Kondisi ini mengakibatkan Ny T selalu merasa tubuhnya tidak fresh dan berat badannya mengalami penurunan dari 52 kg menjadi 47 kg. Penyebab Ny T mengalami insomnia adalah suami Ny T menuduh Ny T telah berselingkuh karena hasutan tetangga yang tidak suka pada Ny T. Ny T berusaha menjelaskan pada suaminya bahwa dirinya tidak berselingkuh, tetapi suami Ny T tetap tidak percaya. Suami Ny T selalu marah-marah pada Ny T dan melarang Ny T untuk berbincang-bincang dengan tetangga di luar rumah. Suami Ny T juga pelit dalam memberikan uang belanja dan melarang Ny T untuk berdagang. Pada awalnya, Ny T berusaha untuk tidak terlalu serius dalam memikirkan masalahnya dan menuruti keinginan suaminya, namun suami Ny T tetap memperlakukan Ny T dengan buruk. Suami Ny T selalu memarahi Ny T sehingga Ny T selalu memikirkannya dan merasa tertekan. Ny T dan suaminya juga pisah ranjang. Ny T juga takut bercerita pada suaminya bahwa dirinya mengalami kesulitan tidur setiap hari.

Apakah Anda atau keluarga Anda termasuk orang yang sedang mengalami insomnia? Insomnia atau kesulitan tidur, bagi sebagian orang dianggap sebagai suatu hal yang biasa, namun jika insomnia ini dibiarkan maka akan mengakibatkan berbagai akibat yang mengganggu kondisi psikologis dan fisik, bahkan kematian. Sebenarnya, apa insomnia itu? Jika insomnia disebabkan karena faktor psikologis seperti stres dalam jangka waktu tertentu yang disebabkan situasi social, masalah pribadi yang tidak kunjung selesai, persoalan KDRT, krisis ekonom rumah tangga, krisis dalam bisnis, dll maka insomnia ini tergolong insomnia yang disebabkan faktor psikologis. Namun, jika Anda hanya mengalami insomnia hanya 1 atau 2 hari dan hal ini disebabkan karena lingkungan tempat tinggal Anda yang bising maka Anda hanya perlu pindah tempat tinggal untuk menyembuhkan insomnia Anda. Selain itu, jika Anda mengalami insomnia karena sedang mengalami sakit fisik maka insomnia tersebut akan hilang setelah Anda sembuh. Pada kesempatan ini, kita akan membahas tentang insomnia yang disebabkan karena faktor psikologis, karena dapat menyebabkan berbagai dampak yang merugikan pada penderita insomnia, bahkan dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itu, Anda perlu mengetahui terlebih dahulu apa definisi insomnia itu.

Apakah Insomnia ?
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-IV (DSM-IV), mendefinisikan insomnia sebagai kesulitan memulai tidur, mempertahankan tidur, merasa tidak fresh pada waktu bangun pagi dan mengalami kualitas tidur yang buruk. Setelah Anda mengetahui definisi insomnia, apakah Anda sudah mulai memperhatikan diri Anda, apa Anda memang mengalami insomnia atau tidak. Untuk lebih jelasnya, Anda perlu mengetahui apa saja gejala-gejala insomnia. Namun, perlu diingat bahwa disini kita sedang membahas insomnia karena faktor psikologis, bukan faktor yang lain


Gejala Insomnia
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-IV (DSM-IV), menunjukkan beberapa gejala dimana seseorang dapat didiagnosis sedang menderita insomnia karena faktor psikologis, yaitu:

1. Kesulitan untuk memulai, mempertahankan tidur, dan tidak dapat memperbaiki tidur selama sekurangnya satu bulan merupakan keluahan yang paling banyak terjadi.
2. Insomnia ini menyebabkan penderita menjadi stres sehingga dapat mengganggu fungsi sosial, pekerjaan atau area fungsi penting yang lain.
3. Insomnia karena faktor psikologis ini bukan termasuk narkolepsi, gangguan tidur yang berhubungan dengan pernafasan, gangguan ritme sirkadian atau parasomnia.
4. Insomnia karena faktor psikologis tidak terjadi karena gangguan mental lain seperti gangguan depresi, delirium.
5. Insomnia karena faktor psikologis tidak terjadi karena efek fisiologis yang langsung dari suatu zat seperti penyalahgunaan obat atau kondisi medis yang umum.

Dengan adanya gejela-gejala yang disebutkan oleh Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-IV (DSM-IV), maka insomnia karena faktor psikologis dapat mengganggu berbagai fungsi sosial. Pertanyaannya, apa penyebab terjadinya insomnia karena faktor psikologis? Ingin tahu jawabannya, mari kita ikuti pembahasan berikut.


Penyebab Insomnia
International Classification of Sleep Disorder-Revised (ICSD-R), mengatakan bahwa penyebab terjadinya insomnia adalah masalah-masalah psikologis, seperti mengalami stress, kecemasan, ketakutan, kekhawatiran, depresi disebabkan factor tekanan pekerjaan, trauma karena mengalami bencana, mengalami kekerasan atau KDRT, mengalami pengalaman traumatis, dll. Insomnia dapat menjadi kronis jika tidak segera ditangani. Bagaimana siklus terjadinya insomnia pada tingkat yang kronis?


Siklus Insomnia Kronis
Jika seseorang mengalami insomnia sementara karena faktor psikologis (mengalami kesulitan tidur dengan nyenyak selama kurang lebih satu malam dan kurang dari empat minggu) tetapi tidak dapat beradaptasi dengan penyebab insomnia (tidak mampu mengelola stres tersebut secara sehat) maka akan mengakibatkan seseorang mengalami insomnia jangka pendek (kesulitan tidur nyenyak selama empat minggu hingga enam bulan). Jika insomnia jangka pendek ini tetap tidak dapat diatasi oleh si penderita maka akan mengakibatkan insomnia kronis. Jika terjadi insomnia kronis maka akan memerlukan waktu yang lebih lama untuk penyembuhannya. Untuk lebih jelasnya, mari kita bahas contoh kasus di atas.


Analisa Kasus
Pada kasus di atas jika kita cermati merupakan kasus insomnia kronis. Mengapa? Karena pada kasus di atas menunjukkan gejala-gejala insomnia, seperti kesulitan memulai tidur, selalu terbangun setiap satu jam sekali, waktu tidur hanya kurang lebih tiga jam dalam satu malam, selalu merasa tubuhnya tidak fresh, dan mengalami kesulitan tidur lebih dari enam bulan. Jika kita analisis, penyebab insomnia pada kasus di atas adalah karena mengalami KDRT dari suaminya yang mengakibatkan si istri tertekan dan selalu memikirkan masalahnya sehingga terjadilah insomnia kronis.

Dampak insomnia kronis yang dialami si istri pada kasus di atas adalah selalu merasa tubuh tidak fresh dan mengalami penurunan berat badan dari 52 kg menjadi 47 kg. Apakah Anda atau keluarga Anda juga mengalami kasus yang sama seperti di atas? Perlu untuk diketahui bahwa insomnia dapat mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan bagi si penderita. Apa saja dampak dari insomnia?


Dampak Insomnia
Insomnia dapat mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan, yaitu:

1. Depresi
2. Kesulitan untuk berkonsentrasi
3. Aktivitas sehari-hari menjadi terganggu
4. prestasi kerja atau belajar mengalami penurunan
5. Mengalami kelelahan di siang hari
6. Hubungan interpersonal dengan orang lain menjadi buruk
7. Meningkatkan risiko kematian
8. Menyebabkan kecelakaan karena mengalami kelelahan yang berlebihan
9. Memunculkan berbagai penyakit fisik

Dampak insomnia tidak dapat di anggap remeh, karena bisa menimbulkan kondisi yang lebih serius dan membahayakan kesehatan dan keselamatan. Oleh karenanya, setiap penderita insomnia perlu mencari jalan keluar yang tepat.


Solusi Mengatasi Insomnia
Insomnia yang terjadi karena faktor psikologis lebih baik diobati dengan psikoterapi karena penyebabnya adalah faktor-faktor psikologis. Penting bagi penderita insomnia untuk secara terbuka mengatakan pada Psikolog,terapis atau konselor tentang awal mula penyebab insomnia sehingga dapat ditentukan terapi apa yang sebaiknya diberikan. Selain itu, keluarga si penderita insomnia juga harus memberi dukungan pada penderita agar insomnia yang dialaminya perlahan-lahan dapat diturunkan sampai sembuh. Mengapa pada psikolog ? Psikolog akan membantu penderita memahami akar penyebab insomnia, melihat dari perspektif yang obyektif (tinjauan psikologis) masalah yang dialami dan mengarahkan penderita pada sikap, strategi dan pola pikir yang benar, tepat dalam mempersepsi masalah dan menemukan solusinya.

Apa saja terapi yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia? Ada beberapa terapi yang dapat digunakan untuk mengatasi insomnia, yaitu:

1. CBT (Cognitive Behavioral Therapy)
CBT digunakan untuk memperbaiki distorsi kognitif si penderita dalam memandang dirinya, lingkungannya, masa depannya, dan untuk meningkatkan rasa percaya dirinya sehingga si penderita merasa berdaya atau merasa bahwa dirinya masih berharga.

2. Sleep Restriction Therapy

Sleep restriction therapy digunakan untuk memperbaiki efisiensi tidur si penderita insomnia.

3. Stimulus Control Therapy

Stimulus control therapy berguna untuk mempertahankan waktu bangun pagi si penderita secara reguler dengan memperhatikan waktu tidur malam dan melarang si penderita untuk tidur pada siang hari meski hanya sesaat.

4. Relaxation Therapy
Relaxation Therapy berguna untuk membuat si penderita rileks pada saat dihadapkan pada kondisi yang penuh ketegangan.

5. Cognitive Therapy
Cognitive Therapy berguna untuk mengidentifikasi sikap dan kepercayaan si penderita yang salah mengenai tidur.

6. Imagery Training
Imagery Training berguna untuk mengganti pikiran-pikiran si penderita yang tidak menyenangkan menjadi pikiran-pikiran yang menyenangkan.

Banyak di antara para penderita insomnia karena factor psikologis yang menggunakan obat tidur untuk mengatasi insomnianya. Namun penggunaan yang terus menerus tentu menimbulkan efek samping yang negative, baik secara fisiologis (efek terhadap organ dan fungsi organ tubuh) serta efek psikologis. Logikanya, insomnia yang disebabkan factor psikologis, berarti factor psikologis itu lah yang harus di atasi, bukan symtomnya. Kalau kita hanya focus mengatasi simtom-nya dengan minum berbagai obat tidur, maka ketika mata terbuka, masalah akan datang kembali, bahkan akan dirasa lebih berat karena dibiarkan berlarut-larut tanpa solusi pada akar masalah.

Perlu diketahui, bahwa keberhasilan terapi tergantung dari motivasi si penderita untuk sembuh sehingga si penderita harus sabar, tekun dan bersungguh-sungguh dalam menjalani sesi terapi. Selain itu, sebaiknya terapi yang dilakukan juga diiringi dengan pemberian terapi keluarga. Hal ini disebabkan, dalam terapi keluarga, anggota keluarga si penderita dilibatkan untuk membantu kesembuhan si penderita. Dalam terapi keluarga, anggota keluarga si penderita juga diberi tahu tentang seluk beluk kondisi si penderita dan diharapkan anggota keluarganya dapat berempati untuk membantu kesembuhan si penderita.


Solusi mencegah insomnia
Insomnia karena faktor psikologis dapat dicegah dengan cara memanage stres secara positif dan jika ada mengalami masalah sebaiknya sharing pada seseorang yang dapat Anda percaya. Semoga dengan pembahasan tentang insomnia ini, dapat memberikan manfaat bagi Anda. Dengan informasi ini, diharap kita pun bisa memahami penderita insomnia dan dapat memberikan bantuan yang tepat. Perhatian dan empati terhadap penderita insomnia, bisa sedikit mengobati kegalauan emosi jiwanya. Semoga bermanfaat.

sumber: www.e-psikologi.com

Shopaholic

Kategori Klinis
Oleh : Pudji Susilowati, S.Psi
Jakarta, 02 April 2008


X adalah seseorang yang selalu tidak dapat menahan diri untuk berbelanja baju dan sepatu ketika memiliki uang padahal baju dan sepatunya sudah banyak, meskipun X tahu kalau uang itu untuk membayar kuliahnya. X tetap membelanjakan uang tersebut. Namun, setelah selesai berbelanja dan menghabiskan uangnya, X menyesal kenapa dirinya tidak mampu untuk menahan keinginannya untuk berbelanja. X merasa tersiksa dengan perilaku belanjanya ini. Selain itu, X selalu mempersepsi orang lain berdasarkan banyaknya kepemilikan harta karena baginya, orang lain akan menghormati dan menghargai jika dirinya memiliki banyak barang.


Pada saat ini, di kota-kota besar banyak didirikan mall yang menawarkan berbagai produk-produk fashion terbaru. Hal ini akhirnya, membuat sebagian besar masyarakat sering berkunjung ke mall, apalagi bagi orang-orang yang tidak mampu menahan keinginannya untuk berbelanja. Sebelumnya, saya ingin bertanya pada Anda "Mengapa Anda membeli begitu banyak pasang sepatu dan baju namun tidak mengenakannya? Apa Anda akan mengatakan bahwa sepatu dan baju itu tampak begitu menarik tetapi sesudah membeilnya, Anda merasa kurang menyukainya?"

Apakah Anda termasuk orang yang tidak mampu menahan keinginan untuk berbelanja meskipun Anda sebenarnya tidak terlalu membutuhkan barang-barang tersebut? Apabila Anda membuka almari pakaian dan sepatu Anda maka akan Anda akan dihadapkan pada setumpuk pakaian dan sepatu dengan berbagai merek. Mungkin seringkali Anda termasuk orang yang mudah terjebak oleh keinginan Anda sendiri untuk mengkonsumsi produk-produk fashion terbaru agar tidak ketinggalan tren yang berlaku. Apalagi, pada saat ini konsumerisme dan gaya hidup hedonis telah menjamur dimana-mana sehingga menyebabkan sebagian besar orang berlomba-lomba mengumpulkan barang-barang sebanyak-banyaknya hanya karena ingin dihormati, dihargai dan agar terlihat percaya diri. Padahal kenyataannya, produk-produk fashion yang ditawarkan selalu berubah-ubah modenya sehingga Anda akan merasa tidak puas dengan apa yang Anda miliki sehingga hal ini dapat membuat Anda terjebak dalam shopaholic. Perlu diketahui, shopaholic ini dapat membahayakan keselamatan diri sendiri dan orang lain karena dapat mengakibatkan seseorang bunuh diri dan melakukan tindak kriminalitas. Oleh karena itu, masalah shopaholic harus ditangani secara serius.


Definisi Shopaholic
Apa shopaholic itu? Shopaholic berasal dari kata shop yang artinya belanja dan aholic yang artinya suatu ketergantungan yang disadari ataupun tidak. Menurut Oxford Expans (dalam Rizka, 2008) dikemukakan bahwa shopaholic adalah seseorang yang tidak mampu menahan keinginannya untuk berbelanja dan berbelanja sehingga menghabiskan begitu banyak waktu dan uang untuk berbelanja meskipun barang-barang yang dibelinya tidak selalu ia butuhkan. Mungkin muncul pertanyaan dihati Anda, bagaimana gejala-gejala seseorang yang mengalami shopaholic?


Gejala-gejala Shopaholic
Perlu diketahui bahwa tidak semua orang yang suka berbelanja atau pergi ke mall dapat dikatakan shopaholic. Menurut Klinik Servo (2007), seseorang dapat dikatakan mengalami shopaholic jika menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut:

* Suka menghabiskan uang untuk membeli barang yang tidak dimiliki meskipun barang tersebut tidak selalu berguna bagi dirinya.
* Merasa puas pada saat dirinya dapat membeli apa saja yang diinginkannya, namun setelah selesai berbelanja maka dirinya merasa bersalah dan tertekan dengan apa yang telah dilakukannya.
* Pada saat merasa stres, maka akan selalu berbelanja untuk meredakan stresnya tersebut.
* Memiliki banyak barang-barang seperti baju, sepatu atau barang-barang elektronik, dll yang tidak terhitung jumlahnya, namun tidak pernah digunakan.
* Selalu tidak mampu mengontrol diri ketika berbelanja.
* Merasa terganggu dengan kebiasaan belanja yang dilakukannya.
* Tetap tidak mampu menahan diri untuk berbelanja meskipun dirinya sedang bingung memikirkan hutang-hutangnya.
* Sering berbohong pada orang lain tentang uang yang telah dihabiskannya.


Setelah Anda mengetahui gejala-gejala shopaholic maka Anda dapat mulai mencermati diri Anda sendiri atau keluarga atau rekan dekat Anda apakah telah menderita shopaholic atau tidak. Mungkin muncul pertanyaan dihati Anda, apa dampak dari shopaholic?


Dampak Shopaholic
Shopaholic dapat mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan yaitu:

* Sering mengalami kehabisan uang padahal masih awal bulan.
* Dapat mengakibatkan seseorang memiliki hutang dalam jumlah yang besar karena untuk memenuhi pikiran-pikiran obsesi untuk berbelanja dan berbelanja.
* Dapat mengakibatkan seseorang dipecat dari pekerjaannya karena melakukan pemborosan dengan menggunakan uang perusahaan.
* Memicu seseorang untuk melakukan tindak kriminal (seperti mencuri, memeras,korupsi dll) hanya karena ingin mendapatkan uang demi memnuhi dorongan untuk belanja yang terus-menerus dalam dirinya.
* Dapat mengakibatkan perceraian karena pasangan dari si penderita shopaholic merasa tersiksa dengan uang yang selalu dihabiskan pasangannya hanya untuk berbelanja dan berbelanja.
* Dapat mengakibatkan pertengkaran karena pemborosan yang dilakukan oleh penderita shopaholic.
* Dapat mengakibatkan seseorang bunuh diri karena dalam dirinya selalu muncul pikiran-pikiran obsesi untuk berbelanja dan berbelanja dan si penderita merasa tersiksa jika tidak melakukan pikiran-pikiran obsesinya tersebut.

Dampak dari shopaholic memang sangat merugikan bagi kehidupan seseorang bahkan dapat mengancam keselamatan dirinya sendiri dan orang lain. Apakah hanya perempuan saja yang mengalami shopaholic, karena perempuan sering dijuluki kaum yang suka shopping?


Siapa yang berpotensi mengalami Shopaholic?
Menurut penelitian dikemukakan bahwa 90% penderita shopaholic adalah perempuan, namun laki-laki juga mengalami shopaholic. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Stanford University mengatakan bahwa laki-laki juga mengalami shopaholic. Dengan demikian, perempuan dan laki-laki dapat menderita shopaholic. Barang-barang apa saja yang sering dibeli oleh perempuan dan laki-laki yang mengalami shopaholic? Perempuan yang mengalami shopaholic akan lebih suka untuk membeli pakaian, make-up, perhiasan, sedangkan laki-laki akan lebih suka membeli barang elektronik seperti HP, MP3 Player, dll (www.rasensi,nl).


Penyebab Shopaholic
Mungkin saat ini, Anda sedang bertanya-tanya apa penyebab seseorang mengalami shopaholic? Menurut Klinikservo (2007), ada beberapa penyebab seseorang mengalami shopaholic, yaitu:

* Seseorang menganut gaya hidup hedonis (materialis) dan mempersepsi bahwa manusia adalah human having. Human having adalah seseorang yang cenderung mempersepsi orang lain berdasarkan apa yang dimiliki (seperti punya mobil, rumah, jabatan). Human having ini akan mengakibatkan seseorang merasa terus kekurangan, selalu diliputi kecemasan, tidak akan termotivasi untuk mengejar kebutuhan pada tingkat yang lebih.
* Kecemasan yang berlebihan karena mengalami trauma di masa lalu.
* Iklan-iklan yang ditampilkan diberbagai media yang menggambarkan bahwa pola hidup konsumtif dan hedonis merupakan sarana untuk melepaskan diri dari stres.
* Adanya pikiran-pikiran obsesi yang tidak rasional

Apakah shopaholic merupakan salah satu bentuk gangguan psikologis? Shopaholic merupakan salah satu bentuk dari gangguan obsesi kompulsif. Apa definisi dan penyebab terjadinya gangguan obsesi kompulsif? Untuk lebih jelasnya, simaklah uraian singkat tentang gangguan obsesi kompulsif


Apa gangguan obsesif kompulsif itu?
Gangguan obsesif kompulsif adalah suatu gangguan psikologis yang ditandai dengan adanya pikiran-pikiran obsesif (pikiran-pikiran yang selalu berulang-ulang menghantui seseorang untuk melakukan suatu perilaku tertentu) dan adanya perilaku kompulsif (perilaku yang selalu dilakukan berulang-ulang, tetapi jika tidak dilakukan maka seseorang akan merasa tersiksa). Penderita obsesi kompulsif sebenarnya merasakan bahwa apa yang dilakukannya tidak rasional namun dirinya tidak mampu mengontrol kebiasaan yang dilakukannya tersebut. Apa saja gejala-gejala seseorang yang mengalami gangguan obsesif kompulsif?


Gejala-gejala Gangguan Obsesi Kompulsif
Menurut e-media (2007), seseorang yang mengalami gangguan obsesif kompulsif akan menunjukkan beberapa gejala-gejala yaitu merasa tertekan oleh pikiran-pikiran obsesi yang muncul dari dalam dirinya, melakukan perilaku kompulsif secara berulang-ulang untuk meredakan rasa tidak nyaman yang dirasakannya, selalu merasa cemas, dll.


Solusi Mengatasi Shopaholic
Shopaholic dapat diatasi dengan CBT (Cognitive Behavioral Therapy) dan terapi relaksasi. CBT akan membantu penderita untuk mengatasi pikiran dan perilakunya yang tidak rasional dan mencegah penderita untuk melakukan kebiasaan belanja secara terus-menerus. Selain itu, terapi relaksasi berguna untuk membantu mengurangi kecemasan dan membantu penderita untuk rileks dalam menghadapi pikiran-pikiran obsesinya yang muncul. Penderita Shopaholic juga perlu dilatih untuk membedakan antara keinginan dan kebutuhan sehingga hal dapat mulai mengontrol kebisaan belanjanya yang tidak rasional.


Solusi Untuk Mencegah Seseorang Menderita Shopaholic
Agar Anda tidak mengalami Shopaholic maka sebaiknya sesegera mungkin Anda mengontrol diri Anda pada saat berbelanja dan mengatasi stres dengan cara yang positif. Anda dapat melakukan perencanaan pengeluaran Anda ketika akan pergi ke mall sehingga hal dapat mengontrol perilaku belanja Anda yang tidak terkontrol. Namun, Anda juga harus komitmen hanya membeli barang yang benar-benar Anda butuhkan bukan karena godaan sesaat. Selain itu, Anda perlu pembukukan pengeluaran-pengeluaran yang telah Anda lakukan dan mencatat barang-barang kebutuhan pokok apa saja yang memang perlu untuk dibeli sehingga Anda dapat mengontrol perilaku belanja.
Jika Anda merasa bahwa diri Anda mengalami gangguan obsesi kompulsif, sebaiknya Anda mencari tahu, apa akar masalah yang menyebabkan Anda kain hari kian gelisah, resah, cemas, tidak bisa tenang, dsb. Sebab, obsesif kompulsif itu merupakan tanda dari adanya masalah yang tidak selesai, atau dihadapi dengan cara yang keliru, sehingga menambah persoalan baru. Setiap orang pasti bisa tahu apa masalahnya, kalau mau jujur pada diri sendiri. Tapi, memang tidak mudah untuk mau berhadapan dengan kenyataan diri. Kalau pun tidak bisa mengetahui / memformulasikan apa masalahnya, maka berkonsultasi dengan pihak yang kompeten, seperti psikolog, akan sangat membantu memberikan petunjuk, arah dan bimbingan. Untuk sembuh dari shopaholic membutukan usaha dan ketekunan, kedisiplinan dan pengendalian diri. Selain itu, empati dari anggota keluarga dan penderita sangat membantu dalam mempercepat kesembuhan penderita.

Dalam kehidupan sekarang yang diwarnai dengan konsumerisme, hendaknya kita menyadari bahwa manusia bukanlah human having tetapi human being. Semoga pembahasan tentang Shopaholic, dapat memberikan manfaat bagi Anda dan dapat mencegah meningkatnya problem shopaholic.

sumber: www.e-psikologi.com

DEPRESI

Kategori Klinis
Oleh : Team e-psikologi
Jakarta, 06 Desember 2001


Depresi biasanya terjadi saat stress yang dialami oleh seseorang tidak kunjung reda, dan depresi yang dialami berkorelasi dengan kejadian dramatis yang baru saja terjadi atau menimpa seseorang, misalnya kematian seseorang yang sangat dicintai atau kehilangan pekerjaan yang sangat dibanggakan. Depresi adalah masalah yang bisa dialami oleh siapapun di dunia ini. Menurut sebuah penelitian di Amerika, 1 dari 20 orang di Amerika setiap tahun mengalami depresi, dan paling tidak 1 dari 5 orang pernah mengalami depresi sepanjang sejarah kehidupan mereka. Di Indonesia, banyak kasus depresi terjadi sebagai akibat dari krisis yang melanda beberapa tahun belakangan ini. Masalah PHK, sulitnya mencari pekerjaan, sulitnya mempertahankan pekerjaan dan krisis keuangan adalah masalah yang sekarang ini sangat umum menjadi pendorong timbulnya depresi di kalangan profesional.

Menurut seorang ilmuwan terkemuka yaitu Phillip L. Rice (1992), depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental (berpikir, berperasaan dan berperilaku) seseorang. Pada umumnya mood yang secara dominan muncul adalah perasaan tidak berdaya dan kehilangan harapan.

Penyebab

Mungkin di antara Anda ada yang pernah mengalami depresi tanpa tahu sebab musababnya sampai membuat Anda semakin depresi karena tidak ketemu jawabannya. Akhirnya Anda jadi uring-uringan sendiri, semua jadi serba salah karena menurut Anda, tak seorang pun yang bakal memahami masalah Anda; bagaimana bisa mengharapkan bantuan orang lain jika sudah demikian keadaannya ?

Sebenarnya penyebab depresi bisa dilihat dari faktor biologis (seperti misalnya karena sakit, pengaruh hormonal, depresi pasca-melahirkan, penurunan berat yang drastis) dan faktor psikososial (misalnya konflik individual atau interpersonal, masalah eksistensi, masalah kepribadian, masalah keluarga) . Ada pendapat yang menyatakan bahwa masalah keturunan punya pengaruh terhadap kecenderungan munculnya depresi.
Gejala

Individu yang terkena depresi pada umumnya menunjukkan gejala psikis, gejala fisik & sosial yang khas, seperti murung, sedih berkepanjangan, sensitif, mudah marah dan tersinggung, hilang semangat kerja, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya konsentrasi dan menurunnya daya tahan. Sebelum kita menjelajah lebih lanjut untuk mengenali gejala depresi, ada baiknya jika kita mengenal apakah artinya gejala. Gejala adalah sekumpulan peristiwa, perilaku atau perasaan yang sering (namun tidak selalu) muncul pada waktu yang bersamaan. Gejala depresi adalah kumpulan dari perilaku dan perasaan yang secara spesifik dapat dikelompokkan sebagai depresi. Namun yang perlu diingat, setiap orang mempunyai perbedaan yang mendasar, yang memungkinkan suatu peristiwa atau perilaku dihadapi secara berbeda dan memunculkan reaksi yang berbeda antara satu orang dengan yang lain. Gejala-gejala depresi ini bisa kita lihat dari tiga segi, yaitu gejala dilihat dari segi fisik, psikis dan sosial. Secara lebih jelasnya, kita lihat uraian di bawah ini.
Gejala Fisik

Menurut beberapa ahli, gejala depresi yang kelihatan ini mempunyai rentangan dan variasi yang luas sesuai dengan berat ringannya depresi yang dialami. Namun secara garis besar ada beberapa gejala fisik umum yang relatif mudah dideteksi. Gejala itu seperti :

*
Gangguan pola tidur (sulit tidur, terlalu banyak atau terlalu sedikit)
*
Menurunnya tingkat aktivitas. Pada umumnya, orang yang mengalami depresi menunjukkan perilaku yang pasif, menyukai kegiatan yang tidak melibatkan orang lain seperti nonton TV, makan, tidur.
*
Menurunnya effisiensi kerja. Penyebabnya jelas, orang yang terkena depresi akan sulit memfokuskan perhatian atau pikiran pada suatu hal, atau pekerjaan. Sehingga, mereka juga akan sulit memfokuskan energi pada hal-hal prioritas. Kebanyakan yang dilakukan justru hal-hal yang tidak efisien dan tidak berguna, seperti misalnya ngemil, melamun, merokok terus menerus, sering menelpon yang tak perlu. Yang jelas, orang yang terkena depresi akan terlihat dari metode kerjanya yang menjadi kurang terstruktur, sistematika kerjanya jadi kacau atau kerjanya jadi lamban.
*
Menurunnya produktifitas kerja. Orang yang terkena depresi akan kehilangan sebagian atau seluruh motivasi kerjanya. Sebabnya, ia tidak lagi bisa menikmati dan merasakan kepuasan atas apa yang dilakukannya. Ia sudah kehilangan minat dan motivasi untuk melakukan kegiatannya seperti semula. Oleh karena itu, keharusan untuk tetap beraktivitas membuatnya semakin kehilangan energi karena energi yang ada sudah banyak terpakai untuk mempertahankan diri agar tetap dapat berfungsi seperti biasanya. Mereka mudah sekali lelah, capai padahal belum melakukan aktivitas yang berarti !
*
Mudah merasa letih dan sakit. Jelas saja, depresi itu sendiri adalah perasaan negatif. Jika seseorang menyimpan perasaan negatif maka jelas akan membuat letih karena membebani pikiran dan perasaan ! ; dan ia harus memikulnya di mana saja dan kapan saja, suka tidak suka !

Gejala Psikis

Perhatikan baik-baik gejala psikis di bawah ini, apakah Anda atau rekan Anda ada yang mempunyai tanda-tanda seperti di bawah ini :

*
Kehilangan rasa percaya diri. Penyebabnya, orang yang mengalami depresi cenderung memandang segala sesuatu dari sisi negatif, termasuk menilai diri sendiri. Pasti mereka senang sekali membandingkan antara dirinya dengan orang lain. Orang lain dinilai lebih sukses, pandai, beruntung, kaya, lebih berpendidikan, lebih berpengalaman, lebih diperhatikan oleh atasan, dan pikiran negatif lainnya.
*
Sensitif. Orang yang mengalami depresi senang sekali mengkaitkan segala sesuatu dengan dirinya. Perasaannya sensitif sekali, sehingga sering peristiwa yang netral jadi dipandang dari sudut pandang yang berbeda oleh mereka, bahkan disalahartikan. Akibatnya, mereka mudah tersinggung, mudah marah, perasa, curiga akan maksud orang lain (yang sebenarnya tidak ada apa-apa), mudah sedih, murung, dan lebih suka menyendiri.
*
Merasa diri tidak berguna. Perasaan tidak berguna ini muncul karena mereka merasa menjadi orang yang gagal terutama di bidang atau lingkungan yang seharusnya mereka kuasai. Misalnya, seorang manajer mengalami depresi karena ia dimutasikan ke bagian lain. Dalam persepsinya, pemutasian itu disebabkan ketidakmampuannya dalam bekerja dan pimpinan menilai dirinya tidak cukup memberikan kontribusi sesuai dengan yang diharapkan.
*
Perasaan bersalah. Perasaan bersalah terkadang timbul dalam pemikiran orang yang mengalami depresi. Mereka memandang suatu kejadian yang menimpa dirinya sebagai suatu hukuman atau akibat dari kegagalan mereka melaksanakan tanggung jawab yang seharusnya dikerjakan. Banyak pula yang merasa dirinya menjadi beban bagi orang lain dan menyalahkan diri mereka atas situasi tersebut.
*
Perasaan terbebani. Banyak orang yang menyalahkan orang lain atas kesusahan yang dialaminya. Mereka merasa terbeban berat karena merasa terlalu dibebani tanggung jawab yang berat.

Gejala Sosial

Jangan heran jika masalah depresi yang berawal dari diri sendiri pada akhirnya mempengaruhi lingkungan dan pekerjaan (atau aktivitas rutin lainnya). Bagaimana tidak, lingkungan tentu akan bereaksi terhadap perilaku orang yang depresi tersebut yang pada umumnya negatif (mudah marah, tersinggung, menyendiri, sensitif, mudah letih, mudah sakit). Problem sosial yang terjadi biasanya berkisar pada masalah interaksi dengan rekan kerja, atasan atau bawahan. Masalah ini tidak hanya berbentuk konflik, namun masalah lainnya juga seperti perasaan minder, malu, cemas jika berada di antara kelompok dan merasa tidak nyaman untuk berkomunikasi secara normal. Mereka merasa tidak mampu untuk bersikap terbuka dan secara aktif menjalin hubungan dengan lingkungan sekalipun ada kesempatan.

sumber: www.e-psikologi.com

Apakah Kita Sering "Mut-Mut-an?"

Kategori Klinis
Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 01 Februari 2010

Keunikan Mood
Rasa-rasanya sudah biasa kita menggunakan istilah mood. Umumnya, istilah mood itu kita pahami sebagai suasana batin tertentu, bisa bad dan bisa good. Kalau melihat ke pendapat ahli, seperti yang dikutip Wikipedia misalnya, mood adalah keadaan emosi (state of emotion) yang berlangsung secara relatif, yang sebab-sebabnya seringkali subyektif atau tidak jelas. Jika seseorang merasa takut, itu ada sebabnya, entah faktual atau perceptual (sebab-sebab yang dipersepsikan seseorang). Sama juga kalau seseorang merasa gembira. Kegembiraan muncul karena sebab-sebab tertentu. Tapi untuk mood, sebabnya seringkali tidak jelas atau stimulusnya kerap kurang faktual. Misalnya saja, kita tahu-tahu merasa bad mood saat mau berangkat ke kantor.

Penjelasan yang mirip sama juga bisa kita dapatkan dari bukunya Philip G. Zimbardo (Psychology and Life: 1979) tentang mood. Mood adalah keadaan emosi tertentu yang tidak masuk dalam kategori state (emosi yang dipicu oleh faktor eksternal tertentu) atau trait (bentuk emosi yang menjadi bawaan seseorang). Perubahan mood bisa berlangsung dalam ukuran jam atau hari. Bagi sebagian orang, perubahan mood kerap mempengaruhi gairahnya untuk melakukan sesuatu atau bahkan bisa mempengaruhi keputusan dan tindakannya. Sejauh pengaruh itu tidak menyangkut ke urusan yang penting dan sangat menentukan, mungkin masih bisa kita bilang biasa. Namanya juga orang hidup. Alam saja punya musim dan cuaca.

Tapi, bila itu sudah merembet ke urusan yang sangat penting, maka sulit rasanya untuk mengatakan itu biasa. Misalnya kita sedang menekuni keahlian tertentu. Jika gairah kita lebih sering dikendalikan oleh perubahan mood, mungkin akan sangat pelan kemajuan yang bisa kita raih, yang mestinya bisa kita raih lebih cepat, jika seandainya kita tidak mut-mutan (moody). Lebih-lebih jika perubahan mood itu sering kita alami sudah menyangkut ke urusan dengan orang lain atau organisasi. Misalnya kita tiba-tiba membatalkan janji dengan mitra gara-gara mood. Kita mengubah haluan yang sudah disepakati orang banyak gara-gara mood; atau kita mengambil keputusan penting yang menyangkut keluarga karena soal mood. Gampangnya ngomong, kita sudah menjadi orang yang mut-mutan sehingga sulit dipegang.

Mood Disorder
Di dalam kajian Psikologi, ada istilah yang akrab disebut mood disorder atau perubahan mood yang sudah tidak sehat lagi atau kacau. Dr. C. George Boeree, dari Shippensburg University (Mood Disorder: 2003), menjelaskan bahwa Mood Disorder itu merupakan sisi ekstrim yang sudah tidak sehat (patologis) dari perubahan mood tertentu, misalnya terlalu girang atau terlalu malang (sadness and elation).
Definisi di atas rasa-rasanya sudah cukup untuk kita jadikan sebagai acuan perbaikan diri. Lain soal kalau kita ingin menggunakannya untuk presentasi tugas-tugas akademik yang menuntut sekian teori, perspektif, dan analisis data atau fakta. Untuk kepentingan perbaikan diri, pengaruh perubahan mood yang perlu kita deteksi itu antara lain adalah:

* Apakah perubahan mood itu sudah benar-benar ekstrim hingga sudah bisa dibilang sangat membahayakan, misalnya ugal-ugalan saat berkendaraan di jalan raya atau membanting barang-barang yang berguna buat kita hingga fatal?
* Apakah perubahan mood itu sudah benar-benar dapat melumpuhkan fungsi kita dengan sekian tanggung jawab yang harus kita jalankan hingga kita menjadi orang yang “EGP” (Emang Gue Pikiran) terhadap tugas-tugas kantor, tanggung jawab profesi, atau tugas sebagai orangtua?
* Apakah perubahan mood itu sudah membuahkan tanda-tanda rusaknya hubungan kita dengan orang lain gara-gara misalnya banyak janji yang tidak kita tepati, banyak missed call atau SMS yang tidak kita jawab, dan lain-lain?


Sekian jawaban yang bisa kita gali dari pertanyaan di atas memang masih belum tentu bisa disebut Mood Disorder secara teori keilmuannya. Hanya saja, dengan menggunakan akal sehat, pasti kita sudah bisa menyimpulkan bahwa perubahan mood yang sudah menimbulkan bahaya dan kerusakan, tentu bukan lagi urusan yang biasa atau normal.

Gaya Hidup Depresif
Apa yang pertama-tama perlu kita telaah ketika perubahan mood yang kita alami itu sudah berdampak pada hal-hal buruk seperti di atas? Salah satu yang terpenting adalah gaya hidup, kebiasaan, atau tradisi, dalam arti prilaku yang berulang-ulang kita lakukan secara hampir tidak kita sadari sepenuhnya. Pertanyaannya, gaya hidup seperti apa? Gaya hidup yang bisa menjelaskan munculnya mood secara kebablasan (patologis) adalah gaya hidup depresif. Seperti sudah sering kita baca di sini, depresi itu adalah stress yang berlanjut atau gagal kita tangani secara positif. Dalam prakteknya, depresi itu ada yang sifatnya respondent dan ada yang sifatnya sudah menjadi tradisi yang berlangsung lama.

Depresi yang sifatnya respondent umumnya dipicu oleh kejadian eksternal yang kita rasakan stressful, seperti misalnya ada tragedi diri yang membuat kita harus hengkang dari kantor atau perusahaan yang selama ini kita besarkan, perceraian yang diawali peristiwa yang menyakitkan, atau kematian yang tidak normalnya menimpa orang tersayang, dan berbagai peristiwa lain yang sulit kita terima secara langsung. Jika acuannya praktek hidup, depresi yang respondent umumnya diketahui sebab-sebabnya atau kronologisnya. Ini agak beda dengan depresi yang sudah menjadi gaya hidup. Mungkin ada pemicunya, tetapi pemicu itu tidak kita sadari sehingga menggunung dan berlahan-lahan membuat kita merasa dikelilingi oleh berbagai beban, tekanan, dan ancaman.

Untuk menelaan apakah praktek hidup kita sehari-hari sudah diliputi berbagai beban, tekanan, dan ancaman yang depresif itu, mungkin gejala umum di bawah ini dapat kita jadikan acuan:

* Menurunnya energi untuk melakukan sesuatu, bad mood.
* Sulit berpikir atau berkonsentrasi sehingga membuat kita lupa atau tidak menyadari tanggung jawab, dari mulai yang sepele, katakanlah seperti lupa membayar makanan yang kita ambil, dan semisalnya
* Inginnya tidur terus atau sulit tidur, ingin makan terus atau sulit makan
* Tidak care lagi terhadap urusan penampilan, misalnya acak-acakan
* Sulit mengambil keputusan atau cepat berubah-ubah keputusannya (tidak bisa dipegang)
* Mengalami kelambanan psikomotorik, seperti ngomongnya sepenggal-sepengal, lamban meresponi sesuatu, atau males ngomong
* Berpikir secara tidak sehat mengenai kematian


Membebaskan Diri Dari Depresi
Di literaturnya, memang banyak pernyataan ahli yang mengingatkan agar kita tidak cepat berkesimpulan bahwa perubahaan mood yang sudah menciptakan gangguan itu murni karena depresi. Untuk mengetahui sebab-sebab yang spesifik, diperlukan pendalaman oleh tenaga ahli. Dan itu umumnya butuh waktu. Tapi, hampir semua sepakat bahwa depresi dapat membuat seseorang lebih sering dikendalikan oleh suasana batin dalam mengambil keputusan sehingga layak bisa dibilang mut-mutan. Karena batin kita sedang depresif, maka keputusan kita pun mencerminkan gejala-gejala depresi seperti di atas. Misalnya tidak konsentratif, tidak bergairah untuk bertanggung jawab, dan seterusnya.

Lantas, apa yang bisa kita lakukan agar depresi itu tak sampai membuahkan kebiasaan moody? Akan dibilang sombong jika kita berpikir sanggup mengantisipasi peristiwa depresif seratus persen. Banyak peristiwa menyakitkan yang tak sanggup diantisipasi oleh manusia atau oleh negara sekali pun, misalnya bencana. Ada bencana yang karena ulah manusia, tetapi ada yang karena sudah maktub (tertulis).
Karena itu, selain memang perlu mengantisipasi, kita pun perlu melakukan mekanisasi (menciptakan mekanisme pertahanan-diri) untuk menghadapi peristiwa yang sudah tak bisa diantisipasi. Mekanisme ini dapat kita kelompokkan menjadi dua, yaitu:

1. Mekanisme eksternal

2. Mekanisme internal

Katakanlah kita kini merasakan situasi kantor atau rumah tangga yang benar-benar depresif dan sebab-sebabnya sudah ruwet, seperti benang kusut. Mekanisme eksternal yang bisa kita lakukan antara lain: mengatur (to manage), mengubah, memperbaiki, atau pindah ke situasi baru. Tapi ini men-syaratkan kemampuan, kemantapan, dan tangggung jawab. Jika itu belum sanggup kita jalankan, maka yang bisa kita lakukan adalah menciptakan mekanisme internal. Jumlah dan bentuk mekanisme internal yang diciptakan Tuhan untuk mempertahankan hidup itu sangat tak terbatas, dari mulai menciptakan interpretasi baru, opini baru, definisi baru, makna baru, refleksi baru, sikap baru dan seterusnya.

Mekanisme internal itu intinya adalah upaya kita menciptakan pikiran, perasaan, dan keyakinan yang membuat kita menjadi lebih kuat dan lebih tercerahkan. Mekanisme internal ini bahkan lebih berperan ketimbang mekanisme eksternal dalam mengkondisikan seseorang menjadi depresi atau tidak. Dalam prakteknya, belum tentu orang yang di penjara itu lebih depresif ketimbang orang yang bebas. Belum tentu orang yang namanya dan gambarnya dijadikan sasaran tudingan dan hinaan di media atau demo itu lebih depresif. Bisa ya dan bisa tidak, atau bahkan malah bisa semakin matang, tergantung mekanisme internalnya.

Yang perlu kita jauhi bersama adalah, sudah kita belum mampu menciptakan mekanisme eksternal (karena soal berbagai cost), menciptakan mekanisme internal yang gratis pun tidak kita ciptakan. Atau malah membangun mekanisme internal yang semakin men-depresi-kan diri sendiri hingga membuat kualitas keputusan hidup kita menurun drastis atau mut-mutan melulu. Memang, mekanisme internal itu muncul dari sekian dukungan, mungkin nilai, ilmu, informasi, dan yang terpenting lagi adalah latihan (proses dan prosesi).

Semua dukungan itu hanya akan kita dapatkan setelah ada pondasi yang kuat, yaitu:

1. Munculnya dorongan untuk berubah ke arah yang lebih baik

2. Menyadari adanya kebutuhan untuk berubah.

Jika dua hal ini tidak ada, mungkin semua pintu akan tertutup. Dari laporan penelitian beberapa ahli diakui bahwa yang membuat orang tak kunjung bisa menguasai mood-nya adalah karena orang itu tidak menyadari adanya kebutuhan untuk mengubah dirinya. Bahkan mungkin merasa itulah yang benar.

Berpikir Hidup Ini Hanya Sekali
Tidak semua perubahan hidup yang kita nilai sangat fundamental itu harus dimulai dari pemikiran yang canggih, pintar, dan kompleks. Itulah hebatnya keadilan Tuhan. Adakalnya bisa dimulai dari pemikiran yang sederhana, yang tidak hanya diketahui oleh para profesor, dan mungkin salah. Contohnya adalah berpikir “Hidup ini hanya sekali”. Untuk kita, ini salah karena hidup itu dua kali, tidak ada kalimat yang canggih di situ, dan tak ada teori yang melatarbelakanginya. Tapi, jika kita berhasil menggunakannya untuk mengantisipasi munculnya gaya hidup yang depresif, hasilnya akan canggih. Dengan berpikir seperti itu, kita akan segera sadar, untuk apa kita membiarkan diri larut dan hanyut ke dalam gaya hidup yang depresif, wong hidup hanya seperti mampir ngombe (numpang minum) saja? Kenapa nggak kita nikmati saja hidup yang hanya sekali ini dengan sekian mekanisme yang bisa kita buat? “Gitu aja kok repot?”, mengenang ucapan Gus Dur semasa masih hidup.

Semoga bermanfaat.

Sumber: www.e-psikologi.com

Perilaku Narsistik Dalam Organisasi

Konsep dan istilah narsisisme atau narsisistik berawal dari mitologi Yunani kuno tentang seorang pemuda tampan yang bernama Narsisus. Narsisus adalah putra dewa sungai, Cephissus. Pada saat itu Echo, seorang dewi yang tidak bisa berbicara, jatuh cinta kepadanya. Namun Narcisus bertindak kejam dan menolak cinta Echo. Pada suatu hari, Narsisus melewati sebuah danau yang sangat bening airnya dan ia melihat refleksi dirinya sendiri. Ia sangat mengagumi dan jatuh cinta pada refleksi itu. Ia sangat ingin menjamah dan memiliki wajah yang dilihatnya, tapi setiap kali ia mengulurkan tangannya untuk meraih refleksi dirinya, bayangan itu kemudian menghilang. Narsisus tetap menunggu di tepi danau untuk mendapatkan bayangan yang menjadi obyek kekagumannya sampai ia mau menceburkan dirinya sendiri ke dalam danau dan akhirnya mati. Para dewa merasa kasihan padanya, sehingga Narsisus ditranformasikan menjadi tumbuhan berbunga yang diberi nama Narsisus. Mitologi ini digunakan dalam Psikologi pertama kalinya oleh Sigmund Freud (1856-1939) untuk menggambarkan individu-individu yang menunjukkan cinta diri yang berlebihan. Freud menamakan mereka : "The narsissists" dan pelakunya disebut individu narsisistik atau seorang narsisis.

Bagaimanakah Potret Perilaku Individu Narsisistik dalam Organisasi?

