Jumat, 30 April 2010

Apriani Wahyuningsih

Apriani Wahyuningsih, remaja putri kelahiran Karang Anyar, Jawa Tengan 12 April 1989 ini didiagnosa menyandang CP, cerebral palsy sejak dalam kandungan ibunda tercintanya. Hal ini karena sang bunda “terpaksa” mengkonsumsi suatu jenis obat agar bisa bertahan hidup selama mengandung buah hatinya. Ketika terlahir gejala-gejala CP pun muncul secara perlahan. Tiga tahun setelah melahirkan, ibunda tercintanya meninggal dunia.
Kemudian, ia hidup bersama ayah dan kakak-kakaknya. Hidup dengan segala keterbatasan di pelosok, jauh dari segala informasi. Selain itu, Apri, demikian orang sering memanggilnya, sering di perlakukan tidak menyenangkan oleh kakak-kakaknya. Kondisi demikian tentu saja membuat dirinya down atau kecil hati.
Pernah suatu saat, di tengah mengikuti pelajaran di sekolah Apri digendong, dibawa pulang oleh kakaknya. Karena sang kakak khawatir atau meragukan kemampuan Apri mengikuti pelajaran yang sedang diberikan. “Saya kecewa, namun memaklumi,” kata Apri. “Kakakku melakukan itu karena khawatir!” Hal itu membuat dirinya tinggal kelas di kelas 3 SD. Beruntung, ada seorang guru yang selalu memotivasi Apri agar jangan putus asa. Keluarganya kemudian memasukkan Apri ke YPAC Surakarta. Selanjutnya, Apri menjalani pendidikan jenjang SD, SMP, dan SMU dengan baik.
“Ke mana saja saya selalu ditemani kursi roda,” kata gadis yang selalu optimis itu. Memang, sehari-harinya harus menggunakan kursi roda. Syaraf motoriknya tak berfungsi karena adanya kerusakan dalam otaknya, sehingga kakinya sama sekali tak berfungsi. Kakinya melipat pada lututnya dan layuh, kadang-kadang mengalami spastistik (kaku). Akibatnya, ia tidak mampu berdiri apa lagi berjalan. Demikian pula kedua tangannya, Walau tak seberat kedua kakinya Dengan kondisi tangan seperti itu, ia masih bisa melakukan segala aktivitas kehidupannya, walaupun tak sempurna. Walau sulit dan memerlukan waktu, Apri mampu melakukan segala aktivitas sehari-harinya seperti makan dan minum, bahkan untuk mencuci piring atau pakaian sekalipun. Kemandiriannya ini telah sejak ia tinggal di asrama – sejak kelas satu SMA.
Kondisi yang berat itu, tidak membuatnya menyerah. Luar biasa. Apri mampu meraih juara umum MIPA tingkat nasional 2008 mewakili sekolahnya, SMA Muhammadyah 6 Surakarta. Ia berkesempatan bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang memberinya apresiasi atas prestasinya. Tidak itu saja, Apri juga banyak meraih beberapa prestasi lainnya, seperti juara puisi tingkat provinsi dan prestasi akademik di sekolah.
Apri adalah sosok anak “gaul” lancar bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya. Komunikatif, bahkan sedikit cerewet, suka bercanda dan ramah. Akrab dengan guru-gurunya, tidak pernah rendah diri. Apalagi dengan fisik yang tidak sempura ia mampu berprestasi, hal inilah yang semakin membuat dirinya semakin percaya diri.
Menurut Apri, kekuatan cinta dari orang-orang di sekitar membuat dirinya selalu tegar. “Saya bersyukur karena keluarga, guru dan teman-teman saya selalu mendukung saya,” tuturnya. “Semua yang telah saya capai adalah berkat jasa guru-guru, saudara-saudara dan semua orang yang selalu memotivasi saya,” tambah remaja penyuka kucing itu. Apa lagi, kini Apri telah memiliki tambatan hati yang senantiasa memberikan dorongan sejak di bangku SMP. “Dia adalah pelita hidupku,” ujarnya malu-malu. Kini, Apri tinggal di asrama sekolah, hidup mandiri. Bahkan di sela-sela kesibukannya Apri masih sempat mengajar di TKA-TPA At-Taubah.
Ada pengalaman menarik, ketika pertama kali memperkenalkan diri kepada siswa-siswi TPA. “Wah, ustadzah kita kaya suster ngesot,” kata salah seorang anak. Apri hanya tersenyum mendengar keluguan anak-anak didiknya. “Ibu capek kalau berdiri, makanya ibu pakai kursi roda dan ngesot” katanya dengan santai. Ia terpaksa berbohong dengan keadaan sebenarnya kepada anak-anak didiknya karena usia mereka yang memang masih kecil. “ Saya memaklumi dan lambat laun mereka pasti akan mengerti,”
Ucapan Apri pada anak-anak didiknya merupakan sebuah prestasi luar biasa di samping prestasi-prestasi lainnya yang telah diperolehnya. Mental yang teguh telah berhasil ia miliki melalui “keterbatasan”.

Sumber : http://anakspesial.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar