Jumat, 30 April 2010

Sama spt anak lainnya, mereka harus diberi kesempatan untuk bertumbuh secara optimal

Di sebuah Sekolah Minggu, ada kasus yang agak berbeda. Sebut saja seorang anak yang bernama Deni (bukan nama sesungguhnya). Deni dikenal sebagai seorang anak yang “bodoh” (diperkuat dengan bukti bahwa Deni pernah tidak naik kelas) dan kurang bisa bergaul karena dia cenderung lebih suka bermain sendiri daripada berbaur bersama dengan teman-temannya. Hingga suatu hari, ada fenomena baru yang membuat para Guru Sekolah Minggu dan teman-teman melihat sesuatu yang lain dalam diri Deni.
Deni mengajak seorang teman baru ke Sekolah Minggu, uniknya, teman baru tersebut adalah seorang anak yang tunarungu / tuli. Ëntah dimana Deni pernah belajar bahasa isyarat, atau mungkin juga Deni sebenarnya belum pernah mempelajarinya, tetapi itu tidak penting. Yang sungguh mengejutkan adalah, Deni bisa berkomunikasi dengan baik dengan temannya yang tunarungu tersebut, bahkan di Sekolah Minggu, dengan bangga Deni menjadi “penerjemah” sekaligus pendamping bila temannya yang tunarungu tersebut membutuhkan bantuannya. Kejadian ini membuktikan bahwa sebenarnya Deni tidaklah bodoh, dan tidak benar juga bila dikatakan dia tidak pandai bergaul.
Anak-anak seperti Deni, yang mungkin menyandang sebutan Learning Disability (mengalami kesulitan belajar), atau biasa dikatakan “lamban” (slow learner), umumnya dirugikan karena “bukti akademik” yang dicapainya tidaklah sehebat teman-teman sebayanya. Ditambah lagi dengan stigma bahwa dia pernah tidak naik kelas, akan semakin memperburuk keadaannya. Anak-anak seperti ini selamanya akan hidup di bawah bayang-bayang persepsi orang lain akan “kelemahannya” tersebut.
Sudah saatnya kita mulai menyadari bahwa tidak ada gunanya untuk berfokus pada kekurangan atau kelemahan seseorang. Akan jauh bermanfaat dan membangun, bila kita mau mengganti fokus kita pada kelebihan dan keunikan orang lain. Saat kita belajar untuk menghargai keunikan orang lain, dan berupaya untuk melihat kelebihan orang lain, maka hal positif lah yang akan kita tuai.
Di sebuah Sekolah Dasar, dimana saya pernah memberikan pelatihan tentang Multiple Intelligences, ada sebuah temuan yang menarik. Para siswa kelas 1 SD di sekolah ini, dimasukkan / dikelompokkan ke dalam kelas berdasarkan hasil Tes IQ. Dimana kelas 1A berisikan para siswa yang memperoleh nilai Tes IQ tinggi, kelas 1B siswa yang memperoleh nilai Tes IQ sedang, dan kelas 1 C, tentu saja, siswa-siswa yang memperoleh nilai Tes IQ lebih rendah dibanding siswa-siswa di kedua kelas sebelumnya. Anak-anak ini sudah di”cap” dan diberi stigma, bahkan sebelum mereka menunjukkan prestasi akademik mereka yang sesungguhnya. Alhasil, sepanjang semester yang telah berlalu, mereka, karena diperlakukan seperti anak-anak yang “kurang pandai” juga menunjukkan hasil akademik yang lebih rendah dibanding kedua kelas lainnya.
Tetapi, saat Guru mereka mencoba mempraktekkan model pengajaran Multiple Intelligences, hasil yang dicapai oleh siswa-siswa di kelas ini sungguh menggembirakan. Kami menemukan, bahwa ternyata kekuatan para siswa di Kelas 1 C ini pada umumnya adalah pada gaya belajar KINESTETIK, dimana mereka akan lebih mampu menyerap materi pelajaran melalui pengalaman praktek di lapangan ketimbang mendengarkan ceramah di dalam kelas.
Jadi sebenarnya, anak-anak yang selama ini dianggap memiliki kelemahan belajar atau kurang pandai, bisa saja sebenarnya adalah anak-anak yang memiliki gaya belajar yang TIDAK terwakili di sekolahnya. Kalau saja lingkungan mereka lebih “ramah” dan lebih “manusiawi”, niscaya anak-anak ini akan dapat tumbuh secemerlang teman-teman lain yang memang memiliki nilai IQ yang lebih tinggi.
Bila praktek-praktek di Sekolah “konvensional” telah menyebabkan sebagian anak terhambat perkembangannya, terutama dalam hal emosi dan sosial, baiklah di rumah dan di Gereja, di Sekolah Kristen maupun Sekolah Minggu tidak perlu melakukan kesalahan yang sama. Perlu kita mengevaluasi diri kita sendiri sebagai Orang Tua, Guru Kristen, dan juga Guru Sekolah Minggu atau Aktivis Pelayanan Anak.
- Apakah kita telah menyediakan lingkungan yang “ramah” dan “manusiawi” bagi setiap anak
untuk bertumbuh secara optimal?
- Apakah kita sudah menghargai keunikan setiap anak serta mendorong mereka untuk
berkembang sesuai dengan potensi / bakat minatnya masing-masing?
- Adakah tempat bagi anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus di rumah atau di kelas yang
kita asuh?

Mari, agar hidup kita sebagai orang-orang yang telah dipanggil Tuhan berpadanan dengan panggilan itu. Dengan penuh kasih, kita saling menguatkan dan mendukung saudara-saudara kita yang hidup bersama anak-anak berkebutuhan khusus, kita memberi dengan sukacita dan menolong, sesuai talenta maupun karunia yang Tuhan berikan, agar anak-anak dengan kebutuhan khusus yang kita layani boleh makin bertumbuh di dalam Tuhan. Dan pada akhirnya, nama Tuhan saja yang makin dipermuliakan.

Sumber : http://indonesia-educenter.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar