Jumat, 30 April 2010

Belajar memiliki hati yang lebih peka

Sewaktu hari wisdua, dimana saya sibuk berfoto bersama teman-teman, tiba-tiba Papa memanggil dan mengajak saya berfoto bersama seorang pemudi yang dilihatnya sedang duduk sendirian sambil mengamati sukacita teman-temannya yang berlarian kesana kemari dengan gelak tawa riang. Si pemudi ini satu tingkat di atas saya, jadi saya kurang begitu mengenalnya, bahkan sekarang pun saya sudah lupa namanya, padahal kami cukup sering bertemu karena pernah mengambil kelas-kelas kuliah yang sama. Apa yang menarik dari pemudi ini sampai Papa saya ingin berfoto dengannya?
Papa saya bilang, dan ini sebuah pelajaran berharga buat saya di hari wisuda, “Anak ini hebat. Meskipun dia cacat dan memakai kursi roda, dia bisa menyelesaikan studinya dengan baik. Papa mau kita foto dan berkenalan dengannya.”
Selama 4 tahun saya berada satu kampus dengannya, bahkan sering satu kelas, tak pernah sekali pun ada kepekaan dalam hati saya terhadap dia, betapa malunya saya. Papa saya telah mengajarkan satu hal penting, yaitu bagaimana memiliki mata hati yang bisa melihat menembus hal-hal fisik. Saya jadi teringat teman-teman pria semasa kuliah, yang dengan setia, selalu bergantian mengangkat si pemudi tsb dengan kursi rodanya naik tangga menuju ruang kuliah. Bayangkan bila kelas kami berada di lantai 4 dan tidak ada lift (dan ini benar-benar terjadi), selama bertahun-tahun teman saya ini diangkat, dibawa naik dan turun oleh teman-teman pria yang bertubuh kuat.
Saya pikir, teman-teman pria tersebut melakukan, ya, anak-anak dan orang berkebutuhan khusus umumnya sangat membutuhkan bantuan orang lain, dan ini adalah kesempatan bagi kita untuk memberikan perhatian-perhatian kecil yang bukan saja menyukakan manusia melainkan juga menyukakan hati Tuhan.
Beberapa waktu yang lalu, saya sempat berbincang dengan seorang Kepala Sekolah dari sebuah Sekolah Kristen. Sekolah ini pernah menerima anak-anak berkebutuhan khusus dan menempatkannya dalam kelas yang sama dengan anak-anak “normal” lainnya. Memang, beban tugas para Guru jadi lebih berat, demikian juga dengan anak-anak “normal” yang mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan kehadiran teman spesial mereka ini, yang kadang menghilang dari kelas, mengacaukan apa yang sudah dirapikan oleh seluruh anggota kelas, dan masih ada banyak kejutan-kejutan lainnya yang terjadi. TETAPI … ada berkat di balik semua hal yang seolah “mengganggu” jalannya pelajaran tsb.
Bila kita menganggap pendidikan adalah sekedar mentransfer Ilmu Pengetahuan, maka baiklah lupakan anak-anak berkebutuhan khusus. Karena mereka hampir tidak mungkin se-brillian teman-teman “normal” mereka. Tetapi bila kita menganggap pendidikan adalah sebuah proses dimana anak-anak kita belajar untuk menjalani HIDUP ini dengan lebih bijak, lebih berwawasan, lebih pandai, dan lebih terampil, maka mengijinkan mereka (baik anak-anak “normal” maupun anak-anak berkebutuhan khusus) hidup bersama-sama dalam suatu komunitas akan membawa hasil yang sangat luar biasa.
Anak-anak “normal” di kelas ini tumbuh menjadi anak-anak yang lebih mau mengerti orang lain, lebih bisa menguasai emosi dan bahkan membantu Guru untuk mengawasi maupun membantu teman mereka yang berkebutuhan khusus tsb. Perlu diingat, bahwa anak-anak yang saya ceritakan di sini adalah anak-anak BALITA. Luar biasa bukan? Menarik sekali mengetahui bahwa ada lingkungan pendidikan yang sedemikian “ramah” dan “bersahabat” bagi mereka yang berkebutuhan khusus. Sayangnya hal ini tidak berlangsung lama, karena ada kebijakan baru dari pihak yayasan untuk tidak lagi menerima anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah tersebut.
Sekolah Inklusi
Dalam sebuah kesempatan lain, saya berkenalan dan berbincang dengan seorang Kepala Sekolah di sebuah sekolah menengah kristen. Dia bercerita tentang salah seorang siswanya yang tunarungu (tidak dapat mendengar), sebut saja namanya Angel (bukan nama sesungguhnya). Anak-anak tunarungu, umumnya juga mengalami kesulitan bicara meskipun sebenarnya mereka tidak bisu, tetapi karena sejak bayi tidak pernah mendengar suara, mereka seringkali mengalami kesulitan belajar bicara. Angel sejauh ini bisa mengikuti pelajaran di Sekolah Reguler dengan baik, bahkan prestasi akademiknya pun sangat cemerlang. Dia juga bisa bergaul dengan teman-teman “normal”nya. Yang menarik, adalah saat Angel harus berhadapan dengan Ujian Nasional yang membutuhkan bahasa lisan. Pihak sekolah menawarkan sebuah kebijakan, mengingat Angel adalah seorang siswa tunarungu, mereka menawarkan jenis ujian tertulis untuk materi tsb. Angel dengan tegas menolak. Dia ingin diperlakukan SAMA, seperti layaknya siswa-siswa ”normal” lainnya. Jadi, dengan segala upaya dan kerja keras, Angel menjalani ujian lisannya, dan dia BERHASIL!
Ada banyak siswa lain seperti Angel, yang meskipun memiliki gangguan / keterbatasan fisik, tetap ingin hidup “normal” serta diterima apa adanya oleh lingkungan dan teman-teman mereka. Mungkin kita tidak menyadari, bahwa respons atau reaksi kita terhadap anak-anak yang berkebutuhan khusus ini SANGAT BESAR dampaknya. Bagi Angel, pihak sekolah yang menerima keberadaan dirinya, juga guru serta teman-teman yg mendukungnya, berperan sangat positif bagi kemajuan hidupnya.
Tetapi di tempat lain, ada seorang remaja lain yang menderita gangguan pendengaran (tidak tuli, tetapi membutuhkan alat bantu untuk bisa mendengar dengan baik), sebut saja namanya Jason (bukan nama sesungguhnya) tidak seberuntung Angel. Setiap kali Jason mengenakan alat bantu dengar tsb, teman-temannya justru mengolok bahkan berteriak keras-keras di dekatnya. Bukan saja hal tsb berbahaya bagi telinga Jason, tetapi respons teman-temannya tsb membuat Jason malu menggunakan alat bantu di kelas, yang tentu saja berakibat tidak baik pada prestasi akademiknya di sekolah.
Anak-anak kita, sejak dini, harus mulai diajarkan bagaimana hidup bersama dalam perbedaan. Secara khusus, bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap orang lain yang memiliki keterbatasan karena gangguan perkembangan.
Sekolah Inklusi adalah salah satu model sekolah yang berusaha menciptakan lingkungan sekolah yang “ramah” bagi semua, termasuk menerima anak-anak dengan kebutuhan khusus berada di kelas yang sama dengan anak-anak “normal” lainnya. Perlu diketahui, bahwa tidak semua sekolah siap menerima kehadiran anak-anak dengan kebutuhan khusus, terutama anak-anak yang memiliki gangguan perkembangan sedemikian rupa sehingga (dianggap) dapat mengganggu jalannya proses pelajaran di kelas, seperti misalnya: anak autis, anak hiperaktif, atau anak-anak yang menderita cerebral palsy. Biasanya keberatan yang diajukan oleh pihak sekolah adalah karena tidak tersedianya tenaga profesional yang memadai maupun fasilitas untuk dapat melayani anak-anak tersebut.
Bagaimana pun, tantangan bagi Sekolah Inklusi tentu lebih berat dibanding Sekolah Reguler pada umumnya. Tetapi hasil yang dicapai ternyata sangat menggembirakan bagi semua pihak. Riset membuktikan bahwa kehadiran siswa-siswa berkebutuhan khusus, ternyata tidak berdampak negatif terhadap prestasi siswa-siswa “normal” yang sekelas dengan mereka, sebagaimana yang dikuatirkan oleh banyak pihak. Justru anak-anak “normal” tsb bertumbuh menjadi orang yang lebih berwawasan, makin bijak, serta lebih terbuka. Bagi siswa-siswa yang berkebutuhan khusus, penerimaan atas diri mereka di Sekolah Inklusi bersama siswa-siswa “normal” lainnya menunjukkan pengaruh motivasi yang meningkat, yang tentu saja dibarengi dengan tingkat prestasi yang lebih tinggi serta kemajuan yang lebih pesat dibanding bila mereka berada di Sekolah Khusus.
Sumber : http://indonesia-educenter.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar