Jumat, 30 April 2010

Anak berkebutuhan khusus di lingkungan anak “normal”: diterima atau ditolak?

Saya masih ingat betul, saat-saat mendampingi anak saya yang pertama, Hans, bersekolah. Waktu itu usia Hans 2,5 tahun dan dia berada di Kelas Pra-Playgroup. Kelasnya sangat menyenangkan, terdiri dari beberapa anak laki dan perempuan yang manis-manis, dan seorang guru yang sangat dicintai oleh anak-anak. Segala sesuatu berjalan dengan baik, hingga pada suatu hari muncullah seorang anak baru, sebut saja namanya Don (bukan nama sesungguhnya). Don bertubuh besar dan agak gemuk, dialah yang paling besar dan kuat dibanding teman-teman sekelasnya. Don tidak bisa diam, dia suka naik meja, dia juga sering menangis, marah dan mengamuk, bahkan kadang berguling di lantai serta membenturkan kepalanya ke tembok. Don belum bisa berbicara selayaknya anak seusianya. Menurut neneknya, yang selama ini mengasuh Don sejak kecil, Don didiagnosis terkena Autis taraf ringan dan sedikit Hiperaktif.
Mengamati tingkah laku Don dari balik jendela kelas, sungguh sangat mencemaskan hati banyak orang tua. Apalagi setelah beberapa anak, yang umumnya memiliki tubuh sangat kecil, telah menjadi “korban” akibat ledakan emosi Don yang salah sasaran. Beberapa anak bahkan sempat merasa takut dan tidak mau sekolah. Si guru yang kebetulan bertubuh mungil, juga harus dengan sekuat tenaga berupaya memegang Don, bahkan kadang menggendongnya, bila hal itu dapat meredakan emosi Don yang sedang meledak.
Beberapa kali saya sempat berbincang dengan nenek Don, yang setiap pagi rajin mengantar dan menunggui Don hingga kelas berakhir. Saya bisa merasakan cinta kasih serta keprihatiannya atas diri Don yang memiliki gangguan perkembangan. Saya tidak bisa banyak membantu, juga kadang tidak tahu harus berkata apa, tetapi saya berusaha menjadi pendengar yang baik. Dari sini saya melihat bahwa, memiliki seorang anak dengan kebutuhan khusus, benar-benar menyita seluruh WAKTU, TENAGA, PIKIRAN, bahkan PERASAAN, disamping tentu saja, DANA yang tidak sedikit untuk berbagai pengobatan dan terapi yang harus dijalani oleh anak berkebutuhan khusus tsb. Si nenek memutuskan untuk memasukkan Don ke Sekolah Reguler karena ingin Don juga merasakan kehidupan seperti layaknya anak-anak “normal” lainnya.
Di sisi yang lain, saya juga menjadi tempat curhat (curahan hati) dari para orang tua yang merasa kehadiran Don di kelas anak-anaknya tidak pada tempatnya. Seharusnya Don berada di Sekolah Khusus, demikian kata mereka. Apalagi para orang tua yang anaknya telah menjadi “korban” tingkah laku Don, mereka memiliki berbagai bukti kuat bahwa kehadiran Don bisa merusak semangat bersekolah anak-anak lainnya, juga dalam hal keselamatan fisik anak-anak tersebut.
Sungguh dilematis bukan?
Masing-masing pihak punya kepentingan dan pergumulannya sendiri. Tetapi pada saat kepentingan dan pergumulan ini dikonfrontasikan, seringkali pihak yang harus mengalah adalah yang berada di posisi Don. Anak-anak seperti Don, harus disingkirkan, atau dalam bahasa yang lebih halus, kita mengatakan, harus memperoleh Pendidikan Khusus dan dipisahkan dari anak-anak “normal” lainnya.
Memang, ada beragam program dan terapi yang bisa membantu anak-anak ini untuk mengatasi masalah / gangguan perkembangannya. Ada terapi fisik, terapi wicara, terapi okupasi, dan banyak program lainnya yang akan membantu anak mengatasi masalah emosi dan perilaku. Tetapi kita mungkin lupa, bahwa yang dibutuhkan oleh Don serta anak-anak berkebutuhan khusus lainnya tidak hanya berbagai program terapi, melainkan juga perasaan untuk diterima oleh lingkungannya.
Don dan anak-anak berkebutuhan khusus lainnya adalah juga ANAK-ANAK seperti layaknya anak-anak kita yang “normal”. Mereka butuh lingkungan yang mendukung, dimana mereka bisa bertumbuh dan berkembang pula dengan optimal.
Segala macam bentuk usaha untuk menyingkirkan anak-anak yang memiliki gangguan perkembangan seperti Don, adalah perlakuan yang sangat tidak manusiawi. Memang, akan ada resiko, akan ada usaha ekstra keras, akan ada banyak kerepotan yang bakal terjadi, bila kita mengijinkan Don hidup bersama dalam sebuah komunitas degan anak-anak kita yang “normal”. YA. Tetapi ini adalah kesempatan sekaligus hak istimewa bagi kita untuk mewujudkan Kasih Kristus dalam tindakan nyata!
Menghargai dan menerima perbedaan
Langkah sederhana yang bisa kita lakukan sebagai orang tua, adalah menjelaskan kepada anak-anak kita tentang keberadaan anak-anak dengan kebutuhan khusus tersebut. Dalam bahasa yang bisa dimengerti oleh anak-anak yang masih kecil, kita bisa mengatakan misalnya (dalam kasus Don di atas): Don berbeda dengan kamu. Don tidak bisa diam bukan karena dia tidak mau diam, dia memang benar-benar tidak bisa diam, tubuhnya selalu mendorong dia untuk bergerak terus. Don juga sulit untuk menuruti kata-kata Guru, mungkin dia tidak mengerti. Don suka marah dan memukul, mungkin karena dia belum bisa bicara. Jadi, saat orang lain tidak mengerti apa yang dia mau, dia sedih, dan dia bingung bagaimana membuat orang lain itu tahu apa yang diinginkannya. Mama kasihan sama Don … dia perlu banyak dibantu. Mungkin dia juga butuh teman-teman yang mau mengasihinya.
Hal sederhana lain yang bisa juga kita lakukan adalah memperlakukan Don sebagai salah seorang teman anak kita, sama seperti teman-teman lainnya. Mungkin dengan menyempatkan diri berbincang dengannya, atau bermain dengannya (bila dia mau). Binalah hubungan dan komunikasi yang baik dengan keluarga Don. Semakin kita mengenal seseorang, biasanya kita akan lebih bersimpati dan berempati. Kita jadi memiliki “kaca mata” lain untuk memandang segala fenomena permasalahan yang mungkin tampak saat itu.
Sebagai guru, kita bisa menjelaskan kepada para siswa bahwa setiap anak unik adanya. Contoh yang sangat sederhana, ada anak yang mudah sekali belajar membaca, ada yang mengalami kesulitan. Ada anak yang cepat sekali memahami soal matematika, ada juga yang benar-benar harus berjuang dalam belajar matematika. Ada anak yang fisiknya sangat lentur, pandai menari balet atau senam, ada yang seolah badannya kaku seperti robot bila harus berada di lapangan olah raga. Ini semua dialami oleh anak-anak “normal”. Sayangnya, sebagian anak-anak di dunia ini mengalami keterbatasan yang lebih serius karena gangguan perkembangan dalam diri mereka. Misalnya: anak-anak yang terlahir cacat secara fisik. Mungkin mereka tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, atau tidak bisa bicara. Ada juga anak yang lumpuh kakinya karena terserang penyakit atau kecelakaan. Anak-anak ini, meskipun berbeda perilaku dan cara hidupnya, adalah juga anak-anak “normal” sama seperti kalian. Mereka butuh diterima dan dikasihi, mereka adalah teman-teman kalian di sekolah ini. Merendahkan atau menghina mereka karena kekurangan / kelemahannya, sungguh merupakan tindakan yang sangat tidak terpuji.
Mengajarkan kepada anak sejak dini, baik di rumah, dan di sekolah agar mereka peka dan peduli terhadap orang-orang lain merupakan investasi yang sangat berharga bagi terbentuknya suatu komunitas yang lebih “manusiawi” di masa yang akan datang.
Belajar mengasihi anak-anak berkebutuhan khusus
Memang, menerima dan mengasihi anak-anak berkebutuhan khusus tidaklah semudah yang kita bayangkan. Banyak keluarga, merasakan pergumulan yang luar biasa saat Tuhan mengijinkan hadirnya anak-anak berkebutuhan khusus dalam hidup mereka. Perasaan terguncang, sedih, cemas, takut, marah, dan rasa penolakan semua bercampur jadi satu, sebelum akhirnya mampu menerima dan menyesuaikan diri dengan kehadiran anak berkebutuhan khusus tersebut.
Pernah seorang rekan sepelayanan bercerita kepada saya, kebetulan dia adalah seorang Guru Terapi bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Kebanyakan anak-anak yang ditanganinya adalah anak-anak Autis. Salah seorang anak yang sedang dilayaninya memiliki saudara kembar yang “normal”, sehat, bahkan cenderung pandai dan memiliki prestasi akademik yang cemerlang di sekolah. Si Guru sangat prihatin dengan kondisi anak yang dilayaninya tersebut, karena terlihat jelas sekali orang tua dari kedua anak kembar yang sangat berbeda ini, seolah acuh dengan anak yang “kurang beruntung” ini. Setiap hari, bahkan hampir sepanjang hari, si kembar yang didiagnosis Autis hanya ditemani oleh seorang baby sitter kemana pun dia beraktivitas, baik di rumah maupun di tempat terapi. Orang tua mereka meluangkan lebih banyak waktu dan perhatian kepada si kembar yang brillian. Memang, jauh lebih mudah mengasihi anak yang “normal”, apalagi yang hebat dan membanggakan orang tua, bukan? Sulit sekali bagi orang tua mana pun untuk belajar mengasihi serta menerima anak-anak yang “tidak normal” – bahkan kadang para orang tua pun merasa ragu apakah anak mereka yang “tidak normal” ini bisa mengerti atau merasakan cinta kasih yang mereka berikan.

Sumber : http://indonesia-educenter.net/index.php?option=com_content&task=view&id=147&Itemid=115

Tidak ada komentar:

Posting Komentar