Jumat, 30 April 2010

Standard Operational Procedure (SOP) di Kelas, Cara Baru Melatih Disiplin Pada Anak?

Selama kurang lebih 6 tahun lamanya saya mengajar di sebuah sekolah dasar
nasional plus di daerah Bogor, Jawa Barat. Selama itu pula setiap tahunnya saya
selalu diberi `mandat' menangani anak-anak special needs atau anak2 berkebutuhan
khusus di sekolah itu. Sekolah saya itu termasuk salah satu sekolah yang
menerapkan konsep sekolah inklusi atau pendidikan inklusi, yaitu sekolah yang
memperbolehkan siswa-siswa berkebutuhan khusus seperti autisme, ADHD, ADD,
hiperaktif, retardasi dan beberapa special needs lainnya. Mereka disatukan di
dalam kelas yang berisi anak2 `normal' lainnya. Biasanya, kelas yang jumlah
siswanya 24-26 orang ini akan berisi sekitar 3-5 orang siswa berkebutuhan
khusus.

Tentu saja, mengurusi siswa dengan berbagai sifat, karakter dan tingkah laku
yang berbeda-beda bukanlah hal yang mudah, apalagi masih ada 3-5 anak
berkebutuhan khusus tadi. Saya memang dibantu oleh guru khusus yang menangani
anak2 tadi dan satu orang partner di dalam kelas, tetapi tetap saja, menyatukan
anak2 normal dengan anak2 special tadi bukan pekerjaan seperti membalikkan
telapak tangan. Tetapi bukan pula suatu hal yang tidak mungkin dilakukan. Perlu
waktu kurang lebih tiga tahun lamanya sebelum saya akhirnya menemukan formula
khusus agar anak2 di kelas mau disiplin dengan ikhlas. Intinya sih tetap kreatif
dan jeli terhadap berbagai masalah yang ada.

Disiplin harus dimulai dari guru

Hal pertama yang saya terapkan adalah disiplin. Menerapkan disiplin ini
gampang-gampang susah. Sebagai guru dan manager di kelas, kita harus pandai
menggunakan ilmu tarik ulur. Artinya, sebagai manager, kita harus menerapkan
disiplin dan etos kerja, tetapi karena kita juga guru, apalagi guru bagi anak2
yang heterogen, maka kita harus bisa menjadi sahabat, menjadi teman anak-anak,
sekaligus mereka menghormati dan menghargai kita sebagai gurunya. Bagaimana
caranya? Ya itu tadi, sistem tarik ulur. Selain itu tentu saja, karena guru
adalah role model atau contoh nyata bagi anak-anak, penting untuk diingat dan
dilaksanakan, guru pun harus disiplin lebih dulu, sebelum meminta anak2nya untuk
berbuat disiplin. Misalnya saja, kalau kita meminta anak2 untuk datang tepat
waktu, maka sebaiknyalah kita datang tepat waktu pula setiap harinya. Kalau kita
meminta anak2 untuk tertib dan tidak mengobrol di dalam kelas, maka janganlah
guru meninggalkan kelas dan mengobrol di ruang guru, sementa ra anak2 ditinggal
tanpa pengawasan. Selain memberi contoh buruk bagi anak2, meninggalkan kelas
tanpa pengawasan berarti membiarkan sesuatu terjadi. Bisa saja ketika guru asyik
mengobrol, ada saja anak berantem atau terjatuh.

Sering sekali di setiap pelatihan dimana saya menghadiri atau saya menjadi
pembicaranya, guru mengeluh kepada saya tentang sulitnya menerapkan disiplin ini
ke anak didik mereka. Anak yang sulit diatur dan sering ngobrol ketika
mengerjakan sesuatu bahkan bertengkar fisik dengan sesame teman di kelas.
Kemudian saya tanyakan apakah sang guru juga mengobrol di ruang guru dan
meninggalkan siswanya, sambil tersipu malu mereka mengiyakan pertanyaan saya
tadi.