Menurut Freud individu narsisistik adalah mereka yang senang dikagumi, sangat independent dan tidak mudah didekati. Mereka adalah innovator di perusahaan dan sangat terpacu untuk memperoleh kekuasaan dan kejayaan. Mereka dikenal sebagai pemimpin yang penuh visi dan memiliki banyak pengikut. Namun demikian mereka juga memiliki kekurangan yaitu tidak mau menerima kritik, kurang empathy, bukan pendengar yang baik, sulit dibimbing dan membimbing orang lain, dan memiliki jiwa kompetisi yang cenderung berlebih-lebihan. Dalam pekerjaan sehari-hari individu narsisistik menunjukkan prinsip-prinsip seperti:

*

Saya dapat melakukan apa saja (Omnipotence)
*

Saya dapat ditemui dimana saja (Omnipresence)
*

Saya tahu segala sesuatu (Omniscience)
*

Saya dikagumi dan dicintai semua orang

Dalam penilitian yang dilakukan oleh Buss dan Chiodo (1991) perilaku sehari-hari individu-individu narsisistik dikategorikan dalam 8 kategori sebagai berikut:

* Perilaku narsisistik: bercermin dan berdandan secara konstan, memancing pujian orang lain, menanyakan persepsi orang lain tentang dirinya, selalu menonjolkan kinerja dan prestasinya, mencela kemampuan dan merendahkan prestasi orang lain, dan selalu membandingkan dirinya dengan orang lain.
* Perilaku eksibisionis: menjadi pusat perhatian dalam perkumpulan, menghamburkan uang untuk membuat orang lain kagum, berbicara keras-keras supaya orang lain mendengar, membantah demi menarik perhatian, dan suka memamerkan harta miliknya.
* Perilaku grandiose: mengharapkan orang lain untuk mengalah, menghindarkan diri dari orang yang dianggapnya lebih rendah, menyatakan betapa hebatnya dia, mengambil alih pimpinan rapat, menominasikan diri sebagai orang yang memiliki kekuasaan.
* Perilaku yang terpusat pada diri sendiri (self centered): membuat keputusan tanpa mengindahkan orang, memaksa orang lain untuk mendengarkan ceritanya tanpa mau mendengar cerita orang lain, tidak mau berbagi dengan orang lain, meminta orang lain untuk mengikuti jadwalnya.
* Perilaku entitlement: meminjam tanpa berniat mengembalikan, datang pada saat yang tidak tepat dan mengharapkan untuk dilayani, mengundang diri sendiri ke pesta, menggunakan milik orang lain tanpa meminta ijin dahulu, menuntut perlakuan istimewa yang bukan pada tempatnya.
* Perilaku ekspansif (self-aggrandizing): senang menonjolkan kekayaannya, hanya mau bersosialisasi dengan orang ternama dan berstatus tinggi, senang menunjukkan kesalahan orang lain, datang terlambat pada saat meeting untuk menunjukkan bahwa ia penting dan memukau.
* Perilaku yang tidak empatik: tidak menghiraukan perasaan orang lain, tidak berduka ketika orang lain mengalami musibah, tidak mau mendengar masalah yang dihadapi oleh orang lain, menginterupsi percakapan orang lain.
* Perilaku manipulatif: hanya mau melakukan kebaikan dengan pamrih, meminta orang lain untuk mengerjakan pekerjaannya dan perilaku manipulatif lainnya.

Sumber: www.e-psikologi.com

Minggu, 07 November 2010

KEKUASAAN DALAM KELOMPOK

A. Definisi
1) Weber : kemungkinan dimana seseorang di dalam hubungan sosialnya
mempunyai posisi untuk melakukan keinginannya tanpa perlawanan
2) Buckley : kendali atau pengaruh atas perilaku orang lain untuk mendukung
pandangan seseorang tanpa sepengetahuan mereka, bertentangan dengan
keinginan atau pemahaman mereka
3) Kipnis : interaksi antara dua pihak, pemegang kekuasaan dan target
person, dimana perilaku tadi diarahkan oleh pemegang kekuasaan
4) Kekuasaan koersif : memaksa, bentuk-bentuk legitimasi dari pengaruh sosial,
seperti ancaman, hukuman
B. Dasar-dasar atau Sumber-sumber Kekuasaan
1. Reward
2. Coersive
3. Legitimate
4. Referent
5. Expert
C. Proses-proses Kekuasaan
1. Adanya kepatuhan
2. Formasi Koalisi (sub kelompok dalam kelompok yang lebih besar)
Perubahan-perubahan dalam power holder:
1. Memperlebar jarak sosial antara dirinya dengan orang lain yang tidak
punya power
2. Yakin bahwa yang nonpowerful tidak dapat dipercaya dan butuh “waskat”
(pengawasan yang ketat)
3. Tidak menilai pekerjaan dan kemampuan dari orang yang kurang berkuasa
Perubahan-perubahan ketika powerless:
a. pasif dan menerima situasi
b. memberontak akan ketidaksamaan dan berusaha mendapatkan persamaan
struktur
c. berusaha meningkatkan power secara tertutup dengan koalisi
d. menarik diri secara total dari kelompok

Sumber: Handout Psikologi Kelompok.Pdf atau www.pdf-search-engine.com/kelompok,-pdf.html

MOTIVASI DAN TUJUAN KELOMPOK

A. Definisi
(1) Proses psikologis yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan,
persepsi dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang, timbul dari dalam diri
(intrinsik) atau dari luar diri (ekstrinsik) karena adanya rangsangan.
(2) Dorongan kerja yang timbul pada diri seseorang untuk berperilaku dalam
mencapai tujuan yang telah ditentukan.
(3) Suatu usaha sadar untuk mempengaruhi perilaku seseorang agar mengarah
pada tercapainya tujuan organisasi.
B. Teori-teori Motivasi
1. Teori Kebutuhan
�� tindakan manusia pada dasarnya untuk memenuhi kebutuhannya
Tokoh : Maslow, Herzberg, Mc Clleland, Vroom
a. Satisfaction of Needs Theory (Maslow)
�� menyusun tingkat kebutuhan manusia
5. Self – Actualization Needs
4. Self – Esteem Needs
3. Social Needs
2. Security Needs
1. Psychological Needs
b. Motivation Maintenance Theory (Herzberg)
Ada 2 faktor yang mempengaruhi individu:
�� Satisfiers = intrinsic factor
Maslow = higher order needs (self esteem dan self actualization)
�� Dissatisfiers = extrinsic factor
Maslow = lower order needs (fisiologis, security dan social)
c. Teori Kebutuhan dari Mc Clleland
�� Need of power
�� Need of affiliation
�� Need of achievement
Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi:
1. ciri-ciri pribadi individu (individual characteristic)
2. tingkat dan jenis pekerjaan (job characteristic)
3. lingkungan (environmental situations)


Sumber: Handout Psikologi Kelompok.Pdf atau www.pdf-search-engine.com/kelompok,-pdf.html