Contoh lain lagi adalah di SMP dan SMA, guru2 melarang siswanya untuk tidak
merokok. Tetapi bagaimana mereka tidak melakukannya kalau ternyata para guru
sendirilah yang menyarankan siswa2nya untuk merokok dengan memberi contoh nyata
merokok di hadapan para siswa. Apalagi, banyak guru pria yang mengajar di
sekolah dasar dan mereka merokok di depan kelas rendah. Itu jelas bukan contoh
yang baik bagi anak2. Saya tidak melarang para guru untuk berhenti merokok,
tetapi akan lebih baik kalau mereka menahan diri mereka hingga sekolah usai,
atau merokoklah di luar area sekolah.

Belief, Kelas Impian, Budaya Kelas

Setelah memberi contoh, teknik pertama yang saya gunakan SOP, Standard
Operational Procedure atau Prosedur Operasional Standar, atau Prosedur Tetap
(Protap) suatu sistem. Kalau dilihat dari namanya, tentulah ini suatu hal yang
sulit dilakukan, apalagi istilahnya begitu asing. Pastilah tidak cocok untuk
anak2. Bukan, ini bukan suatu momok menakutkan dan bahkan bisa diterapkan bahkan
pada siswa taman kanak-kanak. SOP adalah sejenis peraturan yang diterapkan
ketika kita pertama kali melakukan pengoperasian suatu sistem, atau barang atau
pekerjaan. Sejenis rangkaian aktivitas yang harus dikerjakan sebelum kita
memulai suatu sistem.

Seperti di perusahaan2 terkemuka, maka saya menganggap kelas adalah suatu
sistem, sistem yang harus dijalankan secara professional. Agar sistem ini
berjalan dengan baik, maka diperlukan SOP tadi, agar apa yang saya dan anak2
inginkan dapat terlaksana. Oleh karena itu, saya pun menerapkan SOP ini pertama
kali mereka masuk ke kelas saya, dalam arti yang sesungguhnya, yaitu di awal
tahun ajaran baru. Saya menyebutnya "Belief" atau di sekolah2 lain disebut
sebagai "Rule" atau peraturan. Tetapi saya tidak mau menggunakan kata peraturan
untuk kelas saya, karena itu berarti saya memaksa anak2 menuruti apa kata dan
perintah saya, padahal saya mau hal tersebut datang dari anak2, anak2 sadar
sepenuhnya bahwa kalau mereka tidak menjalankan ini, mereka sendiri yang akan
rugi. Saya ingin anak2 belajar tentang pentingnya kesadaran diri akan tanggung
jawab tanpa selalu saya ingatkan apalagi paksaan dari saya sehingga anak2 senang
berada di kelas saya, nyaman dan betah.

Untuk itu, saya ganti kata `Rule" dengan "Belief" atau "Aturan/Peraturan"
menjadi "Kepercayaan" yang di dalamnya mengandung arti saling percaya dan
menjaga. Atau bisa saja menjadi `Kelas Impian' atau "Kelas Idaman" atau apa pun
istilahnya tergantung pada kesepakatan antara kita dan anak2. Di beberapa daerah
tempat saya memberi pelatihan tentang "Belief" ini mereka menggunakan istilah
"Budaya Kelas".

Perlu juga disampaikan kepada anak2 alasan mengapa kita menggunakan kata belief
ini, sehingga anak2 bisa memahami dan lebih mudah bagi mereka mempraktekkannya.
Orang percaya karena telah mengenal. Orang mengenal karena berada dalam satu
sistem yang sama. Sistem dibangun atas dasar percaya dan disiplin. Di sinilah
disipin itu berperan. Tentu saja cara kita memberitahu anak juga amat penting,
Gunakanlah bahasa yang dapat dimengerti anak, hindarilah memberi mereka istilah2
yang tidak mereka kenal. Hal ini akan berakibat fatal. dengan apa yang mereka
ketahui saja. Berikan contoh2 nyata atau gambar di papan tulis bila perlu. Ini
sangat membantu apabila kita memiliki siswa2 yang sangat visual sehingga segala
sesuatu harus disertai dengan gambar.

Ketika anak2 sudah mulai mengerti, maka akan saya bagikan sebuah kertas karton
manila ukuran besar (biasanya sih 100x60cm, atau satu plano) dan menuliskan
judulnya besar2, misalnya saja "3F Classroom Belief"; atau `My Home Sweet Home
Belief' ; atau "Kelas Impianku" atau "Kelasku Rumah Keduaku" dan lain sebagainya
tergantung kesepakatan antara si guru dan murid2nya.

Kemudian, saya pun menuliskan poin pertama yang juga harapan saya tentang kelas
itu, misalnya saja saya akan menulis "Kelas yang bersih, nyaman dan rapi".
Sambil menuliskan poin ini, saya pun mulai memasukkan doktrin2 saya tentang
kelas yang nyaman, bersih dan rapi ini. Saya akan bertanya kepada mereka
bagaimana dan seperti apa tanggung jawab setiap siswa agar kelas menjadi bersih,
nyaman dan rapi. Sampai di sini, kita dan anak2 sudah melakukan komunikasi dua
arah. Di sini terjadi proses perkenalan antara si guru dan siswa2nya, siswa
dengan teman2nya.

Kemudian, saya meminta masing2 anak untu menuliskan apa2 saja yang harus
dilakukan agar kelas menjadi kelas impian sesuai dengan keinginan mereka.
Misalnya saja seperti, `Berbaris rapi', `memiliki teman banyak' dan lain
sebagainya. Begitu seterusnya sampai semua anak selesai menuliskan
kalimat-kalimat impian mereka tentang kelas yang mereka senangi.

Setelah semua anak menulis, mereka boleh memberi hiasan, membacakannya agar
tidak ada lagi hal yang tertinggal sebelum "belief" ini dipasang di dinding
kelas. Saya akan minta anak2 berdiskusi agar mereka bisa menambah atau
menguranginya sendiri. Ini merupakan proses pembelajaran itu sendiri. Apabila
mereka sudah merasa mantap, maka "Belief" bisa dipajang di dinding kelas.

Saya akan terus menerus mengingatkan anak2 untuk membaca "belief" ini setiap
hari. Ketika mereka mulai ribut di kelas, maka saya akan meminta anak2 untuk
membaca keras2 apa yang telah mereka tulis dan tertulis di "Belief". Selain itu
saya juga meminta anak2 untuk saling mengingatkan apabila ada teman mereka yang
melanggar janji mereka sendiri. Biasanya anak2 di kelas rendah akan banyak
mengadu dan melaporkan pelanggaran2 yang terjadi ketika saya tidak ada di kelas.
Tidak apa2, tugas kita adalah menetralisir keadaan dengan kata2 yang bijak. Kita
juga harus pandai-pandai menyelesaikan masalah yang timbul, gunakan bahasa yang
positif agar anak dapat mengambil manfaat dari tiap permasalahan yang muncul.
Selesaikan masalah dengan tuntas dan jangan menghakimi satu anak.

Gunakanlah kata dan kalimat positif

Setiap kali saya melakukan perjalanan ke berbagai daerah dan sekolah-sekolah
untuk melihat perkembangan sekolah tersebut, sering saya melihat belum saya
menerapkan ini di kelas dan meminta anak2 menuliskan kelas impian peraturan2
tertulis di kelas. Isinya macam2 seperti `Jangan buang sampah sembarangan',
"Tidak boleh terlambat', "Jangan Menyontek', dan berbagai kalimat2 yang selalu
dimulai dengan kata2 jangan, tidak, stop atau kata negatif sejenis.

Sebaiknya, kata2 negatif ini mulai dihilangkan. Kata negatif bisa berakibat
negatif pula pada anak2 antara lain menyebabkan hilangnya kreativitas mereka.
Menurut saya, anak bukannya mematuhi peraturan malah membuat mereka mencoba
melanggar peraturan, terlebih lagi, peraturan ini biasanya dibuat sepihak, yaitu
si guru yang membuat. Anak-anak sih pasti cuma mengiyakan saja apa kata guru
mereka, namun apakah mereka berusaha melaksanakan apalagi mentaatinya?

Dari pengamatan dan pengalaman saya berbagi ilmu di berbagai daerah dengan guru2
biasanya peraturan hanya tinggal peraturan. Guru terus saja berteriak-teriak
setiap kali murid-muridnya bermain di kelas. Bahkan, yang paling menyeramkan,
guru masih bertindak kasar dengan melempar penghapus ke arah muridnya apabila ia
melanggar peraturan atau rebut sendiri.Wah, kalau ada istilah KDRT untuk
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, jangan sampai muncul istilah KDRK, atau Kekerasan
Dalam Ruang Kelas. Jawaban2 polos dari guru bahwa mereka akan melakukan KDRK ini
terus terang menyesakkan dada saya. Anak didik adalah titipan orang tua mereka
kepada guru. Bagaimana mungkin memperlakukan titipan itu dengan semena-mena?
Kita, sebagai guru, bertanggung jawab dunia dan akherat terhadap apa yang kita
lakukan di kelas. Kalau sudah begitu, para guru biasanya tersipu malu dan
meminta saran dengan berbagai isu yang mereka hadapi di kelas.

Memositifkan kata-kata yang negatif ini susah susah gampang. Di beberapa daerah,
saking mereka terbiasa dengan berbagai peraturan selama bertahun-tahun yang
berisi "Tidak" , "Jangan", "Dilarang" dan "Stop" ini, para guru kesulitan
mencari kata-kata pengganti yang positif. Saya perlu waktu lama dari yang saya
perkirakan untuk memberi clue kepada mereka tentang kalimat-kalimat positif ini.

Mudah sebetulnya, hanya saja, kita perlu berlatih dan menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari. Misalnya saja, kalimat "Jangan Ribut", kita bisa
menggantinya dengan "Harap Tenang", atau "Bekerja dengan tenang". Untuk kalimat
"Jangan Buang Sampah Sembarangan" bisa diganti dengan "Buanglah sampah pada
tempatnya". Untuk mengganti kata "Jangan Menyontek" gunakanlah "Bekerja dengan
Jujur". Untuk kalimat "Dilarang Menginjak Rumput Taman Sekolah" bisa dipakai
kalimat "Sayangilah Aku. Aku hidup dan akan membuat taman ini indah".

Kalimat2 di atas adalah sebagian contoh saja. Tentu ada berbagai peraturan yang
ditetapkan di tiap sekolah, dan masing-masing sekolah berbeda, sesuai dengan
budaya mereka masing-masing. Sekali lagi, intinya adalah guru harus kreatif
mencari dan menciptakan suasana positif. Salah satunya dengan menggunakan
kalimat-kalimat yang bervariasi dan positif.

SOP bukan Cuma milik guru kelas

Saya juga sering menjumpai guru2 bidang studi yang berkomentar bahwa mereka
bukanlah guru kelas. SOP dan penerapan disiplin adalah tugas dan tanggung jawab
guru kelas. Bahkan sering mereka ngotot kepada saya bahwa sistem di SMP dan SMA
berbeda dengan SD. Guru SD lah yang bertanggung jawab mendidik siswanya semasa
SD agar menjadi anak yang disiplin. Padahal, pembelajaran itu kan berlangsung
terus menerus dan bukan tanggung jawab perorangan. Pendidikan juga tanggung
jawab bersama, apakah guru tersebut mengajar si anak secara langsung atau tidak.
Kenyataannya guru bidang studi pun banyak yang mengeluh kepada saya tentang
sulitnya mendidik siswa mereka untuk paling tidak mendengar nasehat mereka
sebagai guru bidang studi. Banyak pula yang mengeluh kewalahan karena siswa2
tidak disiplin di dalam laboratorium atau kegiatan lainnya sehingga berakibat
fatal.

Kalau dilihat dari cerita mereka, kelihatan sekali baik guru kelas atau guru
bidang studi memiliki masalah yang sama, yaitu disiplin. Masalahnya adalah
apakah mereka mau atau tidak menjalani SOP ini di kelas.

SOP, atau Belief, atau Budaya Kelas, ternyata juga bisa dilaksanakan di kelas2
bidang studi. Penerapannya sama: dilakukan di awal tahun ajaran baru, murid
terus menerus diingatkan akan `janji' mereka untuk melaksanakan apa yang sudah
mereka tulis selama pelajaran berlangsung. Bisa saja, guru bidang studi
berkreasi dengan menamakan peraturan kelas mereka ini dengan tema yang ada di
pelajaran mereka, misalnya saja salah satu guru matematika sebuah daerah di
Sumatera menamakan SOP kelasnya dengan sebutan "Kelas Operasi Matematika". Di
dalamnya tercantum kalimat2 belief seperti "Pangkat Kebersihan", "Kali
Ketelitian", "Tambah Kesopanan dan Keramahan", "Kurang Keributan dalam Kelas".

Hal-hal kreatif di atas akan memacu siswa untuk semangat belajar. Memang, perlu
waktu untuk memberi anak2 pengertian dalam pelaksanaannya. Biasanya saya
memerlukan waktu dua hingga tiga bulan untuk benar-benar menerapkan ini di dalam
kelas. Artinya, selama tiga bulan itu adalah waktu saya dan anak2
bersosialisasi, saling mengenal, terus menerus mengingatkan mereka akan janji
mereka dalam belief. Saya juga menunjukkan kepada mereka bahwa saya konsisten
menjalankan apa yang sudah saya tulis di dalam SOP.

Disiplin Untuk Semua, disiplin di mana saja

Kasus-kasus pelecehan oleh murid kepada guru bidang studi juga sering terjadi
karena siswa menganggap guru bidang studi bukanlah guru kelas yang harus mereka
hormati. Sebetulnya hal ini tidak perlu terjadi andai saja guru bidang studi mau
peduli dengan anak didiknya, mau mendengar mereka, dan yang penting mau
menerapkan sikap disiplin yang sama seperti ketika guru kelas menerapkan
disiplin, sehingga tidak ada lagi komentar sepihak tentang guru bidang studi
yang `dikerjai' oleh siswa.

Saya sudah menjalani ini ketika saya mengajar di kelas bahasa Inggris baik di
SMP dan SMA, bahkan di kelas super. Kelas super adalah kelas yang didesain bagi
anak2 yang memiliki IQ di atas 140. Sehari-hari mereka hanya belajar pelajaran
seperti fisika, kimia, biologi dan matematika. Kalau pun mereka belajar bahasa
Inggris atau bahasa Indonesia, itu untuk membantu mereka menjawab pertanyaan2
dalam bahasa inggris. Agar saya tidak menjadi bulan2an mereka, sejak semula
sudah saya terapkan SOP ini. Anak2 membuat sendiri dan menempel SOP di dinding
kelas, saya hanya mengawasi. Setiap kali mereka mulai mengarah pada pelanggaran,
saya akan mengingatkan mereka. Pendekatannya saja yang berbeda dengan anak2
sekolah dasar. Saya menggunakan sistem tarik ulur tadi, menjadi teman di kala
mereka berkeluh kesah, namun tetap tegas dalam belajar di kelas, sehingga mereka
menghargai dan menghormati saya.

Di beberapa pelatihan guru, saya berbagi kepada guru-guru bidang studi. Pada
mulanya mereka menolak dengan alas an mereka bukan guru kelas. Namun, setelah
saya jelaskan bahwa mereka akan mendapat manfaat ini mereka kemudian mencoba
membuatnya. Hasilnya, saya mendapat banyak surat dan email yang isinya
kegembiraan guru2 tersebut karena kelas mereka sudah menjadi kelas yang
`normal'.

Oleh : Nina Feyruzi

Sumber : http://dir.groups.yahoo.com/group/cfbe/message/38493

Tidak ada komentar:

Posting Komentar